http://www.harianbhirawa.co.id/opini/48809-belajar-dari-punakawan
Resensi Buku
Judul buku : Punakawan Menggugat
Penulis : Ardian Kresna
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta
Cetakan : 1, 2012
Tebal : 368 halaman
ISBN : 978-602-97827-7-6
Harga : Rp45.000.00
Peresensi : Muhammad Bagus Irawan
Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang
Wayang menjadi kisah epik karya intelektual Jawa kuno yang bermuatan watak dan budi pekerti menuju keluhuran. Sosok lakon pewayangan asli nusantara menandai eksistensi keteladanan yang khas dalam citraan bentuk unik. Seamsal Punakawan yang digawangi; Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Semar, menjadi tokoh sesepuh yang dituakan, pemimpin yang tegas dan bersahaja, cendekiawan yang sabar dan terbuka. Gareng, adalah sosok pejuang yang berani menderita, memiliki keteguhan hati dan tekad baja. Ia memiliki mata juling, lengan dan kaki bengkok dan mulut lucu yang menggambarkan kepribadian yang berpandangan lurus, pendiam, tanpa pamrih menolong dan berhati-hati dalam mengambil sikap.
Petruk menandai sosok aktivis yang mengkritisi ketidakbenaran pemerintah. Memiliki hidung panjang berarti pandai bicara dan melawak, dalam arti memiliki tanggung jawab moralitas ilmuwan untuk menyuarakan hak rakyat. Sedangkan Bagong digambarkan sebagai pemuda tambun yang sederhana, lugu, penurut, sabar menanggung malu dan sedih, dan memiliki ketabahan hati super. Bagong lebih kental sebagai sosok santri ataupun mahasiswa yang memiliki spirit belajar dan berjuang atas nama keadilan. Dapat disarikan, bila konsep Punakawan menjadi perwakilan ideologis kaum terpelajar yang peduli pada nasib rakyat, menjadi figure pembebas yang bertanggungjawab.
Novel garapan Ardian Kresna bertajuk "Punakawan Menggugat" ini pada dasarnya bersubstansi sebagai ikhtiar membumikan tradisi keluhuran Jawa. Karakter bahasa penulisan yang merakyat bersanding dengan Setting latar historis dan imajinatif menjadi buah kreatifitas yang apik. Menjadikan pesan reflektif "Punakawan Menggugat" bisa dipahami sebagai daya tegur yang luhur bagi rakyat untuk berani menegakkan kebenaran.
Dikisahkan pada suatu masa, ada sebuah kerajaan bernama Amarta yang tumbuh pesat menjadi negeri besar, kuat dan dikagumi bangsa-bangsa lain. Negeri itu dipimpin oleh prabu Yudhistira dari keluarga Pandawa yang pesohor dengan jatidiri yang teguh, adil, dan bijaksana. Tak ayal masyarakat pun begitu mengelu-elukan kepemimpinannya.
Sayangnya, ditengah riuh-sedan puja-puji itu lantas Yudhistira merasa jumawa dan perlahan menjadi penguasa mutlak yang diktator. Alhasil Yudhistira pun mulai alpa dan lalai menjalankan pemerintahan bersandar menuju kebaikan rakyat. Puncaknya di saat negeri Amarta dilanda bencana dan musibah kelaparan, sang raja malah sibuk membangun candi megah berbahan emas di pertapaan Saptaarga sebagai persembahan bagi Abiyasa sang nenek moyang Pandhawa. Nahasnya, pembangunan candi di pucuk gunung itu malah menjadi petaka, merusak keseimbangan alam dan mengirim banjir bandang bagi rakyat Amarta (hlm 240).
Dari sini, titik tolak kesejahteraan negeri Amarta menjadi limbung. Kebijakan yang egois dan semrawut itu membuat rakyat marah. Kericuhan pun bergejolak di Amarta. Di tengah krisis dan eskalasi itu, muncullah tiga saudara Punakawan (Gareng, Petruk, dan Bagong) sebagai figur ksatria yang mampu memadamkan kericuhan antar warga itu. Mereka pun mulai rembug bersama menentukan nasib rakyat, hingga diputuskan kesepakatan bulat untuk meruntuhkan dinasti yang tengah zalim dan lalai. Strategi disusun dan serangan pun dilancarkan. Seketika itu rombongan rakyat dipimpin Punakawan menuju kerajaan.
Akhirnya, taktik Punakawan untuk merebut pusaka kerajaan sukses dan mampu memukul mundur pasukan perang Pandawa yang kalang kabut. Kerajaan Amarta dan lainnya pun luluh lantak dibuatnya. Ditengah kondisi peperangan dan emosional yang kacau balau saat itu, datanglah tetua Punakawan, Kyai Semar, yang menjadi peredam dan penenang kegusaran dan amarah rakyat. Kyai Semar yang mencapai bakti luhur lantas menasihati rakyat agar selalu sabar dalam menghadapi segala cobaan. Ia menjelaskan bila kecerobohan pemimpin yang murka dan terlena nafsu dunia akan selalu menjadi bencana bagi rakyat dan negeri yang dipimpinnya (hlm.362). Kyai Semar juga menghimbau rakyat agar bersikap toleran. Kehidupan bermakna jikalau diawali guyub rukun, perbedaan harus dikikis menjadi keharmonisan. Dari situ benih negeri makmur dan sentosa akan tumbuh (hlm. 365).
Membaca novel ini sekaligus mencitrakan problematika akut yang dialami Indonesia kini. Dari sana, penulis berikhtiar bagaimana Punakawan Menggugat bisa diaplikasikan oleh masyarakat untuk menggugat keadilan. Sekian. ***
No comments:
Post a Comment
Silahkan Berpendapat