Labels

Thursday, 28 June 2012

Mengembangkan Hidup Bertoleransi lewat Novel


Dimuat di Koran Jakarta edisi Senin 25 Juni 2012

Dalam novel ketiganya bertajuk Maryam ini, Okky "melantunkan" lagu lama yang memang menjadi karakter penulisan sastranya. Novel sebagai alat perjuangan yang menyibak segala ketertindasan humanis. Sebelumnya, lewat novel 86 yang menghantarkan Okky meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2011, dia menarasikan angin KKN yang membudaya masif dalam peranti birokrasi dan korporasi.

Kini, dalam karya Maryam, Okky meneriakkan suara korban diskriminasi atas nama agama, suara miris golongan tertentu yang acap dijadikan sasaran amuk massa. Di sini, pisau analisis Okky memang memadai. Dalam penggarapan novel Maryam, Okky telah meriset di di wilayah yang dijadikan setting, Lombok, sekitar 6 bulan. Praktis, novel ini sejatinya memiliki penokohan fiktif namun berlatar realitas yang ditulis dan diceritakan dari sudut pandang orang-orang tertindas.

Patutkah orang atau sekelompok orang menjadi korban diskriminasi, menderita karena ketidakadilan, terkucilkan karena minoritas, terusir dan terisolasi karena menyimpang dari masyarakat umumnya? Ironi dan realitas inilah yang mengharu biru dikisahkan Okky secara tuntas dalam novel tersebut. Pembaca diajak mendalami sisi lain kemanusiaan. 

Novel dibuka dengan cerita pedih tokoh sentral Maryam, alur maju-mundur (2005, 2001, 1997, 1998, 2011). Dia adalah sosok perempuan muda yang cerdas, teguh, menonjolkan pengaruh dan kekuatannya dari halaman mula hingga tamat. Cerita dimulai saat Maryam kembali ke kampung halamannya di Lombok, setelah hampir 10 tahun merantau di Jakarta. Maryam merasa ragu dan gamang setelah menuntaskan perceraian dengan Alam. Karena pulang ke kampung Gerupuk sama halnya menyirami kenangan pahit yang pernah ditinggalkan. Maryam memberanikan diri pulang, namun tak disangka-sangka keluarganya sudah tidak di sana lagi. Rumahnya kosong (hlm 5-23). 

Diceritakanlah, sekitar tahun 2001, kejadian tragis di Kampung Gerupuk dan sekitarnya. Keluarga Maryam, yang puluhan tahun hidup tenteram dan harmonis dengan warga kampung, tiba-tiba terusir. Ya, sebelumnya memang ada sekelompok propagandis yang memanaskan situasi. Tahun 2003, setelah hampir dua tahun terlunta-lunta mengungsi, lamat-lamat bisa menata kehidupan dan kembali tinggal di rumah di sebuah perkampungan yang terpencil. Dari sini, masalah tak selesai begitu saja. Sekitar Juli 2005, ada kabar tersiar lewat televisi. Gerombolan orang sedang bertengkar, adu fisik, lalu penggempuran bangunan (halaman 219).

Rumah mereka di Gegerung kini sudah hangus terbakar dan harta benda berharga sudah habis dijarah. Novel ini menggambarkan begitu pedih dan malangnya kehidupan orang yang terusir dari tempat yang telah dibangun dengan bekerja keras, hingga terdampar dalam pengungsian (hlm 185-231).

Bagi saya, ikhtiar novel ini hadir untuk menyemai butir toleransi antar-umat beragama. Pengangkatan tema semata sebagai percontohan mengingat kasus intoleransi antar-agama di Indonesia begitu masif dan menakutkan. Kita diingatkan agar tak terpicu suara "kotor" menghakimi dan melakukan kekerasan terhadap orang lain. Novel ini ditutup dengan surat Maryam pada gubernur yang lalai dan abai (hlm 279-280). Pada akhirnya keyakinan adalah kebebasan dan kehendak hati nurani setiap manusia yang harus dihormati. 

Diresensi Muhammad Bagus Irawan, mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang

Judul : Maryam 
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 1, Maret 2012
Tebal : 280 halaman
Harga : Rp 78.000
ISBN : 9789792280098

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat