Labels

Saturday 4 August 2012

Nasib Tragik Etnik Rohingya

Tulisan ini dimuat di Opini Wawasan edisi Sabtu 4 Agustus 2012
Bulan puasa ini mendatangkan cobaan sangat berat bagi etnik muslim Rohingya di Myanmar. Sejak bulan Juni lalu, mereka harus menghadapi aksi keras militer Myanmar. Meskipun aksi penyerangan ini merupakan bentuk penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Bagaimanapun pembantaian ini sangat memilukan dan memalukan komunitas PBB dan ASEAN. Namun sampai sekarang belum terdengar upaya negara-negara lain untuk membantu menyelesaikan konflik timpang dan penuh elegi ini.
Hingga saat ini aksi pembantaian etnik Rohingnya telah menewaskan 650 jiwa (dan akan selalu bertambah bila tak ada upaya penghentian), menelantarkan 90.000 jiwa yang menempati tempat persembunyian, dan memaksa 80.000 jiwa mengungsi ke negara-negara yang mau menampung, termasuk Indonesia. Ada sekitar 437 orang yang telah mengungsi ke Indonesia, sebagian besar ditampung di Aceh dan Medan.
Kekerasan dipicu adanya bentrokan (clash) antara etnis budha Rakhinea dan muslim Rohingya di Taungup di Negara Bagian Rakhine. Alhasil pemerintah Myanmar yang sejak mula tak mengakui keberadaan etnis muslim Rohingya ini sontak geram dan menerjunkan pasukan militer untuk membantai etnis itu.
Sejauh ini, pemerintah Myanmar menyebut mereka sebagai imigran ilegal meski telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi. Tindakan represif ini bukanlah kali awal, bahkan dalam catatan sejarah Presiden Myanmar Thein Sein pun pernah menyatakan akan mengusir kaum Rohingya jika ada negara ketiga yang mau menampung mereka. Tak ayal, tindakan diskriminasi dan upaya pembersihan etnik Rohingnya di Myanmar menuai kecaman dunia internasional.
Nasib Rohingnya
Terkait dengan riwayat etnik Rohingnya, Agung Satyawan (2012) mencatat jumlah etnik Rohingya yang tinggal di Myanmar ada 800.000 orang, 28.000 di tampung di dua kamp pengungsian di Bangladesh yang di tangani oleh organisasi PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR), 200.000 tinggal secara ilegal di wilayah Bangladesh di sepanjang perbatasan dengan Myanmar dan selebihnya menjadi imigran gelap di negara-negara lain.
Nasib etnik Rohingnya yang tak memiliki status kewarganegaraan sangat memrihatinkan. Ia diambang batas stigma dan kekerasan, karena tidak ada negara manapun yang sudi menerimanya dengan legowo. Jumlah pengungsi Rohingya yang demikian banyak menjadi beban bagi negara miskin dan berpenduduk padat seperti Bangladesh. Tidak jarang gesekan sosial muncul antara penduduk setempat dengan para pengungsi ilegal. Walau Pemerintah Myanmar mengatakan etnik Rohingya berasal dari suatu wilayah sebelah barat Bangladesh, Pemerintah Bangladesh enggan mengakui para pengungsi ini sebagai warga negaranya dan diperlakukan sebagai imigran.
Status sebagai etnik tanpa negara, orang-orang Rohingya rentan terhadap tindakan-tindakan tidak adil tanpa dilindungi hak-hak sipil, baik di Myanmar, Bangladesh atau di mana pun mereka berada. Di Myanmar, ruang gerak mereka dibatasi dan hanya diizinkan di seputar desa saja. Jika hendak melintas lain desa, mereka diwajibkan membayar untuk memperoleh izin. Oleh karena itu, mereka kesulitan memperoleh akses ke pasar, sekolah dan fasilitas pendidikan maupun kesehatan. Keadaan ekonomi mereka sangat miskin, diperkirakan lebih dari 80% buta huruf.
Predikat Rohingnya sebagai bangsa siluman yang bodoh tanpa wilayah, akan selalu ditimpanya. Dalam konsisi itu, etnik rohingnya mengalami degradasi kepercayaan dan mengalami alienasi, dan ketertindasan HAM. Meskipun begitu, mereka selalu berharap dan berupaya melayangkan permohonan suaka ke negara yang berbaik hati. Tak heran, mereka yang telah mengungsi di Indonesia pun mencoba berkorespondensi dan berterima kasih atas pertolongan yang diberikan. Mereka pun berharap Indonesia mau menerima menjadi bagian rakyatnya.
Aung San Suu Kyi
Pendeskrepsian aksi militer Myanmar mirip seperti digamblangkan film biografi Aung San Suu Kyi, The Lady (2011), terlihat betapa bringasnya militer Myanmar memberondong para pemberontak dengan senjata tanpa ampun. Meskipun masih ada perlawanan dari etnik Rohingnya, tapi perlawanan ini tak setimpal, mengingat kondisi etnik muslim ini sebagai rakyat biasa. Dalam film itu terlihat perjuangan gigih Aung San Suu Kyi untuk menegaakkan HAM, ia tak gentar melawan kekuatan militer, dari sanalah ia lantas mendapat penghargaan Nobel Perdamaian.
Sayangnya, ekspektasi dan elektabilitas Aung San Suu Kyi tak terlihat di sini. Padahal ia baru saja dibebaskan dari tahanan rumah dan berhasil memenangkan kursi di parlemen. Seharusnya, dengan jabatan barunya dalam parlemen, ia diharapkan mampu memberi pertolongan dan perlindungan bagi tegaknya HAM di Myanmar. Itu hanya harapan, karena Aung San Suu Kyi kentara diam dalam hal ini. Terbukti, saat ditanya soal aksi represif militer terhadap Rohingya, ia tidak memberi jawaban yang jelas dan terkesan diam. Tak heran, sikap Suu Kyi ini pun mengecewakan seluruh insan pro demokrasi internasional. Nahasnya, di tengah kondisi etnik Rohingnya yang mengenaskan dan teraleniasi, bantuan sosial dari PBB dan negara lain termasuk Indonesia akhirnya dicekal dan distop oleh militer Myanmar.
Fakta tragis yang menimpa etnik Rohingnya ini seharusnya mendapat perhatian urgen dari warga dunia. Negara-negara dunia patut melakukan dialog dengan Myanmar agar mau menghentikan aksi militer kejinya. Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim juga sebagai negara perintis ASEAN seharusnya mampu bertindak cepat memobilisasi negara ASEAN untuk mengajak dialog diplomatis dengan Myanmar. Sayangnya, peran Indonesia masih ambigu dan lambat, karena masih menunggu Pertemuan Darurat OKI untuk membahas kasus tragik Rohingnya dan Suriah di Jeddah Arab Saudi pertengahan Agustus mendatang. Bagaimanapun kasus Rohingya adalah tragedi kemanusiaan. Warga dunia seharusnya terenyuh dan membangun solidaritas untuk turut membantu dan mendoakan berhentinya kemalangan yang menimpa etnik Rohingnya. Amin.
Muhammad Bagus Irawan, peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat