Labels

Saturday, 30 June 2012

Menaja Komersialisasi Islam


Resensi Dimuat di Harian Bhirawa edisi 29 Juni 2012


Resensi Buku :
Judul Buku    : Ustadz Seleb, Bisnis Moral & Fatwa Online; Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer
Penulis        : Greg Fealy & Sally White
Penerbit       : Komunitas Bambu, Jakarta
Tahun          : 1, 2012
Tebal           : 320 halaman
Harga          : Rp75.000,-
ISBN           : 978-602-9402-04-9
Peresensi     : Muhammad Bagus Irawan
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo.

     Buku karya Greg Fealy dan Sally White, Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (2008) yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul; "Ustadz Seleb, Bisnis Moral, dan Fatwa Online", ini menaja gejala komersialisasi Islam. Ya, sejatinya agama Islam yang dianut oleh 200-an juta masyarakat Indonesia akan selalu menjadi pasar dan komoditas yang menggiurkan dan selalu diincar banyak  pelaku kapitalisme, apakah itu dari dalam atau luar.
   Pemaknaan komersialisasi yang datang bersama arus globalisasi di sini bisa bersifat negatif dan positif. Tergantung siapa dan bagaimana cara menyikapinya. Islam Indonesia yang warna-warni, dari yang moderat, fundamentalis, anarkis, hingga yang liberal tentunya memiliki pandangan dan arogansi tersendiri ihwal pemaknaan komersialisasi Islam Nusantara. Ada yang menyatakan hal ini lumrah sebagai bagian dari kemajuan, namun ada juga yang menolak karena mendangkalkan agama.
    
   Adapun Greg Fealy dalam buku ini mendefinisikan komersialisasi sebagai usaha menjadikan ajaran agama atau simbol-simbolnya yang kasat mata sebagai komoditi yang bisa diperjual-belikan untuk meraih keuntungan (the turning of faith and its symbols into commodity capable of being bought and sold for profit). Sejatinya kekuatan kapitalisme yang bergelora di seluruh dunia, barangkali sudah terlebih dahulu mengomersialisasikan agama-agama besar dunia. Di sini, buku ini mencoba mengurai dengan mengambil studi kasus dari komersialisasi agama Islam. Indikasi komersialisasi bias ditandai dengan rayuan dan jaring populer yang ditebarkan terlebih dahulu lewat iklan di banyak media massa. Kemudian juga diamini dengan bagaimana menciptakan produk-produk baru untuk memenuhi kebutuhan artifisial muslim Indonesia. Dari sana, niskala komersialisasi kentara menyelubungi paham, pandangan, dan pola pikir muslim Nusantara yang akan mengekor pada gemerlap populer. Gemerlap populer memang menjadi magnet yang mampu menarik perhatian.

      Bagi seorang yang populer, tindak-tanduk, fashion, gaya, dan mode-nya akan menjadi panutan para khalayak ramai. Seringkali, kepopuleran itu lebih dipakai sebagai ekses komoditas per-laba-an, menjadi bisnis yang menjanjikan. Di sinilah, perkara populer itu sangat menggiurkan siapa saja, tak hanya milik para selebritis, namun juga menjadi incaran para "ustadz". Sejatinya di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, ustadz bukanlah sebuah tanda profetik, namun lebih menjadi artificial dan gelar dari masyarakat. Ustadz, kyai, ulama, dan lainnya ditakar dari kapasitas intelektual keagamaan yang dikuasai, diamalkan, dan disyiarkan secara sukarela sebagai bagian dari amal dan ilmu manfaat. 

    Namun, belakangan praktiknya sudah meluntur di negeri ini. Seiring dengan tuntutan ekses globalisasi dan perkembangan teknologi secara massif, tak ayal banyak Stasiun TV, radio, surat kabar, berlomba-lomba mencomot para ustadz, kyai dan ulama seraya menyulapnya menjadi sosok yang sohor disebut Ustadz Seleb. Komersialisasi pun berjongkrak tatkala para ustadz seleb ini laku berdakwah dibarengi dengan tariff dan kucuran honor yang tinggi. Dalam buku ini dikatakan sebagai bisnis moral. Ya, bisnis itupun sontak memiliki lahan perniagaan yang gemuk dengan konsumen yang selalu dipaksa lapar dahaga rohaniahnya.
  
     Selanjutnya, bisnis fashion religi dengan segala produk "busana muslim" dan seabrek aksesoris yang menyertainya. Lihat saja, banyak contoh dari ustadz dan ustadzah yang berceramah selalu memakai busana muslim model terbaru, iklan, tabloid, dan surat kabar yang acap menampilkan pesona pakaian "islam" yang indah, tentunya dengan tariff yang mahal. Ya, secara sederhana bisa kita rasakan, transformasi berpakaian muslim Indonesia sedari dulu yang sederhana sekedar menutupi aurat. Kini telah dielaborasi menjadi lahan bisnis dengan omset yang luar biasa, terlebih dengan produk yang setiap bulan selalu anyar.
Di samping itu, masih banyak sederet contoh kasus yang dibedah oleh kedua penulis, semisal layanan fatwa online, pemberian infaq via telepon selular dan layanan elektronik bank syariah, pengobatan medis secara Islam dan lainnya. 

    Ikhtiar buku ini seperti dijabarkan dalam sinopsis, berupaya memaknai perkembangan terkini dari sikap umat Islam Indonesia saat berinteraksi dengan dunia modal yang konsumeristik dan kadang-kadang menggantikan ekspresi lain atau yang lebih tradisional dari keyakinan mereka. Selain itu juga meneliti beberapa dari ribuan cara dimana Islam diekspresikan dalam kehidupan kontemporer dan politik Indonesia. Buku ini apik sebagai bahan perenungan dan penyadaran. Bahwa gejala terburuk dari komersialisasi ini bagi seorang muslim adalah mewabahnya budaya konsumerisme dan materialism terselubung yang tak kentara namun sudah menjadi suatu kelumrahan.
Selamat membaca. ***

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat