Labels

Thursday 28 June 2012

Narasi Muslim Tionghoa Nusantara


Dimuat di Malang Post edisi Minggu 24 Juni 2012

Judul Buku      : Identitas Tionghoa Muslim Indonesia
Penulis            : Afthonul Afif
Penerbit          : Kepik
Tahun               : 1, Februari 2012
Tebal                : 376 halaman
Harga              : Rp79.000,-
ISBN                : 978-602-99608-2-2
Peresensi   : Muhammad Bagus Irawan, peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang

Narasi seputar sejarah Tionghoa di Indonesia selalu memantik keterikatan yang pahit. Secara figuratif, kehadiran Tionghoa selalu berdampingan dengan stigma panas dari bilik kebangsaan Nusantara. Bahkan, nasib mereka seolah identik sebagai “target empuk” di setiap krisis ekonomi dan sosial melanda negeri. Mereka dijadikan sasaran luapan nafsu amarah bangsa. 

Menilik histori, dalam tragedi Batavia 1740, terjadi peristiwa getir pembantaian dan pengusiran etnik China itu dari Batavia. Setidaknya ada 20.000 orang Tionghoa menjadi korban. Setelah tragedi itu, di Kudus juga terjadi pertikaian yang disulut oleh semangat anti-China. Setelahnya, sederet peristiwa tragis pun tak henti mengintai kaum Tiongkok sebagai sasaran luapan amarah.

Bila ditinjau lagi, kesalahan terbesar bangsa pribumi Indonesia adalah telah terperdaya politik fitnah  Belanda. Dalam hal ini Belanda melancarkan aksi propaganda hingga muncul kesan kesenjangan antara orang China yang mayoritas pedagang dengan pribumi yang petani. Tak heran, disadari atau tidak, masyarakat masih memiliki stereotip tertentu atas etnis Tionghoa, bahwa mereka umumnya kaya, cenderung mengeksklusifkan diri, pelit, etnosentris, dan apatis. Barangkali stigma itu benar-benar memudar tatkala Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur, atas jasanya dijuluki sebagai Bapak Tionghoa Indonesia) menghapus segala sistem yang berbau diskriminasi Tiongkok.

Apa motif dibalik propaganda dan adu domba Belanda? Sejatinya, pembauran muslim Tionghoa dan pribumi sebenarnya telah terjadi. Persatuan itu sangat menghawatirkan dan akan mengancam kelanggengan penjajahan Belanda. Namun, akhirnya Belanda bisa memecahkan dengan mengembangkan siasat politik adu domba (devide et impera). 

Politik ini membagi penduduk menjadi tiga golongan, yakni Eropa, Timur asing (Tionghoa, India, Arab), dan pribumi atau inlanders yang mayoritas muslim. Belanda tampaknya memang takut melihat Tionghoa dan muslim bersatu, maka dibuatlah peraturan-peraturan yang bisa memisahkan dua golongan ini. Maka pada abad ke-18, Belanda mengeluarkan peraturan yang melarang Tionghoa masuk Islam dan melarang kaum muslim pribumi menikah dengan Tionghoa. Peraturan produk kolonial itu kian menjauhkan Tionghoa dari pribumi.

Buku karya Afthonul Afif ini mencoba merangkum narasi muslim Tionghoa secara empatik. Gagasan yang dicerna Afif ini bersumber pada bukti sejarah dan penelusuran teks terkait eksistensi Tionghoa Islam di Indonesia. Tak ayal, analisa Afif kentara ketika membahas peran besar mubaligh Tiongkok dalam proses dakwah Islamisasi Indonesia sekitar abad XV atau XVI masehi. Karya Afif ini menjadi salah satu penghargaan besar terhadap identitas China muslim di Indonesia. Ya, sampai kini bisa dikatakan, sangat jarang karya ilmiah pribumi yang membahas secara ekstensif ihwal kontribusi muslim China di Indonesia.

Bila ditelusuri dari sumber sejarah, sejahrawan memerkirakan jangkauan muslim China hadir ke Indonesia ditengarai sejak abad XIII sampai XVI masehi. Hal ini ditandai dengan pelbagai catatan pengelana asing, kronik Cina, teks lokal dan lisan Jawa, juga dibuktikan pelbagai peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup kuat. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan-Jepara, pintu makam Sunan Giri di Gresik, menara masjid pecinaan Banten, dan banyak bangunan lainnya menunjukkan bukti kuat peranan muslim China membangun budaya Islam Nusantara. Hal ini sangat relevan dengan populeritas cerita “Wali Songo” (Wali Sembilan) yang berjuang dan berkontribusi besar dengan penyebaran Islam di Jawa. 

Jikalau dilacak, para wali itu merupakan keturunan China. Sebagai analisis dasar, nama Sunan Bonang sebenarnya diambil dari identitas China Bong Ping Nang begitupun dengan Raden Fatah juga punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa China berarti “yang gagah” (hal.128-169). Adapun ihwal asal-usul kedatangan muslim Tiongkok ke Nusantara, Afif mendatangkan argumentasi konstituen, bahwa pada mulanya muslim Tiongkok hadir bukan untuk dakwah, melainkan hijrah mencari tempat aman, menghindari kemelut perang dinasti China kala itu. Umumnya mereka hijrah dalam kelompok keluarga secara bertahap. 

Di Nusantara mereka membuat kawasan pecinan, kemudian secara bertahap mulai berbaur dengan pribumi. Begitu pula dengan muhibah pelayaran Laksamana Zheng He (Cheng Ho) ke Nusantara, pada abad ke XV. Latar belakang muhibah ini adalah perdagangan dan bermaksud mempererat hubungan antara negara Cina dan Negara-negara Asia Afrika. Banyak dari awak pelayaran muhibah adalah muslim. Pada pertautan antara China-pribumi terjadi transfer ilmu dari pandai Tionghoa ke penduduk pribumi ihwal strategi ekonomi, teknik pertukangan, ukir-ukiran, pertanian, perikanan, dan lainnya. 

Dari segenap data yang diuraikan Afif dalam buku ini, dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia patut berterima kasih pada jerih payah Tionghoa. Bagaimanapun, kiprah besar Tiongkok di Indonesia berperan besar turut membangun agama Islam, keilmuan, budaya dan tradisi Nusantara. Buku ini mengandung ikhtiar perekatan narasi pribumi-Tionghoa sebagai satu kesatuan bangsa, lewat titah “Bhinnekha Tunggal Ika” tak hanya dengan Tionghoa saja, namun seluruh bangsa Indonesia yang terdiri dari rajutan ras dan asal-usul harus tetap berjuang bersama membangun negeri secara dinamis dan harmonis. Buku ini memang laik dibaca siapa saja, terutama penyuka kajian sejarah. Karena hakikat dan penelusuran sejarah berbanding lurus dengan pelajaran moral yang dapat dipetik. Selamat membaca. (*/fia)

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat