Labels

Saturday 2 June 2012

Pesona Bali dalam Cerpen



Dimuat di Harian Bhirawa edisi 03 Mei 2012
http://www.harianbhirawa.co.id/opini/46378-pesona-bali-dalam-cerpen

Judul Buku  : Perempuan yang Mengawini Keris
Penulis       : Wayan Sunarta
Penerbit     : Jalasutra, Yogyakarta
Tahun         : 1, 2011
Tebal          : xiv + 152 halaman
Harga         : Rp30.000,-
ISBN          : 9786208252683
Peresensi   : Muhammad Bagus Irawan
Pegiat Idea Studies IAIN Walisongo

Untaian cerpen buaian Wayan Sunarta yang bertajuk "Perempuan yang Mengawini Keris" kali ini menawarkan pesona eksotisme Bali. Wayan yang telah lama melintang dalam dunia seni sastra nusantara mengelaborasi kekuatan lokalitas Bali yang penuh warna. Tak ayal, kombinasi tema sarat makna dengan tradisi busaya, menyuguhkan gagasan dan cerita yang menggelitik dan menarik. Wajar bila Damhuri Muhammad dalam kata pengantar, memekakkan bila ikhtiar Wayan tak lain berusaha membendakan kesadaran moral yang tersaji dalam lautan kearifan lokal pada alam kultural Bali. Bali yang terkenal dengan keindahan pantai dan tradisi Hinduisme Nusantara yang kental sejatinya menohokkan ekspektasi norma dan moral yang niscaya terelakkan.

Nuansa itulah yang dielaborasi Wayan di dalam 17 cerpen yang dikodifikasikan dalam buku setebal 152 halaman ini. Ya, Wayan nampaknya mengelabui pembaca dengan arogansi teks yang diolahnya menuju kesadaran moral keseharian yang menyentuh. Secara sinopsis, dalam buku ini sebagian besar berkisah tentang perempuan dalam beragam persoalannya. Misalnya, perempuan yang terpaksa menikah dengan keris karena calon suaminya kabur pada saat hari pernikahan (Perempuan yang Mengawini Keris), perempuan yang terpaksa berbohong pada suaminya yang sangat ingin punya anak (Rastiti), perempuan yang terpaksa kembali jadi pelacur demi mendapatkan uang untuk biaya pengobatan penyakit yang dideritanya (Aku Membeli Nyawaku), perempuan penari yang terjebak cinta segi tiga (Puing Cinta Sang Penari), perempuan gila yang diperkosa berandal desa (Perempuan yang Mampir dari Warung ke Warung), dan seterusnya. Selain itu, dalam antologi juga disajikan kisah teroris yang batal meledakkan bom di tempat sasaran karena harus memenuhi janjinya dengan seorang pelacur idolanya (Di Jimbaran Aku Mengenangmu), dan cerpen yang berkisah tentang tragedi pembantaian orang-orang yang dituduh PKI (Buronan dan Kuburan Ayah).

Menikahi Keris
Dalam cerpen pembukanya yang berjudul "Perempuan yang Menikahi Keris", Wayan memantik pembaca mengarungi karakter  nestapa "aku" dari seorang wanita yang tersedak dalam kesendirian (wanita tunggal yang tak meiliki saudara lelaki). Walaupun sang wanita itu berparas ayu, berpendidikan tinggi, aktif menjadi wanita karir, dan memiliki keluarga kaya terpandang, namun dalam kepercayaan, wanita yang tak memiliki saudara adalah kesialan. Secara adat Bali, pernikahan yang dilakoni seorang wanita tak bersaudara itu disebut nyentana, bagi pihak keluarga lelaki dianggap aib dan memalukan.

Alhasil, wanita itu sampai usia yang matang tak jua mendapat seorang lelaki pun yang mau menikahinya. Padahal, ia dengan materi yang dimilikinya mampu menggaet seluruh lelaki tipe apapun, tapi sebatas menjadi pacar, sedang lelaki tadi tak sudi diajak menikah. Sampai suatu masa, wanita itu bertemu dengan seorang pelukis yang kemudian bersedia menikahinya lahir-batin dengan segala resiko yang akan ditanggung. Sejenak rona bahagia pun terpancar berbinar dari wajah sang wanita dan keluarga. Sampai hari akad nikah berlangsung, keluarga wanita sudah menggelar pesta besar dan mengundang banyak tamu. Nahasnya, saat prosesi sudah ditabuh, tiba-tiba sang lelaki menghilang, sontak saja wanita dan keluarganya terkejut dan sedih. Tak ayal untuk menghindari malu yang lebih dari para tamu, prosesi nikah tetap dilangsungkan, dan sebagai ganti lelaki, wanita itu pun menikah dengan sebilah keris hitam nan dingin (hlm. 4-9). 

Meskipun, Wayan tidak membeberkan ujung keterikatan antara calon suami yang kabur dengan keris, namun kenapa pilihan jatuh kepada keris, bukan benda lainnya? Barangkali keris menyimpan khazanah tersendiri yang menampik seluruh prasangka. Mungkin saja, benda pusaka yang menjadi pegangan leluhur nusantara itu memiliki daya kultus yang patut dibanggakan, lebih dari itu keris juga menohok simbol kekuatan yang tak padam.

TerorisSelanjutnya, dalam judul "Di Jimbaran Aku Mengenangmu", disajikan cerita yang berporos pada aksi terorisme yang tersesat. Di awal cerita, Wayan mengumandangkan keelokan pantai Jimbaran yang mampu menggaet ribuan wisatawan datang kesana tiap bulannya. Namun, pada suatu ketika cerita lain datang dari karakter seorang pemuda yang kecewa menjalani hidup karena ditinggal kekasihnya yang menikah dengan bule. Sampai akhirnya, ia berniat balas dendam, mencoba membakar sakit hatinya dengan mengebom kafe milik mantan kekasihnya itu yang berada di bibir pantai Jimbaran. 

Ya, pemuda itu telah bergabung dengan kelompok teroris yang mengatasnamakan "jihad agama" yang salah kaprah. Hingga tibalah hari pengeboman, pemuda itu sudah lengkap membawa ransel dan jaket penuh serangkaian bom, namun dia mampir sejenak menyisiri bibir pantai untuk terakhir kalinya. Dia terkejut, tatkala terdengar suara aneh dari pantai Jimbaran yang terus mengejeknya, bahwa apa yang dilakoninya adalah konyol karena tak diikuti alasan dan keyakinan kuat. Akhirnya niat busuk pemuda itu batal (menghianati teman-teman pengebom bunuh diri yang menggelar aksi malam itu), lantas bom pun dipendamnya dalam bibir pasir, dan pemuda lari terbirit menemui pelacur yang sudah dibooking sebelumnya. Ikhtiar penulisan cerita ini barangkali berlandas pada peristiwa tragis  "Bom Bali", yang menimpa sejumlah kafe di Bali, anehnya, ada sebuah bom yang meledak di bibir pantai tanpa tujuan dan makna yang jelas.

Secara garis besar, rangkaian cerpen Wayan ini menampilkan ikonisitas tradisi bali. Di sini, pembaca akan akrab dengan kata; nyentana, bli, nyoman, pengabean, balian, klian, karmaphala. Selain, dalam antologi cerpen ini juga menampilkan daya eksotisme dari tarian, patung, dan keindahan alam Bali. Pesona Bali yang tercecer dalam keseharian rupanya menjadi sasaran Wayan untuk melantunkan syair ceritanya. Lewat gagasan imajiner Wayan, tak diragukan lagi, penulis mampu meramu cerpen dengan bahasa sederhana nan menyastra. Secara tipografi penulisan,  cerpen Wayan separohnya dilahirkan di Karangasem Bali dalam rentang waktu enam tahun (dari tahun 2005 sampai 2011). Bagi saya, cerpen Wayan masuk dalam kategori pusaka cerpen etnografis dengan lokalitas budaya dan imbuhan pesan moral yang padu menjadi satu-kesatuan yang apik. Barangkali, Wayan berusaha merangkai khazanah Bali kedalam himpunan kisah singkat yang penuh warna dan pesona. Selamat membaca. ***

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat