Labels

Monday 30 July 2012

Menafsir Toleransi dalam Teks Fiksi

Resensi dimuat di Bisnis Indonesia edisi Minggu 29 Juli 2012

Judul : Maryam

Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 1, Maret 2012
Tebal : 280 halaman
Harga : Rp 78.000
ISBN : 9789792280098

Maryam namanya. Ia menyimbolkan sebuah prahara biru dalam kegelisahan, keterpurukan, ketertindasan, dan spirit perlawanan. Ia mengada dalam cinta, iman, dan hak asasi; bersitegang dengan diskriminasi, kekerasan, dan alienasi. Terminologi seperti itu yang dapat dibaca dari kisah Maryam disekujur badan novel karya Okky Madasari setebal 280 halaman ini. Menafsirkan karya-karya Okky memang melulu menapaki dan bermuara pada singgasana sastra kritik. Sebelumnya ada “Entrok”, yang mengkritik  kelaliman Orba, lantas “86” yang menelanjangi selang belukar korupsi yang membudaya, dan kini “Maryam”, memenjarakan akar diskriminasi yang zalim. Kebulatan Okky dengan novel investigasinya ini memang memerkaya khazanah sastra Indonesia. Kali ini, oto-kritik kepenulisan Okky menyiratkan segudang problematika intoleransi yang menggurita di bumi Nusantara. Kasus intoleransi memang menggetirkan dan menohok jalannya keberagamaan, padahal semua agama tak mungkin mengajarkan laku intoleransi (diskriminasi) itu.

Simpul intoleransi atas nama agama itu dituliskan Okky lewat pengkisahan nasib nahas yang diderita Golongan Ahmadiyah. Mengapa Ahmadiyah? Bukan yang lainnya? Latar Okky memilih Ahmadiyah beralasan, ketika golongan inilah yang paling kerap menerima tindak brutalisme, kepalan kritik ini bersandar pada fakta yang dialami di Lombok dan Bandung. Tak ayal, dalam penggarapan, 6 bulan lamanya Okky meriset Lombok (berusaha memetakan setting kisah yang cocok). Ahmadiyyah dalam hal ini bersifat simbolik, (juga bisa dimaknai dengan kasus yang menimpa golongan lain) Okky menyuarakan secara datar, tak ada pengunggulan dan terbawa sinisme amarah.

Dalam muqoddimah, Maryam adalah seorang wanita Ahmadiyyah asal Lombok, menuntut kuliah di Surabaya, dan merantau pekerjaan di Jakarta. Penokohan Okky ihwal Maryam ini mirip dengan novel “86” dengan Arimbi-nya. Sifat sentral yang menyeluruh, dengan bumbu konflik percintaan, sengketa rumah tangga, dan kemelut keluarga di kampung memuai di banyak lembaran. Sekata dengan Damhuri Muhammad yang menilai visualisasi kisah ini kentara linier dan datar, seamsal film tentang para perantau di Jakarta tahun 80-an. Cerita hanya berputar di lingkup itu, masih minim pembangunan  alegori yang menganasirkan ketragisan hidup yang begitu payah. Meskipun Okky berusaha menerapkannya dalam lembar-lembar awal, saya merasakan ada celah yang kurang menohok.
Ada momen alienasi hingga sembilu batin yang dialami Maryam dan keluarga Ahmadiyah kala itu saat diteriaki sesat dan dihajar, persis di dalam “Entrok” dengan label PKI-nya. Diskriminasi hadir ketika gelembung besar dengan egonya menuding yang kecil berbuat salah. Sayangnya, kehadiran Pemerintah dan hukum masih minim dan terkesan apatis dan masa bodoh, barangkali Pemerintah takluk pada arus besar demi kepentingan suara di Pemilu tahun depan. Melihat realita intoleransi yang tumbuh subur, tanpa ada tindakan hukum yang tegas dari pihak keamanan dan Pemerintah, memungkinkan hal itu. Wajar saja, Novriantoni Kahar mengatakan kondisi ini sebagai rezim yang tak peduli dan tuna-visi ihwal toleransi.

Ikhtiar novel ini memang menyemai butir toleransi antar-umat beragama, kelompok, dan golongan apapun. Lewat Maryam kita diingatkan agar tak terpicu suara "kotor" menghakimi dan melakukan kekerasan terhadap orang lain. Novel ini ditutup dengan surat Maryam pada gubernur yang lalai dan abai (hlm 279-280). Corak narasi realis yang disingkap gamblang oleh Okky mecoba merapikan teka-teki dan puzzle toleransi yang terpilah-pilah di negeri ini. 

Muhammad Bagus Irawan, mahasiswa Jurusan Tafsir Hadist IAIN Walisongo Semarang

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat