Dimuat di Harian Pelita edisi 7 Maret 2012
Oleh Muhammad Bagus Irawan, Idea Studies IAIN Walisongo.
BANGSA Indonesia patut malu dengan hasil mengecewakan yang ditorehkan Timnas PSSI. Timnas kalah telak 0-10 dari Bahrain dalam laga terakhir Kualifikasi Piala Dunia FIFA 2014 akhir Februari. Kenapa hal ini bisa terjadi? Salahkah para pemain kita? Apakah ini ganjaran dari kisruh dan dualisme liga PSSI se-lama ini? Apakah kekalahan ini bagian dari pengaturan skor? Lantas siapa yang dirugikan atas kekisruhan PSSI yang tak kunjung usai? Pertanyaan seamsal inilah yang terus kita layangkan menanggapi kekalahan memalukan dari Bahrain kemarin. Meng-ingat selama ini kita berimbang dengan Bahrain. Bahkan, dalam Piala Asia 2007 di Jakarta timnas mampu menang 2-1. Juga pada era 1980 hingga 2000-an, tim-nas lebih memiliki catatan positif diband-ing Bahrain.
Tak ayal, kekalahan memalukan itu pun menjadi ‘dosa besar’ yang akan sela-lu diingat dalam sejarah sepakbola Indo-nesia. Walaupun PSSI mengadu kepada FIFA atas dugaan ketidakwajaran dalam jalannya pertandingan, langkah itu tak akan menyelesaikan persoalan. PSSI seb-agai institusi puncak sepakbola nasional harus berkaca diri sebelum menimpakan kesalahan kepada pihak lain. Nyatanya, harus diakui, memang Bahrain unggul jauh dari timnas, baik dalam skil, stam-ina, maupun taktik pertandingan.
Asa dan kisruh sepakbola
MASYARAKAT Indonesia sudah jenuh dengan segala problematika akut per-politikan negeri. Sepakbola semestinya bisa menjadi obat penawar stres. Namun sayang, sepakbola sebagai olahraga pal-ing populer di negeri ini tak jua mem-buahkan prestasi. Bangsa Indonesia pas-ti akan selalu berharap dan haus akan prestasi timnas di ajang internasional. Antusiasme publik terhadap sepakbo-la sangat tinggi. Pendukung timnas se-lalu hadir di mana pun tim merah pu-tih berlaga.
Sayangnya, kemelut yang terus mem-belit PSSI semakin membuat timnas ter-puruk. Ironis memang. Bila kisruh ini tak segera dihentikan dan dicarikan solusin-ya, maka timnas dan seluruh bangsa In-donesia yang dirugikan.Seruan Kongres Luar Biasa (KLB), rekonsiliasi, dan arbitrase adalah ta-waran yang banyak beredar untuk men-gakhiri kisruh persepakbolaan kita. Kis-ruh yang terjadi sejak awal 2011 sam-pai saat ini masih saja belum terurai. Sepeninggal Nurdin Halid yang terjegal korupsi hingga digantikan oleh Djohar Arifin Husin, kisruh masih belum tera-tasi, malah semakin bertambah parah. Dualisme liga nasional kembali terjadi. PSSI era Djohar Arifin, seperti juga era Nurdin, hanya mengakui satu liga, yakni LPI, dan menetapkan liga lain, LSI, ilegal.
Yang menyedihkan, stempel ilegal juga berlaku bagi para pemain di LSI. Pada-hal selaku pemain profesional, mereka hanya tahu sepakbola, dan tak mema-hami intrik-intrik politik di tubuh PSSI. Akibatnya, banyak pesepakbola berbakat tak bisa tampil membela timnas. Ini jelas merugikan timnas dan tentu saja raky-at Indonesia. Munculnya Komite Penyelamat Sepak-bola Indonesia (KPSI) semakin menam-bah kisruh saja. Di sisi lain, PSSI har-us bersikap arif menanggapi kehadiran KPSI.
Selain itu, KPSI juga harus ter-us terang, fair, dan memang melakukan tekadnya sebagai komite penyelamatan, bukan malah memperparah kisruh yang sudah ada. Sudah saatnya PSSI kembali ke khit-tah. PSSI harus bersih dari kepentingan politik dan kelompok bisnis. PSSI harus bersikap netral dalam mengambil kepu-tusan demi kebaikan sepakbola nasion-al. PSSI wajib menyatukan LSI dan LPI dalam satu liga kompetisi yang bersih. Sebab, untuk apa ada PSSI bila seluruh pemain sepakbola Indonesia tak terwa-dahi dan tak diakui?
Belajar dari kekalahan
Sebagai bangsa yang bijak, alangkah baiknya kita memetik hikmah dari keka-lahan atas Bahrain. Pertama, kekalahan tak boleh dilimpahkan kepada kesala-han pihak tertentu, apakah wasit, pe-main, atau pelatih. Bagaimanapun, pela-tih sudah berupaya maksimal meman-faatkan pemain muda yang ada, kare-na dia hanya bisa mengambil pemain dari LPI. Banyak pemain unggulan yang berkompetisi di LSI yang tak bisa dipilih pelatih. Ini karena keputusan PSSI. Begi-tupun dengan para pemain. Mereka su-dah berjuang keras dengan kemampuan yang dimiliki. Selanjutnya, PSSI tak bo-leh hanya mengambinghitamkan wasit Andree al-Hadad. Kedua, kisruh PSSI harus segera diakhiri. Kekalahan timnas membukti-kan bahwa kisruh internal PSSI berbun-tut panjang pada mentalitas permainan timnas. Ini semakin membukakan mata kita bahwa kisruh PSSI sangat berimbas buruk pada timnas.
Ketiga, kekalahan dengan skor mema-lukan di Bahrain sudah seharusnya disi-kapi dengan merevitalisasi persepakbo-laan nasional. PSSI harus bersih dari kepentingan di luar sepakbola yang la-mat-lamat akan menghancurkan cita-ci-ta kemajuan sepakbola Indonesia. Akhirnya, seluruh pihak harus sadar diri dan belajar untuk sepenuh hati me-nyayangi sepakbola Indonesia dan men-gambil keputusan untuk meraih presta-si. Kita tentunya tak ingin melihat timnas dibantai dengan skor yang jauh lebih be-sar.
Sepak bola kisruh karena ada uang didalamnya. Permainan uang memang memalukan. Jauh dari kata fairplay
ReplyDelete