Labels

Tuesday, 28 August 2012

Kepemimpinan Gaya Bang Ali


Resensi terbit di Bisnis Indonesia edisi Minggi 26 Agustus 2012


Judul Buku     : Ali Sadikin, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi
Penulis            : Ramadhan K.H.
Penerbit         : Ufuk Press, Jakarta
Cetakan          : 1, Juni 2012
Tebal              : 632 halaman
Harga              : Rp69.900,-
ISBN                : 978-602-7689-01-5

Di tengah hiruk-pikuk Pilkada DKI Jakarta 2012 yang sarat akan perang citra dan arus politisasi. Buku flashback bertajuk “Ali Sadikin, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi” ini mendedahkan kreasi fatsun kepemimpinan lama yang dirindukan. Buku ini mengartikulasi apa arti kepemimpinan itu? Falsafah kepemimpinan sejatinya menandai terjalnya sebuah pengabdian. Ukuran keberhasilan seorang pemimpin dinilai dari seberapa besar jerih payah dan karya yang ditinggalkan untuk kemaslahatan rakyatnya. Sebaliknya akan dicap gagal, ketika hanya memanfaatkan kepemimpinan sebagai kolong wacana dan kerja mengeruk kepentingan sendiri. Buku berbentuk ensiklopedia dan memoar pelbagai suka-duka saat mengambil kebijakan ini ditulis sebagaimana lakon kepemimpinan Ali sewaktu menjadi gubernur (1966-1977).

Ramadhan memang mendedikasikan buku ini untuk Bang Ali karena kenangan manis buah kepemimpinannya yang sangat manusiawi; mengembangkan Jakarta sebagai kota metropolitan. Ia membangun pusat-pusat budaya, pusat-pusat hiburan seperti Taman Ismail Marzuki, pusat pelestarian budaya Betawi di Condet, Taman Monas, Taman Ria Senayan, Kebun Binatang Ragunan. Pun, dari sana ikhtiar yang patut diambil pembaca adalah bagaimana meneladani kiat-kiat ketegasan dan keterbukaan Bang Ali dalam memimpin dan mengambil kebijakan.

Sebelumnya, Ali Sadikin sangat terkejut saat dipanggil dan ditunjuk Presiden Soekarno untuk menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Kala itu 28 April 1966 di Istana Negara, Bang Ali resmi dilantik dan dibebani tanggung jawab berat menangani Jakarta dengan setumpuk permasalahan dan krisis multidimensi (hlm. 2-6). Bang Ali melihat dua kelemahan utama yang patut diluruskan; pertama, kondisi Pemda meliputi organisasi, mutu, jumlah tenaga kerja yang minim tidak relevan untuk melayani rakyat DKI yang mencapai 3,6 juta. Kedua, tidak adanya tanggung jawab masyarakat Jakarta untuk memiliki dan merawat daerahnya. Tak hanya itu, dana awal yang dimiliki Jakarta saat itu hanya sebesar 66 juta (hlm.11-12).

Langkah awal Bang Ali adalah memerbaiki sistem kinerja pegawai daerah dan mencanangkan blueprint patokan efisiensi kerja yang ketat. Bang Ali memiliki ciri khas yang alot dan keras, Ia tak sudi berlama-lama merumuskan kebijakan, melainkan langsung dipraktikkan. Tak pelak ia kerap melakukan instruksi langsung  di tempat secara spontan. Bahkan hal itu sering bernada perintah yang harus dilakukan segera. Ini dilakukan semata untuk melayani masyarakat. Selanjutnya, prioritas memercepat pemasukan sumber dana Pemda. Setelah dana terkumpul, Bang Ali fokus memerbaiki sarana transportasi sebagai penunjang utama pertumbuhan ekonomi Jakarta dan Indonesia. Tak ayal, 25 % anggaran keuangan DKI Jakarta sebesar 17 Miliar digelontorkan untuk memerbaiki dan menambah ruas jalan 800 KM dan 1600 buah jembatan, itupun berkisar 65% saja (hlm.81-83).

Alhasil dari situ Jakarta yang sempat krisis, perlahan mulai merangkak menuju mandiri. Jakarta mulai dilirik dan dengan cepat menjadi metropolitan dengan segala ekses kebergantungannya. Ketegasan Bang Ali semakin terasa, saat ia dengan lantang bersandar pada undang-undang dan kemaslahatan umum mencetuskan pelbagai kebijakan yang kontroversial. Diantaranya, mengembangkan hiburan malam dengan berbagai klub malam, mengizinkan diselenggarakannya perjudian di kota Jakarta dengan memungut pajaknya untuk pembangunan kota (hlm.45-46), dan yang paling arogan adalah  membangun kompleks Kramat Tunggak sebagai lokalisasi pelacuran yang legal (hlm 217-220).


Praktis, kebijakan ini sempat ramai dan ditentang oleh banyak kalangan, terutama kelompok agama. Namun dengan kewibawaan Bang Ali tak gentar dan terus maju dengan apa yang dia anggap benar. Di sinilah ciri khas kepemimpinan Bang Ali yang apa adanya dan keras kepala demi menertibkan dan menyejahterakan rakyatnya. Buku setebal 632 halaman ini memang menjadi rekam jejak yang orisinal karena diwartakan bersandar pada berita antologi para wartawan sezaman Bang Ali. Darinya, kita seolah diingatkan bahwa Jakarta dulu pernah menjadi sebuah kota ideal, nyaman, dan maju hanya lewat kepemimpinan yang bersih dan sukarela demi rakyat. 


Muhammad Bagus Irawan, pecinta buku tinggal di Semarang



No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat