Labels

Sunday, 1 July 2012

Menelaah Karya Sastra Seno


Dimuat di Kompas edisi Minggu, 1 Juli 2012 (hal.22)


Judul Buku  : Sastra dan Politik; Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma

Penulis   : Andy Fuller
Penerbit  : INSIST PRESS, Yogyakarta
Tahun   : 1, Desember 2011
Harga   : Rp 30.000,-
Halaman  : 128 halaman
ISBN   : 602-8384-46-1

Seno Gumira Ajidarma, nama pena dari Yapi Tambayong, adalah salah seorang pengabdi seni tulen Indonesia. Dia eksis dalam dunia tulis dan drama. Kolaborasinya, Seno mampu melahirkan ribuan karya yang sarat makna; kritik sosial dan budaya, politik, hingga agama. Tulisan seno bertebaran dimanapun, apakah itu buku, majalah, koran dan teater. Karya Seno meliputi laporan jurnalistik, kritik film, cerpen, cerbung, puisi, hingga komik. Tema dan gaya beragam, kerap menggabungkan genre tradisional, modern, populer, selalu berubah tak bisa ditebak. Tak ayal, Seno juga menjadi pusat perhatian para akademisi luar, semisal Marshall Clark (Seno Gumira Ajidarma: An Indonesian imagining East Timor, 2003), Joseph Errington (His Master's Voice: Listening to Power's Dialect in Soeharto's Indonesia, 2001) dan lainnya.

Latar belakang itu mungkin, membuat Andy Fuller tertarik menelaah karya tulis Seno. Andy melihat karya Seno sebagai pintu pembuka teori postmodernisme, sehingga karya dan pesan yang dihasilkan begitu kaya melewati batas sastra dan mengena dengan sudut pandang kritik pedas. Walhasil, kritik tajam yang kerap dilontarkan Seno pada karyanya tak mudah dicerna pemerintah Orde Baru. Buku berjudul “Sastra dan Politik; Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma” ini sejatinya diangkat dari tesis penelitian yang mengantarkan Andy Fuller meraih gelar Phd dari Universitas Tasmania pada 2010.

Buku ilmiah (ditandai catatan kaki) setebal 128 halaman ini terbagi kedalam 5 bagian; Posmodernisme, Politik Kebudayaan Orde baru, Tinjauan Karya Sastra Seno, Metafiksi dan Budaya Populer, dan Kesimpulan. Naskah aslinya berbahasa Inggris kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Anton Kurnia dibawah editan Damhuri Muhammad, menjadikan buku ini kompleks, mengalir, penuh intriks dalam pertautannya menjadi buku utuh. Tak pelak Melani Budianta, Guru Besar Sastra UI, berkomentar bila buku ini ditinjau dari analisis mendalam berkelindan pada akar kekinian bangsa Indonesia. Kesemuanya menempatkan kecenderungan Seno berkarya dalam bingkai postmodern, seperti penggunaan metanarasi, absurditas dalam penokohan, dan kedekatan dengan budaya populer.

Secara garis besar, identifikasi karya Seno Gumira Ajidarma (disingkat: SGA) diporoskan pada kritik politik kuasa Orde Baru (Orba). Andy mengategorikan karya SGA kedalam empat teknik khas yakni; teknik mikronaratif, pembangunan identitas karakter yang labil dan tak koheren, teknik metafiksi yang dibadani dengan tuturan fiksi yang bersifat sadar diri, dan teknik olah citra dan cerita dari khazanah sastra populer. Dari sumbu itu, SGA bersengkarut ria membangun kritik terhadap otorianisme Orba (hlm.15). Dari sana dapat disimpulkan setidaknya ada 2 ikhtiar yang diajukan Andy; pertama, buku ini berkontribusi mengidentifikasi teknik-teknik khas literer di atas, dan cukup kokoh dengan pondasi posmodernisme yang disandarkan Andy dalam bab awal. Kedua, mencerahkan pembaca ihwal relasi antara diskursus filosofis dan estetis dengan politik praktis yang diselewengkan.

Sukab dan Wisanggeni

Selanjutnya, Andy menjelajahi sastra SGA yang diwarnai tarian frekuensi penokohan 'Sukab'. SGA bisa dikatakan sangat konsisten dengan karakter buatannya itu. Sejatinya, Sukab berasal dari celetukan teman, “Sukap”, namun diubah SGA menjadi “Sukab” nama tak lazim bagi penduduk Indonesia namun mudah dilafalkan. Sukab diidentifikasi sebagai seorang tokoh rakyat, tak kaya, tak melakukan hal luar biasa, dan tak pula memikirkannya. Oleh SGA, Sukab diolah sedemikian rupa menjadi tokoh yang mengalir dengan tendensi kritik yang dibawanya.

Sebagai contoh, dalam komik terbaru Seno, Sukab Intel Melayu, Sukab menjadi seorang mata-mata, pakaiannya mirip mata-mata, gelagat dan tingkah lakunya juga, sayangnya sepanjang karirnya menjadi intel tak satupun kasus yang dibongkarnya. Sukab merenung “aku iniseorang mata-mata, tapi rasanya tidak seperti dalam film?”, bagi Andy teks itu menunjukkan intelektualitas SGA dalam rangka teks yang bergemulai. Sukab menentang ideologi Orba yang haus kuasa, namun ditanggapi Sukab dengan kehidupan sederhana, qana'ah, baginya lebih mulia menjadi pinggiran dengan abstraksi dan filosofi (hlm.86)

Kemudian pembicaraan ihwal “Wisanggeni.” Seperti biasa, SGA meramu sastra dengan unsur posmodernis dan berbuah novel berjudul Wisanggeni, Sang Buronan. Serunya, novel ini mendapat wacana tandingan dari Marshall Clark (2004). Cralk menilai cerita pengibaratan sikap superior Hanoman menggugah rasa ingin tahu, bak refleksi diri yang menempatkan tokoh cerita dalam cerita yang sama, dan juga sebagai tingkat penutur cerita. “Maka, Hanoman duduk di atas batu dan mulai bercerita. Tapi oh, maafkan penulis yang bodoh ini kalau tidak bisa menceritakan kembali dongeng ini sebaik Hanoman yang agung(….) jadi pembaca yang budiman, kalian harus memaklumi saya dan bayangkan yang tertulis di sini hanyalah sebutir pasir(…).” Di mana, pembaca dibuat sadar ihwal keterbatasan teks dan ketidakmampuan penulis menuturkan peristiwa secara akurat. SGA merumuskan teks tak terkendali.

Dan titik klimaks lainnya dalam Wisanggeni, Sang Buronan ada pada tuturan; “Dalang menancapkan wayang kulit Wisanggeni ke batang pohon pisang di lantai dan mengambil wayang lainnya. Pada saat itu seorang pria belum tercukur yang memakai baju compang-camping, mengenakan topic aping dan sandal dari kulit kerbau, menyelip diantara penonton. Bagi Clark, cerita di atas menunjukkan ketidakstabilan tekstual postmodern yang tak mengganggu bagian teks final. Pertunjukan wayang lebih menjadi narasi bukan deskripsi mengenai sebuah pertunjukan wayang. Meskipun pada akhirnya, Wisanggeni menjadi manusia, bukan sosok wayang kulit. Bagi Andy, Clark juga perlu melihat legitimasi peristiwa yang dibangun SGA. Karena posisi tawar, mutlak diserahkan penulis pada pembaca. Cerita Wisanggeni menjadi cerita metafiksi yang menyelaraskan diri pada konflik sosial yang berceceran.

Bagi saya, buku ini menangkap sosok simbolis SGA dalam penuturan rampai dan khazanah cerita biasa. Ribuan cerita biasa yang ditelanjangi SGA, dengan analisis reportase, sajian fiksi, metanarasi dan penggalan budaya populer. Malambangkan pintu sosio-kultur Indonesia yang diungkap blak-blakan. Menarik, menjadi bahan telaah bagi peminat sastra Indonesia. Seperti pernyataan Afrizal Malna, bahwa buku ini merupakan nafas baru kehidupan kritik sastra Indonesia. Selamat membaca.

Muhammad Bagus Irawan, pegiat Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat