Labels

Friday 17 August 2012

Belajar dari Kepemimpinan Puntadewa

Resensi dimuat di Harian Bhirawa edisi Jum'at 10 Agustus 2012




 

Resensi Buku


Judul         : Puntadewa
Penulis      : Wawan Susetya

Penerbit     : DIVA Press, Yogyakarta

Tahun        : 1, Desember 2011
Tebal         : 432 halaman
Harga        : Rp50.000,-
ISBN         : 9786029789904
Peresensi  : Muhammad Bagus Irawan
Aktivis JFC IAIN Walisongo Semarang.

Pada zaman yang disebut edan, kepemimpinan seringkali  dimaknai terselubung. Dalam dunia politis kekinian, praktis kepemimpinan hanya dimiliki para penguasa. Mereka yang berduit yang jadi pemimpin. Meniadakan hakikat asli kepemimpinan dengan simbol  wibawa, jujur, adil, berani, sabar, dan peduli pada rakyat. Tak ayal, kini sejadinya kepemimpinan itu tak berbuah apik, bahkan menyengsarakan dengan keserakahan yang selalu diumbar.

Novel bertahta "Puntadewa" ini menarik pembaca kedalam plot lembah pewayangan klasik. Kiasan dan tragedi yang diumbar sepenuhnya member khazanah kepemimpinan yang ideal. Novel dengan tuturan sejarah kental ini berkisah pada tokoh sentral Puntadewa. Kita kenal, bila Puntadewa adalah tetua pandawa, yang khidmah dalam jalan kebenaran.  Novel ini mengajarkan ihwal hakikat meraih kemenangan tanpa mengalahkan, dalam artian seseorang dapat menundukkan hawa nafsunya yang selalu bergejolak dalam diri. Walhasil, kemenangan yang diraih, tak lain adalah kekuatan iman dan sukma atas kebaktian pada Tuhan Sang
Pencipta.

Membuka dengan alur tak terduga, penulis dengan bahasa sastrawi mengisahkan biografi Prabu Yudhistira ini. Puntadewa lahir sebagai anak sulung Prabu Pandu Dewanata, seorang Raja Astinapura, dari Rahim Dewi Kunthi Talibrata. Masa kecil bersama keempat adiknya dilalui dengan kisah galau kematian ayah dan tragedi "Bale Sigala-gala."
Ketika para kurawa yang didalangi Patih Sengkuni mencoba membunuh keluarganya dengan cara menjebak dalam sebuah rumah dan membakarnya. Dari sana,  Duryudana putra Prabu Destarastra pun merebut tahta menjadi Raja Hastinapura.

Untuk menjaga kelanggengan kuasa Hastinapura, Destarastra menyarankan kepada Duryudana untuk memanggil Pandawa lima dan memberikan tanah kepada Puntadewa sebagai pengganti bumi Hastina. Tanah tersebut berupa hutan yang bernama Wanamarta. Walaupun merasa diperlakukan tidak adil, dengan ikhlas Puntadewa dan keempat adiknya melakukan pekerjaan besar, yaitu Babad Alas Wanamarta. Dikisahkan bahwa Alas Wanamarta sejatinya adalah keraton "lelembut" yang sangat elok bernama Indraprasta.

Saat itu, Pandawa lima beserta para kawula berkumpul di hutan untuk memulai membabat hutan Wanamarta, Prabu Yudistira dan adik-adiknya merasa terusik, mereka marah dan ingin menggagalkan babad Alas Wanamarta. Namun niat itu diketahui oleh Arjuna, karena ia mempunyai pusaka Lenga Jayeng Katon yang jika dioleskan di mata dapat melihat para makhluk halus. Maka terjadilah peperangan antara Pandawa dan para penguasa Kerajaan Indraprasta. Pada akhirnya, Prabu Yudistira dapat ditundukan. Walhasil, Indraprasta pun dapat dikuasai Puntadewa. Tak berhenti di sini, para kurawa selalu sinis dengan hasil Pandawa, siasat pun selalu diumbar dan seringkali Puntadewa sebagai raja dikhianati. Namun ia selalu bergeming dengan sifat kepemimpinan sucinya.

Sebuah gambaran menarik untuk direfleksikan ke dalam batin manusia dalam wilayah jagad cilik, yang ternyata berkontribusi pada kehidupan jagad gedhe. Jika pada akhir sebuah konflik yang menang dan berkuasa adalah "Raja Mutmainah", maka yang memancar keluar adalah cahaya putih, berwatak suci, welas asih, sabar dan tulus. Begitulah kisah Puntadewa. Ia menjadi tokoh yang dilematis. Kebaikan yang berlebihan dianggap sebagai wujud lain dari watak yang selalu memikirkan diri sendiri. Di dalam benaknya, hanya ada sebuah pemikiran, bagaimana caranya untuk bertahan dalam kesetiaan. Ia setia kepada panggilan dharma. Novel ini sekilas menjerumuskan pembaca pada wira-wiri kisah pewayangan sentris kuno  yang mengena. Selamat membaca

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat