Labels

Saturday, 2 June 2012

Memandang Hatta



Dimuat di Jurnal Nasional edisi 11 Maret 2012

Muhammad Bagus Irawan*


 CITA-CITANYA tak lain adalah mencerdaskan kehidupan bangsa; bukan semata cerdas otaknya, namun lebih ke arah cerdas menjalankan kehidupan. Artinya memiliki hidup yang berharkat dan martabat tinggi. Perwujudan itu terpedomani lewat kutipan dari Rene de Clerq, “Hanya satu yang dapat disebut tanah airku, ia terkembang dengan usaha dan usaha itu ialah usahaku". Inilah bagian kecil dari bejibun semangat perjuangan Hatta yang kokoh demi eksistensi nilai gotong-royong menuju kebaikan bersama atas dasar kekeluargaan, yang semestinya dicontoh dan ditradisikan generasi muda NKRI saat ini.



Belakangan di tengah identitas dan moralitas sebagian bangsa yang rapuh; ditandai aksi maraknya korupsi oleh para elite, aksi radikalisme, dan terorisme, tampaknya bangsa-negara kita telah tercerai-berai dengan menyeruaknya paham materialisme danindividualisme akibat arus globalisasi. Tak pelak, bangsa ini memang harus kembali membaca dan belajar pada sejarah perjuangan para tokoh bangsanya. Seperti perkataan Bung Karno dengan ungkapan terkenalnya “Jas Merah", Jangan sekali-kali melupakan sejarah.


Sebab belajar dari sejarah adalah kata yang tepat menyikapi setiap lika-liku persoalan yang acap membelenggu dan terus berulang. Hadirnya buku berjudul Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi Mohammad Hatta yang diterbitkan kembali ini adalah langkah yang patut mendapat apresiasi dengan cerdas dalam meruwat, menggugah sekaligus merefleksikan kembali teladan yang dibawa Hatta, lewat rasa dan falsafah pemikiran dan perjuangannya ikut membangun bangsa Indonesia yang "lurus".


Buku ini ditulis sendiri oleh pena Hatta secara bertahap mulai dari tahun 1968 sampai setahun terakhir menjelang wafatnya. Di dalamnya praktis digambarkan lingkungan sekitar, pengalaman hidup, keluarga, perasaan, pemikiran, semangat dan aktivitasnya hingga menggapai gerbang kemerdekaan. Tentunya, ada sebuah catatan yang belum terjawab: mengapa Hatta hanya menulis kisahnya sampai menggapai kemerdekaan saja? Kenapa tidak seluruh kehidupannya? Bagaimana tindak lakunya setelah memutuskan hengkang dari kekuasaan politik pada 1968. Dengan tambahan foto-foto, memperkuat kualitas penceritaan Hatta dalam tutur tulis yang mungkin asing karena berlogat bahasa Indonesia tempo dulu.



Perubahan hanya menyentuh kata per kata yang dirasa berbeda pengertian sekarang menjadi kurang baik, semisal kata “preman" diganti kata “partikelir", yang berarti “swasta" (hlm. xviii). Secara tekstur penulisan otobiografi, Hatta tampak terkesan bercerita apa adanya tentang kejadian yang telah dilaluinya dan masih berkesan dalam ingatannya atau tertulis dalam catatan. Tidak ada refleksi lanjutan dan ulasan pertanggungjawaban intelektual atas peristiwa dan kejadian khusus, seperti dalam memoar Soekarno dan Soeharto yang ditulis tatkala masih berkuasa.



Hatta sang proklamator adalah sedikit dari pemikir visioner yang dimiliki negeri ini. Dalam sejarahnya, ia dikenal sebagai seorang yang cerdas, penyendiri, sopan, jujur, santun, gigih, dan jauh dari gaya flamboyan yang ahli berpidato semisal Bung Karno, teman perjuangan sekaligus lawan kritis dalam pemerintahan.Dalam sebuah riwayat Bung Hatta kerap mendapat joke dari teman-temannya; semisal sindiran Bung Karno sebagai seorang yang tak romantis, juga dari teman akrabnya Sutan Sjahrir lewat surat yang dikirim kepada istrinya (Renuangan Indonesia, 1947) bahwa Hatta dinilai terlalu serius dan sama sekali tak tertarik dengan sastra (hlm. xxii).


