Tulisan (Seri Parade Ketiga) terbit di Koran Wawasan edisi 5 Juni 2012
Negeri itu sebenarnya kaya dengan sumber daya alam dan manusia. Namun bernasib tragis, karena kekayaan hanya dinikmati segelintir kelompokyang terang-terangan korupsi dengan siasat hitam yang apik. Di negeri itu korupsi sudah menjadi budaya. Ini sejalan dengan hasil analisisbanyak profesor, pakar, analis yang dielaborasi dalam artikel, karya ilmiah, buku dan jurnal. Selain itu, media massa di sana mulai dariyang visual, audio, hingga audio-visual (koran, radio, dan televisi) juga selalu menayangkan laku korup sebagai berita paling depan (hotnews). Wajar saja korupsi amat menggema dalam pikiran bangsa itu,karena kabar dan lakonannya sudah menjadi konsumsi sehari-hari. Secara sederhana, bisa dikonklusikan bila kesemuanya mendedahkan fakta dan fenomena paling populer seantero negeri ini, tak lain adalah korupsi.
Kabar terakhir memberitakan kelanjutan kasus ‘Wisma Atlet’ yangmenjaring para petinggi partai penguasa. Selain, kelanjutan skandalpajak yang terus menggurita menjadi fenomena gunung es. Ada juga,kasus mafia hukum yang mengorupsi hukuman dengan terima suap. Danditutup dengan emosi kekecewaan dan kegalauan dari pemerhati korupsiyang membuncah, diwujudkan dengan pembacokan salah seorang hakim terpidana yang korup. Ini juga sebagai peringatan bagi para koruptor,agar selalu waspada dan hati-hati, karena bangsa yang emosi dan terus dipermainkan hukum, tak segan menghukum sendiri dengan kekerasan. Barangkali pembaca (bangsa negeri korupsi) menjadikannya sebagai parade negeri korupsi pula.
Ya, tiga pondasi negeri itu, dari eksekutif (pemerintah danbirokratnya), legislatif (wakil rakyat), dan yudikatif (penegak hukum) sudah ternodai sengkarut busuk korupsi. Dari sekian kasus korupsi yangsudah diadili, ternyata hukumannya kecil, tak lebih dari 5 tahun‘penjara eksklusif bintang 5’. Hal ini menjadi gambaran hukum yang takadil, ada indikasi kongkalikong yang terbingkai apik. Tak ayal, adasebagian bangsa yang sudah bergeming, tak acuh dan peduli lagi dengankorupsi bahkan keberadaan negeri itu. Mereka mengatakan; “kami sudahbukan bagian dari negeri korupsi, kami sudah kecewa selama inidipermainkan.” Wajar banyak pakar negeri lain yang berkepentingan,mengatakan negeri itu bertengger pada jejeran atas negeri palingkoruptif di seluruh dunia. Hati-hati bila nantinya menjadi negeri yanggagal. Ya memang faktanya seperti itu.
Positif Vs Negatif
Secara bahasa, diskursus korupsi selalu ditandai sebagai ungkapan‘negatif’, sebuah laku ‘bejat’ yang merugikan orang lain. Tentunya, disisi lain (bagi pihak pengkorup) menghadirkan kesenangan dankenikmatan secara instan. Mengaca ke negeri itu, akibat tindakankorupsi sebagian oknum, bisa dibilang telah memiskinkan sebagian besarbangsa. Menimbulkan kesenjangan dan keseteruan antara yang kaya danyang miskin. Hal inilah yang berimbas pada pesakitan dan tidakmengenakkan, karena yang kaya dalam kehidupannya bisa membeli apa sajadengan mudah bermodalkan ‘uang’. Sedang yang miskin harus berjuang danbersusah payah dahulu sebelum akhirnya bisa sekedar mencukupikebutuhan hidup. Dengan kata lain korupsi mengindikasikan kejahatandan pelanggaran HAM berat.
Selanjutnya dalam wacana agama sendiri, korupsi adalah perbuatan nistayang terlaknat. Banyak ayat Alqur’an, dan kitab suci lainnya yangdengan tegas melarang laku kotor korupsi itu, dengan ancaman apineraka dan adzab Tuhan yang sangat pedih. Selalu ada timbal balik yangmenyelubungi perkara korupsi. Barangkali sudah menjadi takdir dankeniscayaan, karena tak luput dari sejarah panjang umat manusia yangsusah dan rumit diurai. Bagai benang, ia sudah sangat berbelit dankusut. Karena selalu menjadi anomali sistemik, terselubung, mendampakdan populer.
Selanjutnya, kepopuleran korupsi pun menjadi buah tema yang apik untukdigambarkan dalam imajinasi sastra. Di negeri itu banyak terciptapuisi, cerpen, drama (teater, film, sinetron), gambar (karikatur,komik, lukisan), novel, dan seabrek cabang sastra yang diangkat daritema korupsi. Selain, berkat korupsi menjadi ilham bagi para sarjanamenelurkan gagasan untuk tugas akhirnya, banyak skripsi, thesis, dan disertasi dalam pelbagai bidang kajian keilmuannya yang dibukukan, berporos pada tema sentris kasus ‘biadab’ korupsi. Selain, sepertigambaran di atas, bagaimana kedahsyatan media mengangkat tema korupsidalam beritanya. Dari sini, ada kesan afirmatif yang bisa diambil,bahwa ternyata korupsi juga berafiliasi “positif” apapun bentuknya.Hal ini tak terlepas dari pro-kontra memang, tapi penulis memandangkorupsi juga menawarkan sajian ‘sedap’ dan menjadi komoditasmenjanjikan yang melengkapi parade negeri korupsi.
Rupanya, korupsi dalam telaah artifisialnya, menjadi buah yang empukdengan dua rasa berlawanan, untuk dieksploitasi lebih pahit ataumanis. Tergantung aktor dengan desainnya yang berkepentingan. Takayal, sejatinya korupsi di negeri itu pun bisa dikatakan ‘positif’ dan‘negatif’ sekaligus, campur aduk. Tulisan ini sejatinya juga hadirmeramaikan kepopuleran parade korupsi ini, kurang lebih begitu.
Sederhana Saja
Akhirnya sederhana saja, korupsi sejatinya bisa diberantas bila hukumditegakkan. Penulis sepakat dengan pelbagai hukuman yang aplikatif,apakah itu hukum mati (gantung, penggal, tembak, dan lainnya), ataukahitu hukuman dimiskinkan diri dan keluarga yang dihidupinya, jugahukuman dipermalukan di penjara ‘kebun korupsi’ semisal kebunbinatang. Tujuannya satu, dengan lantaran hukuman itu agar pelakukorupsi itu jera, takut, dan tak lagi merajut korupsi.
Selain itu, ada pola dasar yang selalu menjadi peletup nalar koruptif.Yakni semangat konsumerisme dan materialisme. Hal ini disebabkandengan berjalannya paham kapitalisme dan eksploitasi yang kadungsengkarut mewabah dan membudaya di negeri itu. Negeri itu terlalularut dengan gaya hidup populer negeri kapitalis yang mewajibkan menghamburkan harta dan uang. Terjebak dengan pola hidup yang mengekordan sembrono, tak ayal negeri itu selalu menjadi pasar emas seluruhmata kapitalis dengan segala jaring laba-nya.
Kalau sudah terjerat, bangsa itu akan selalu dicekik untuk selalumemuaskan dahaga nisbinya, pada akhirnya bangsa itu selalu rugi. Nalarinilah yang harus segera disadari dan ditindas sesegera mungkin.Sekata dengan Karl Marx, berusaha menjadi manusia dengan ‘kebutuhanalamiah’ untuk sekedar pemenuhan kehidupan. Melawan danmengenyampingkan kebutuhan artifisial sebagai kelanjutan produk-produkkapitalisme yang dipoles dengan rayuan iklan yang memesona. Semogasaja, lewat kesadaran sederhana ini parade negeri korupsi bisa segeramelewati masa suramnya, dan benar-benar mewujudkan bahwa korupsi itutinggal kenangan saja. Wallahu a’lam bis showab.
Muhammad Bagus Irawan, peneliti Idea Studies IAIN Walisongo
No comments:
Post a Comment
Silahkan Berpendapat