Opini dimuat di Harian Waspada edisi Kamis 2 Agustus 2012.
Buya Syafi’i Maarif dalam diskusi nasional bertajuk “Membangun Politik Indonesia” mengatakan, Indonesia terancam gagal membangun generasi politik yang solid, karena keengganan mereka mendengar kata politik yang sudah dinisbahkan sebagai laku kotor dan keji. Begitu masifnya media massa memberitakan budaya, sistem, pelaku politik yang identik bobrok, korupsi, tak memedulikan suara rakyat miskin, dan akhirnya terjerat di penjara, dan bebas dengan sogokan. Siklus inilah yang sehari-hari kita tonton, menjadikan politik kini sudah digeneralisasikan sebagai praktik menyamun uang Negara sebesar-besarnya dan membunuh hak rakyat sekeji-kejinya.
Latar belakang inilah yang mengartikulasikan mindset generasi menjadi antipati terhadap politik. Akibatnya, kebanyakan generasi sudah tak sudi bergabung dengan partai politik, sama halnya mereka tak acuh dengan organisasi ekstra mahasiswa yang berperan sebagai sarana pengkaderan insan berpolitik, semisal HMI, PMII, KAMMI, NASDEM, dan lainnya. Generasi lebih mementingkan keberhasilan studi dan karir ekonominya di masa depan.
Apabila kondisi emosional ini terus berkembang, bisa dibayangkan, masa depan politik negeri ini akan luluh-lantah. Senantiasa memunculkan gerakan baru membangun tatanan revolusi pemerintahan negeri ini. Mengingat, generasi yang terbentuk dengan realita politik yang kacau balau seamsal ini, sejatinya memiliki akar pemikiran yang kuat untuk aksi perubahan dengan pelbagai kreatifitas dan metodenya. Sayangnya, generasi ini tidak terkelola dengan baik, ketika mereka mementingkan egoisme dan nalar individualismenya ketimbang mengurusi ketidakadilan yang terjadi. Lebih buruk lagi, mereka akan menjadi manusia paradoksial dan antipolitis yang terbelenggu arus negatif kebudayaan kapitalisme luar yang sudah lama menjajah. Bila ini terjadi lantas seperti apa generasi muda di masa depan, yang akan menjadi pemimpin negeri dan bangsa ini?
Belajar dari Mesir
Dimensi politik dan gejolak sosio-historis yang dialami Indonesia dan Mesir secara garis besar memiliki kemiripan. Sama-sama memiliki penduduk mayoritas muslim, juga berada dibawah rezim yang tak berdaulat karena intervensi asing yang kuat. Tak heran, segala aset dan sumber daya Negara yang seharusnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, dikatakan hilang tak bersisa dan telah menjadi aset kekuasaan korporasi multi-nasional. Di Mesir, rezim sebelumnya telah berselingkuh menggadaikan kilang minyaknya dan mengorupsi hasil sumber minyak itu untuk kekayaan diri dan pengikutnya. Jauh lebih parah di negeri ini, sejak zaman Orde Baru hingga kini, satu per satu sumber daya alam kita tergadaikan dan terjual; dari gunung emas Timika Papua, ladang minyak blok Cepu, kilang gas alam Arun, mata air pegunungan, pulau batu bara Riau, bahkan ada pulau-pulau kecil tak bernama yang sudah menjadi hak milik asing.
Hasan Hanafi, tokoh modernis Islam dan Mesir, sedari mudanya memiliki karakter sama dengan generasi kita. Di bawah situasi dan kondisi politik yang terjajah, juga laku dan pemikiran keagamaan yang stagnan. Dia cerdas dan peduli, berusaha mendekonstruksi seluruh sistem yang dipandang basi untuk memajukan rakyatnya. Lantas ia pun memelopori gerakan perubahan negerinya. Ya, agendanya melakukan aksi perubahan itulah yang kemudian mengilhami generasi muda Mesir tahun lalu. Mereka yang bersatu lewat komunikasi virtual (facebook dan twitter) berbondong-bondong turun ke jalan menggelar forum penuntut kebebasan untuk menggalang revolusi Mesir yang pada akhirnya menggulingkan rezim otoriter demi terbangunnya Negara demokrasi sebenarnya. Lantas bagaimana dengan Indonesia yang sejatinya memiliki banyak tokoh, semisal bung Hatta yang memerjuangkan sistem ekonomi kekeluargaan Koperasi dan menentang keras kapitalisme. Apakah revolusi seperti Mesir akan terjadi di Indonesia?
Politik Santun
David Krisna (2012) mengatakan, generasi muda ogah berpolitik karena takut namanya tercemar oleh kebusukan politik dan rezim korup yang takut dengan gerakan perubahan. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah selamanya generasi kita tak pandang politik? Padahal, seperti gerakan revolusi Mesir sendiri adalah kerja politik yang terbuka. Generasi Mesir, dari mahasiswa, pedagang, guru, komunitas, dan lainnya bertekad membuat forum komunikasi virtual, karena membuat forum komunikasi nyata telah dilarang.
Bagaimanapun, untuk menjatuhkan rezim politik dengan segala sistemnya. Generasi juga harus mampu berpolitik. Saya memandang, yang wajib diperhatikan adalah langkah khittah (kembali) meruwat aktualisasi politik seperti pengertian awalnya, yakni bagaimana menjalin kesepakatan bersama demi kebaikan dan kemakmuran bersama. Politik pada dasarnya adalah kerja santun sebagai sarana menuju kebersamaan yang baik. Semisal politik Nabi Muhammad ketika memrakarsai “Piagam Madinah”, juga politik “Pancasila” dan slogan Bhinneka Tunggal Ika” yang memerdekakan negeri ini dari keterjajahan.
Lebih lanjut, apabila agenda politik santun ini mampu membuka forum bersama dan terbuka, akan mampu menghadirkan dan memobilisasi gerakan massa yang besar. Karena dasar pesan-moral yang satu, yakni mewujudkan kebaikan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Dari sana, seluruh napas dan semangat generasi akan berjalan lewat rasa kekeluargaan dan persatuan. Menjadikan spirit dan ikhtiar perjuangan politik adalah panggilan hati yang sesungguhnya. Lantas, politik santun nantinya akan menggeruskan sifat individualis, kapitalis, dan ego diri menuju perombakan jiwa generasi yang terbuka, altruistik, peduli, toleran, tolong menolong, dan kreatif bersama. Kendali jiwa-jiwa seamsal inilah, barangkali akan memajukan Indonesia sebagai bangsa-negara yang makmur dan tangguh. Wallahu a’lam bisshawab.
Muhammad Bagus Irawan, peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.
No comments:
Post a Comment
Silahkan Berpendapat