Riwayat Pendidikan


Bung Hatta lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902 dari Ayah H Mohammad Djamil dan Ibu Saleha dengan nama Mohammad Athar, dan kemudian biasa dipanggil Atta oleh sanak familinya, dan hingga sekarang melalui buku-buku sejarah, bangsa kita sepeninggalnya mengenal nama lengkapnya sebagai Mohammad Hatta.


Dalam riwayat pendidikannya, ia termasuk anak cerdas yang beruntung mendapatkan keluarga yang peduli pentingnya pendidikan. Tak pelak, sedari dini di Bukittinggi, Hatta mendapat dua jurusan pendidikan sekaligus duniawi dan ukhrawi; pagi hari menimba ilmu di sekolah formal Belanda, dan sorenya mengaji dan belajar Al Quran di surau. Bisa dibayangkan bila masa kecil Hatta sampai remaja dibingkai keluarga dalam waktu pedagogis yang ketat.


Kemudian Padang dan Betawi menjadi tempat naik tangga Hatta melanjutkan bangku sekolahnya. Masa ini adalah tempat Hatta mengasah pengalaman organisasi. Ia dipercaya menjadi bendahara pada Swallow, organisasi sepak bola yang ia dirikan bersama teman-temannya, juga pada Jong Sumatranen Bond (JSB) yang berdiri pada 9 Desember 1917 sebagai efek berdirinya Jong Java (1915), sebagai wadah pemersatu pelajar-pelajar Sumatra. Di Betawi Hatta melanjutkan sekolah ekonomi dan sempat dipercaya pamannya menjalankan perniagaan. Dari sini, Hatta mulai bergesekan dengan buku-buku sosialisme dan ekonomi Barat. Banyak buku yang habis dibacanya.



Hatta muda adalah seorang yang berani menyeruakkan aksiologi pendidikannya ke muka umum. Ia gigih mempertahankan pemikirannya. Hatta kemudian melanjutkan pendidikannya di Rotterdamse Handelshogeschool pada 1921. Di negeri Belanda ini, selain berkuliah, ia aktif menjadi anggota pergerakan kepemudaan Indische Vereeniging yang kemudian berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia (1925). Ia juga rajin mengirim tulisan kritis ihwal romantisme bangsa yang merdeka ke beberapa koran di Tanah Air. Praktis selama sebelas tahun keberadaannya di Eropa dihabiskan dengan pembelajaran sekaligus pemupukan kekuatan dan pemikiran politiknya.



Impian Hatta



Impian Hatta adalah ingin melihat Indonesia menjadi negara-bangsa yang makmur dan bermartabat. Ada dua hal yang paling berkesan sepanjang hidupnya; pertama saat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 bersama Bung Karno; kedua, saat menerima penyerahan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dari Ratu Juliana pada 27 Desember 1949. Kedua momen itulah yang membawa negara-bangsa Indonesia memperoleh martabat dan kedaulatan penuh, keluar dari jajahan selama empat abad lamanya.



Selepas dari pendidikannya di Belanda Hatta langsung memegang peranan penting di PNI, ia juga menyumbang pemikirannya agar PNI menjadi organisasi pendidikan kader, bukan gerakan massa. Dalam nalarnya, Hatta selalu mengutamakan wujud tercapainya kekeluargaan dalam upaya perekonomian bersama.


Dia adalah sosok penggagas dan penggerak sistem koperasi yang mencerminkan semangat gotong-
royong. Ia pun dikenang sebagai “Bapak Koperasi". Hatta juga disebut penguasa Jepang sebagai “Ghandi dari Jawa" karena kesederhanaan dan keuletan khazanah berdagangnya. Hatta dalam pergerakan politis kritisnya juga pernah mengalami masa sulit pembuangan Belanda ke Boven Digul, dan kemudian dipindahkan ke Banda Neira.


*Peneliti di Ideas Studies di IAIN Walisongo, Semarang.



BOOKS
Judul : Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi
Penulis : Mohammad Hatta
Penerbit : Buku Kompas, Jakarta
Tahun : 1, 2011
Tebal : 800 halaman
Harga : Rp125.000
ISBN : 978-979-709-540-6

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat