Labels

Saturday, 8 September 2012

Parade Negeri Konflik dan Intoleran

Seri Parade Keempat
Opini dimuat di Wawasan edisi 7 September 2012

Negeri itu kembali diplot sebagai negeri intoleran. Apa pasal? Negeri itu kentara galak, lewat fakta aksi kekerasan yang dialami bagian bangsanya sendiri. Laku intoleran sudah menjadi sebuah safari rutinan di belahan Indonesia. Disini, penyulut intoleransi bukan hanya faktor agama, tapi juga ideologi, kepentingan politik, hukum, HAM, ekonomi, dan sosial. Kasus kekerasan terakhir adalah pembakaran dusun penganut Syi’ah di Sampang (26/08/12) semakin memerpanjang catatan hitam intoleransi di Nusantara yang patut diusut tuntas akar-akarnya. Sebelumnya, sejak Januari hingga kini, laku intoleran beruntun memuncak dengan pelbagai sebab utamanya. Kasus kekerasan atas nama agama yang tersulut diantaranya: kasus Jamaah Ahmadiyah di Lombok dan Jawa Barat, Jemaat Gereja di Temanggung, Bekasi.

Konflik agraria memanas di Papua, Mesuji, Lahat, dan pelbagai daerah lainnya. Tak hanya itu, aksi keras juga dilancarkan untuk membungkam agenda diskusi buku di UGM dan Lkis Yogyakarta; yang didalamnya menistakan peserta, panitia, dan penulis buku asal Pakistan, Irshad Manji. Hingga bulan lalu, konser musik Lady Gaga pun gagal digelar, tak luput diterjang ganasnya pedang intoleran itu. Dari beberapa kasus sejatinya menggambarkan sebuah pergolakan identitas yang memuai, ketika toleransi sudah tak digubris dan dihargai.

Bila ditinjau dari akar sejarahnya, meningkatnya suhu kekerasan di Indonesia membuncah sejak kurun akhir pemerintahan Orde Baru hingga paska reformasi kini. Saya memandang ada empat penyebab utama yang menyulut ekses intoleran ini menjamur, yakni; pertama, adanya patronase kuasa, ketika kekuasaan pemerintahan baik di tingkat nasional dan daerah sudah disalahgunakan. Pemerintah seenaknya membuat regulasi yang menindas rakyat dan bertentangan dengan hukum adat. 

Semisal, dari kasus agraria di Mesuji dan pelbagai daerah lainya, dipicu karena penyerobotan lahan warga dan tanah ulayat. Kehadiran UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden RI No. 111 tahun 2007, semakin menggencarkan investor besar (asing/nasional) begitu mudahnya mengambil alih lahan rakyat, mengakuisisi lahan perusahaan limbung, dan membuka area hutan dengan jaminan Hak Guna Usaha (HGU). Persengkongkolan pemerintah yang memihak pemodal akan selalu memanaskan rakyat untuk makar, tak heran kasus panas agraria akan selalu meletup.

Kedua, sentimen sosial dan agama, sejatinya Negara secara normatif telah meneguhkan komitmen kebebasan beragama melalui Pasal 28 E Ayat (1 & 2) UUD Negara RI 1945. Jaminan yang sama juga tertuang dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik. Sayangnya, sejak reformasi, di Indonesia mulai bercokol organisasi massa garis keras, mereka mengatasnamakan agama berpola-tingkah bak algojo Tuhan yang bebas merusak, membakar, melukai hingga membunuh. Dalam catatan Moderate Muslim Society (MMS) sepanjang tahun 2011 saja ada 89 kasus intoleransi berkedok agama. Hal ini menandai adanya sinisme agama yang subur sebagai bentuk eksistensi jatidiri Ormas-ormas penebar intoleransi. Walaupun tak menutup kemungkinan Ormas ini disetir kepentingan asing untuk memorakporandakan gaung toleransi agama di bumi Nusantara.

Ketiga, hegemoni ekonomi, bagaimanapun masalah eskalasi kesenjangan ekonomi menjadi ekses yang paling besar di negeri ini. Tingkat kemiskinan yang mencapai lebih dari 30 % bersanding lurus dengan meningkatnya laju korupsi di negeri ini adalah sebuah paradoks besar. Ketika hak hidup sederhana, pangan, papan, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan dan lemahnya hukum. Tak ayal, laku emosional rakyat menuntut pemenuhan hak hidup itu sangat mudah membara dan akan selalu mengancam sumbu intoleransi dan kekerasan. Sebgaai contoh darinya; laju pemogokan buruh, aksi perampokan, dan kasus kriminal berbasis kebutuhan uang lainnya. 

Dan keempat, lemahnya hukum di Indonesia. Bukan rahasia umum, hukum di negeri ini bukan lagi pembela kebenaran namun pembela yang beruang. Kasus jual beli hukum sudah membudaya dan menjadi piramida terbalik. Akibatnya rakyat kecil selalu dikorbankan, sedangkan para pengusaha dan pejabat korup bebas berleha-leha. Dari sini-lah hukum seolah menjadi lembaga munafik dan keji, menghianati tujuan berdirinya, menegakkan kebenaran. Ketika poros hukum sudah amburadul dan tak dapat dipercaya, kepada siapa lagi rakyat menuntut haknya? tak ayal, kelemahan hukum menandai meningkatnya eskalasi kekerasan di negeri ini.

Konflik Papua

            Belakangan ada kabar tentang rencana perpanjangan Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia dari tempo akhir tahun 2021 menjadi 2041. Tak hanya itu, Freeport juga akan memerluas area hingga wilayah Nabire; dan menambang dari bagian permukaan hingga masuk ke dalam perut bumi. Apa pasal? Karena kehadiran Freeport-lah yang menghantar bara konflik mengabadi di sana.

Benang kusut kekerasan di Papua adalah kisah epik yang terus membara sejak bumi cendrawasih didekolonisasi kedalam NKRI. Berbeda dengan daerah lain, paradoks intoleransi terjadi senyatanya dan mengabadi. Barangkali ada kesengajaan membuat bara api itu terus berkobar, selalu ada bentrok, penembakan, dan kericuhan yang terjadi. Kenapa selalu panas? Dalam penelitian Imparsial dalam Sekuritisasi Papua (2011) didedahkan empat faktor penyebab. Pertama, gagalnya pelaksanaan otonomi khusus, terutama dalam pembangunan di bidang kesejahteraan ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Bumi Papua menyimpan begitu besar kekayaan alam, nahasnya, yang menikmati adalah asing dan segelintir orang suruhan pemerintah, sedangkan rakyat Papua miskin.

Kedua, masih kuatnya diskriminasi dan marjinalisasi terhadap masyarakat asli Papua dalam berbagai bidang.  Seringkali warga Papua mendapat diskriminasi dalam mendapat haknya. Lihat saja, mayoritas pekerja Papua di PT. Freeport berada pada posisi bawahan. Ketiga, tindakan represif aparat keamanan yang seringkali mengambinghitamkan rakyat Papua. Tindakan represif masa lalu yang dikategorikan pelanggaran HAM. 

Keempat, gerakan makar, ditandai munculnya OPM (Organisasi Papua Merdeka), adanya perbedaan persepsi tentang terintegrasinya Papua ke dalam wilayah NKRI melalui Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969. Kekalutan Papua sungguh ironis. Di sana-lah sumbu intoleransi sering terjadi, ketika pemerintah tak acuh, penanam modal berpesta pora menguras sumber daya alam, sedangkan rakyat dipaksa terkena imbas amukan lingkungan dan selubung kemiskinan. 

Tak ayal ada ungkapan miris nan terkenal dari kepala keuskupan Jayapura Neles Tebay Pr; “Segala sesuatu di Papua begitu mahal, hanya ada satu yang sangat murah, yakni nyawa orang Papua”. Apakah parade negeri konflik-intoleran masih akan berlanjut? Karena damai berasal dari hati nurani. Wallahu a’lam bisshowab..

Muhammad Bagus Irawan, Peneliti IDEA STUDIES IAIN Walisongo


No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat