Dimuat di Harian Bhirawa edisi 12 April 2012
http://www.harianbhirawa.co.id/opini/45296-asvi-mengurai-sejarah-tokoh-indonesia
http://www.harianbhirawa.co.id/opini/45296-asvi-mengurai-sejarah-tokoh-indonesia
Judul Buku : Bung Karno dan Kemeja Arrow
Penulis : Asvi Warman Adam
Penerbit : Buku Kompas, Jakarta
Tahun : 1, Februari 2012
Tebal : 267 halaman
Harga : Rp50.000,-
ISBN : 9789797096236
Peresensi : Muhammad Bagus Irawan, Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang
Fakta sejarah lebih dekat dengan manifestasi cita, rasa, lakon manusia yang patut diperjuangkan. Lewat sejarah seorang tokoh bisa dikenal, kemudian diteladani ataupun dihujat. Dimanapun itu, sejarah laksana air yang telah, tengah, dan akan mengubah rona kehidupan, memiliki daya keramat yang selalu menjadi mata pelajaran tiap-tiap bangku sekolah. Sayangnya, sejarah kerap dipelintir oleh pihak berpatronase (pemangku kuasa), karena motif dan kepentingan terselubung yang kompleks, apakah itu dari segi politik, ekonomi, status sosial, dan lainnya. Begitupun dengan sejarah di negeri ini, tak luput dari pesanan dan sinisme kelompok itu.
Sebagai contoh, barangkali dalam pandangan populer bangsa Indonesia kini, SBY menjadi presiden yang keenam (Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY).
Anggapan ini dinilai benar secara massif, namun kenyataannya masih menisbikan dua tokoh, yakni Sjafruddin Prawiranegara dan Assaat. Bangsa ini tak boleh melewatkan peran Sjafruddin yang menjadi “penyelamat bangsa” atas jasanya menjadi Presiden Darurat Republik Indonesia (PDRI). Juga, Assaat yang sempat dilantik sebagai presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Sayangnya kedua tokoh itu acap tak tertulis dalam buku sejarah, apakah karena ketidaktahuan atau kesengajaan? Sebagaimana diketahui, Sjafruddin Prawiranegara dicap ‘hitam’ karena keterlibatannya dalam aksi Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Kemudian Assat jarang disebut karena tidak dipahami bahwa ia menjabat kepala negara saat RI menjadi bagian dari RIS, kala itu memang sebagian rakyat menolak pembentukan RIS oleh kerajaan Belanda. Pastinya ada banyak motif yang menengarai penulisan sejarah ini.
Kembali, Asvi Warman Adam, sang pakar sejarah nasional hadir untuk menaja dan mengurai benang kusut misteri sejarah tokoh nasional. Buku teranyarnya kali ini bertajuk tanda tanya “Bung Karno dan Kemeja Arrow”. Sepintas timbul pertanyaan, apa kaitannya kemeja merk Arrow dengan sang proklamator negeri ini? Kodifikasi setebal 267 halaman ini secara bernas mengisahkan sederet sentilan sejarah tokoh nasional yang patut diluruskan dalam sudut pandang Asvi. Sejatinya, buku ini adalah antologi artikel Asvi di pelbagai media massa nasional dan daerah sepanjang tahun 2009 sampai 2011. Dengan sedikit olesan kata dan perbaruan kasus, antologi itu lantas dibagi kedalam beberapa bab yang seirama dan dijilid menjadi buku ulasan sejarah Asvi yang keenam dari penerbit Kompas.
Dalam judul awal terkait kasus perseteruan Soekarno dan Sjahrir, Asvi menilik novel sejarah “Presiden Prawiranegara (2011)” karya Akmal Nasery Basral yang menjabarkan kejadian itu terlalu berlebihan dan penuh sarkasme. Dalam novel, dikisahkan terjadi dialog keras dan sindiran antara Sjahrir dan Bung Karno saat keduanya diasingkan Belanda pada tahun 1948/1949. Sjahrir lantas membentak “Houd je mond (tutup mulutmu), dasar bodoh” kepada bung Karno, karena sebagai presiden dinilai tak pantas bila meminta sebuah kemeja Arrow pada tentara Belanda. Hal itu bagi Sjahrir, adalah bentuk meminta suap, tindakan bodoh, dan memalukan (halaman 3-8).
Selanjutnya Asvi juga mengupas sejarah Bung Hatta kala dituding terlibat dalam aksi makar pada Orde Baru. Namun dengan kesederhanaan dan ketulusannya memertahankan NKRI, Hatta terlepas dari jerat bui. Barangkali, sekian puluh pahlawan nasional kita, cuma Hatta yang istiqomah mendapat penilaian positif, hal ini sejalan dengan pendirian teguh Hatta yang tulus memerjuangkan hak rakyat. Ya, sejatinya bakti Hatta untuk Indonesia lebih kentara dan dahulu sebelum Sumpah Pemuda tahun 1928. Sejak ia menuntut ilmu di Belanda, puncaknya saat ia dengan rekan organisasinya tahun 1925 mengajukan tuntutan atomasi politik unity, egality, liberte atas bangsa Indonesia dari cengkeraman kerajaan belanda, akibatnya ia sempat ditahan Belanda.
Selain itu, masih banyak judul pelurusan sejarah yang (barangkali) masih asing di telinga kita, disajikan di buku ini. Sayangnya, masih ditemukan salah ejaan pada beberapa lembaran, dan harus diedit ulang bila akan dicetak lagi. Bagi saya, Asvi di sini menerapkan kaidah filologi dalam penyusunan gagasan sejarah yang ia amati. Kekentalan dan daya imajiner disertai data fakta sejarah yang ada, membuat tulisan Asvi menempati porsinya yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Begitu. ***
No comments:
Post a Comment
Silahkan Berpendapat