Labels

Saturday, 4 August 2012

Kisah Cinta yang Ditolak Adat

 Resensi ini dimuat di Harian Bhirawa edisi Jum'at edisi 3 Agustus 2012
http://www.harianbhirawa.co.id/opini/50960-kisah-cinta-yang-ditolak-adat

Judul         : Mencari Cinta yang Hilang
Penulis      : Abdulkarim Khiaratullah
Penerbit    : Diva Press, Yogyakarta
Tahun        : 1, Juni 2012
Tebal         : 392 halaman
Peresensi   : Muhammad Bagus Irawan
Pegiat Idea Studies IAIN Walisongo Semarang

Kisah percintaan selalu menabur harapan indah. Keindahan itupun tak selalu berbuah manis, kadang juga berupa derita dan nestapa. Cinta barangkali berwujud kasih sayang, yang memang akan mewartakan sendi kehidupan seluruh manusia. Setiap orang niscaya beredar menuju kemana hati akan meletupkan cahaya cintanya. Hingga, mereka akan terus mencari cinta yang suci dibawah rambu syari'at dan dianggap sejati dari citraan hegemoni, walaupun itu berujung pada keelegian yang pahit. Cinta kadang juga memantik fatsun kelabu yang mengkhawatirkan. Gelora hidup berurat dari soal cinta, karena cinta selalu ada. Pada hakikatnya, cinta itu urusan hati, dan cinta suci itu kehendak ilahi.

Novel perdana karya Abdulkarim berjudul "Mencari Cinta yang Hilang" ini hadir senyatanya. Barangkali cerita cinta yang diketikkan memang didaraskan pada kisah cintanya yang hilang ditolak adat. Dengan bahasa yang sederhana, Abdulkarim yang lulusan LIPIA Jurusan Syari'at ini, mampu menarik pembaca masuk ke dalam alur novel, meski tak seutuhnya. Novel setebal 392 halaman ini terbagi kedalam 24 bab pengisahan. Selain bahasa Indonesia, penulis juga meramu kisahnya menggunakan bahasa Minang dan Arab. Tak heran, novel ini memang berlatar, mulai dari Bukittinggi, Arab Saudi, dan Jakarta.

Fauzi namanya, karakter yang kuat diceritakan penulis dari awal hingga akhir, mewakili sosok aku. Di awal cerita bertajuk "Alam nan Elok", Abdulkarim berhasil mendeskripsikan panorama keindahan dan keseharian tanah lahirnya, Bukittinggi yang identic dengan Jam Gadang dan pesona Ngarai Sianok-nya (hlm. 11-15). Lantas cerita meluncur pada keseharian Fauzi yang tinggal hanya dengan ibunya, sedang bapak telah meninggal sewaktu masih dikandungan. Tak ayal, kehidupan keluarga kecil tanpa nahkoda ini harus pontang-panting menghadapi segala badai dan ombak cobaan. Pun, dulu sang ibu yang berulangkali ditawari menikah lagi, sudah membulatkan tekad untuk setia pada janji cinta pertama dan terakhirnya untuk bapak.

Disinilah kunci ketabahan dan kesabaran menjalani hidup seadanya yang dicontohkan ibu dan dipelajari Fauzi (hlm. 24). Pada bab selanjutnya alur yang semula datar mulai merangkak pada bab "Setitik Harapan". Fauzi yang hampir lulus Madrasah Aliyah bertekad melanjutkan studinya di Riyadh Arab Saudi. Namun ia bimbang dengan cita-cita itu, padahal untuk makan sehari-hari dengan ibu saja sudah sulit apalagi untuk kuliah di luar negeri. Pun, dari sana sang ibu selalu mewanti-wanti Fauzi agar tak berharap belas kasih dari orang lain, ataupun membuat proposal.

Ibu selalu mengatakan; "Mengharapkan belas kasihan orang lain hanya akan membuat harga diri jatuh ke derajat yang hina, meskipun untuk tujuan yang baik, berharaplah hanya kepada Tuhan", (hlm. 38). Hingga Fauzi pun berdo'a dan berpasrah pada Tuhan, hingga iapun bermimpi diajak seorang berjenggot lebat dan dibawa melihat sebuah bangunan besar di atas padang pasir, seterusnya dia melihat bangunan yang dikenalnya, Masjidil Haram dan Ka'bah (hlm. 39-42). Tanpa disangka keesokan harinya, Fauzi mendapat kabar gembira atas keberangkatan kuliahnya dari hasil penjualan tanah kakek.

Kisah Cinta
Cerita dramatis terasa pada kisah cinta segi tiga Fauzi-Rahima-Riri. Fauzi yang sudah 4 tahun menimba ilmu di Jami'ah Al-Imam Muhammad Ibnu Sa'ud dilamar oleh Pak Zaidan (Ayah) atas Rahima putrinya yang kala itu sama-sama usai menunaikan ibadah haji. Fauzi lantas menelpon ibu dan mendapat persetujuan bahkan anjuran untuk menikahinya. Rahima bukanlah orang asing, dia adalah teman sepermainan sedari kecil, bahkan dia juga yang empat tahun ini menggantikan posisi Fauzi merawat ibu. Lebih dari itu, Fauzi memang sudah lama mencintai Rahima karena keshalihan, kecerdasan dan keanggunannya. Lamaran diterima dan mereka sontak merencanakan pernikahan di tanah kelahiran 3 bulan kemudian setelah Fauzi rampung wisuda.

Di tengah kegembiraan Fauzi ini, hadir surat cinta dari Riri. Riri adalah TKW asal Jawa Timur yang bekerja di rumah Baharuddin Singh, dekat kontrakan Fauzi. Diceritakan Riri sedari kecil selalu ditimpa kemalangan, hingga saat bekerja ia mendapat pukulan atas kemarahan tuan Baharuddin, meski dia bekerja dengan baik dan tak melakukan kesalahan. Kesabarannya selama ini berbuah manis ketika hati sang majikan terketuk dan menjadikannya sebagai anak angkat, dan Riri pun dikuliahkan di Jami'ah Al-Imam. Tak ayal, karena sudah terikat dengan cinta Rahima, lantas Fauzi pun menolak Riri. Dalam surat cinta terakhirnya Riri pun mengaku hidupnya sudah berakhir karena harapan cintanya telah sirna. Riri mencintai Fauzi berawal dari bantuan ikhlas dan dianggap sebagai titik terang cinta.

Sesampai di tanah air, pernikahan Fauzi-Rahima pun tak langsung digelar. Adat Minangkabau mewajibkan pernikahan harus disetujui musyawarah bersama. Karena kedua calon pasangan memiliki suku yang sama dari ibu, Chainago. Menurut adat pernikahan macam ini harus dilarang, karena kedua pasangan adalah saudara, dan memiliki darah yang sama. Namun, bila dilihat dari hukum syari'at agama, pernikahan sah, karena pertalian nasab bertemu di nenek, jadi kedua pasangan dibolehkan menikah. Dalam ini, Fauzi memercayakan suara pada Mak Palito, sang paman. Berpegang pada Adat Bersandar Syari'at, Syara' Bersandi Kitabullah, semestinya pernikahan bisa dilakukan dengan syarat membayar denda menyembelih kerbau atau kedua pasangan diasingkan.

Hingga sidang adat pun digelar, dan hasilnya membatalkan pertunangan kedua pasangan. Sontak dari sana, harapan Fauzi-Rahima yang saling mencintai pupus sudah. Akhirnya, Fauzi pun merantau ke Jakarta dan menulis sebuah novel "Kisah Cinta yang Ditolak Adat", sedang Rahima menikah dengan Abdullah, namun Rahima masih sangat mencintai Fauzi sebagai cinta pertama dan terakhirnya. Novel pun ditutup dengan cerita tragik sakitnya Rahima karena menunggu kedatangan Fauzi, hingga di saat terakhir Fauzi datang, namun Rahima sudah tidak kuat dan meninggal. Barangkali percintaan yang tulus memang menggelorakan rajutan kehidupan yang indah, tiada insan yang mau memutuskannya. Selamat membaca. ***

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat