Labels

Monday, 30 July 2012

Menandai Permainan Pendidikan


Resensi Dimuat di Harian Bhirawa edisi Jum'at 27 Juli 2012


Judul Buku     : Kota Pendidikan Minus HAM
Penulis         : Sofian Munawar Asgart
Penerbit        : Ombak, Yogyakarta
Tahun           : 1, 2011
Tebal           : 126 halaman
ISBN            : 978-602-8335-90-8

   Pendidikan sejatinya adalah kunci keberhasilan bangsa. Lewat pendidikan, akan menghantarkan rakyat menjadi pintar, bertanggung jawab, dan berkontribusi bagi bangsa dan negaranya. Mendapatkan pendidikan yang layak menjadi hak setiap bangsa. 

   Bangsa Indonesia telah mengamanatkan hak pendidikan bagi seluruh rakyat yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Selanjutnya makna  pendidikan dijelaskan UU
Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1, berbunyi, “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”Negara yang adil wajib memberikan porsi pendidikan yang sama kepada rakyat, juga memerhatikan kualitas dan mutu.

     Kenyataannya, di negeri ini pembangunan pendidikan selalu menuai sorot miris. Di mana, mereka yang miskin akan tersisih dari bangku pendidikan. Kebijakan yang diambil pemerintah, tak banyak menghasilkan, malahan membuat selubung baru penyelewengan dana pendidikan, semisal dana BOS, Sertifikasi Guru, dan lainnya. Buku berjudul “Kota Pendidikan Minus HAM” ini membagi cerita runyam dibalik lembaga pendidikan. Sorotannya adalah hak memeroleh pendidikan di kota Yogyakarta.

      Ya, selama ini kita mengenal Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Namun, dalam kacamata Sofian, kota pendidikan itu sedikit banyak telah menodai khazanah pendidikannya sendiri. Ditandai dengan wujud kapitalisme pendidikan, bisa dilihat   dari merebaknya ideologi kompetisi. Di mana, semua pihak bersaing ketat mendapatkan pendidikan dengan segala cara. Juga, liberalisasi pendidikan, yang melegalkan pandangan bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas harus mengeluarkan uang banyak. Dan yang amat menohok, adalah kesenjangan HAM pendidikan.

      Dalam buku ini, Sofian menghadirkan obyek konkrit, adanya penyelewengan-penyelewengan pendidikan itu. Adalah karena menjamurnya sekolah berlabel “Standar Internasional”. Ya, Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) menandakan selubung kapitalisme,  liberalisme, baratisme, dan pelanggran HAM. Dalam sorotan Sofian, SBI ini menerapkan aturan pembayaran dengan harga yang selangit bagi para peserta didiknya. Kurikulum yang digunakan ialah standar internasional dengan pembebanan banyaknya pelajaran dan tugas yang berat. Dengan bahasa pengantar bahasa asing. Semua pertumbuhan yang dilihat hanya
dari sisi material. Ya, SBI hadir bersandar pada Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007, saat jalan pendidikan dapat dimasuki oleh investasi dan modal asing. Semakin menohok, karena masyarakat kalangan bawah tak akan mampu mencicipi pendidikan karena harganya selangit.

      Kekuarangan lainnya dari SBI, adalah porsi pendidikan agama dan moral yang dikesampingkan. Sebaliknya lebih menekankan pada kemampuan perkembangan otak belaka. Bila tak segera ditanggulangi, akan menjadi apa bangsa ini kedepan? Sejatinya, yang diperlukan bangsa adalah pendidikan nasional yang dimaksimalkan, seluruh lapisan rakyat mampu merasakan pendidikan yang bermutu, bukan pendidikan yang diglobalkan. Buku ini dengan analisa sederhana, mampu mengurai hal ihwal permainan pendidikan negeri ini. Selamat membaca.

Muhammad Bagus Irawan, aktivis Idea Studies IAIN Walisongo Semarang

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat