Labels

Saturday, 29 September 2012

Ekstase Seni sampai Ritus Humaniora


Resensi Buku dimuat di Harian Bhirawa edisi 28 September 2012



Judul Buku  : Vodka dan Birahi Seorang "Nabi"
Penulis       : ST. Sunardi
Penerbit      : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan      : 1, Juli 2012
Tebal          : xvi + 444 halaman
ISBN          : 978-602-8252-73-7
Muhammad Bagus Irawan, perintis Gubuk Baca Dusun Ngebong-Mantingan

Kontinuitas kehidupan manusia mencipta bait-bait seni dan estetika tiada batas. Apakah berupa niskala hingga retorika, wajah kesenian manusia mengalir dalam segala drama nestapa-bahagia lewat rona mimik yang tercipta. Tak ayal kesenian memang menaja sebagai persoalan de gustibus non disputandum-rasa tidak bisa diperdebatkan. Karena jati diri seni adalah jalan untuk mengintip yang tak terbatas, menghadirkan the infinite dengan the finite. Kehadiran buku bertajuk Vodka dan Birahi Seorang "Nabi" ini menambah daftar referensi ihwal kontekstualitas dan kompleksitas neraca kesenian negeri ini. Buku antologi esai, catatan liar, dan makalah ini menohokkan imajinasi dan fakta tentang ekstase seni yang kaya tema, absurd, dan problematik. Tema sentris seni menampilkan figurasi unik dengan esensi makna yang kental. 

Buku ini terbagi kedalam lima bagian meliputi; Tekstualitas sebagai Peristiwa (12 tulisan), Visualitas yang Menerabas (11 tulisan), Musikalitas (4 tulisan), Antara Seni dan Pasar (8 tulisan), dan Problematika Pengembangan Wacana Seni (9 tulisan). Judul buku yang tak lazim disarikan dari  tulisan kedua, karena dirasa mampu mewakili spirit dan isi sebagian besar tulisan yang tersaji. "Vodka", "birahi", dan "nabi" menandai tiga metafora kunci komunikasi atas realitas seni dalam serpihan hidup kita (hlm. x).

Esai pembuka berjudul "Ekstase Politiko-Religius dalam Nyanyian Angsa", menghadirkan telaah hermeneutis dari saja Nyanyian Angsa karya Rendra. Sebelumnya, Sunardi lebih dulu mengelaborasikan gejala pereduksian agama yang sering menyulut konflik. Transformasi agama dalam masyarakat Indonesia sudah dimaknai peyoratif oleh kalangan ekstremis dan radikal. Padahal, agama seharunsya menandai sikap kebersahajaan dan kedamaian dalam sistem tata hidup manusia. 

Malaikat penjaga Firdaus//Wajahnya tegas dan dengki//dengan pedang yang menyala//menuding kepadaku//Maka darahku terus beku//Maria Zaitun namaku// Pelacur yang sengsara// Kurang cantik dan agak tua. Dari bait itu, Sunardi menafsirkan Maria Zaitun sebagai personifikasi korban masyarakat modern yang kehilangan segalanya. Dia adalah pelacur yang mati secara sosial dan selalu tertuduh. Dengan akhir mengejutkan, Maria berbalik menjadi penuduh dan lainnya menjadi yang tertuduh. Hingga Maria bangga dengan statusnya, namun pada kenyataannya ia dilupakan masyarakat modern (hlm.4-5).

Bagi Sunardi, Nyanyian Angsa sangat menarik untuk mendekati agama di tengah masyarakat yang terkotak-kotak, hubungan sosial yang dimodifikasi, dan lembaga agama yang dimodernisasi (hlm.5). Dari sana, ia membagi agama kedalam empat bagian; pertama, agama komunikasi, dalam masyarakat yang terasing dan saling mengasingkan, kita butuh agama yang bisa menjalin titik komunikasi. Kedua, agama masa depan, ditengah masyarakat yang hilang tujuan, dibutuhkan agama masa depan yang membuka faktualitas dan realitas masa kini ke mendatang. Ketiga, agama masyarakat, ditengah patronase agama yang dibajak para pemimpin, (mengaku), kita butuh agama masyarakat (religion of the people). Keempat, agama kehormatan, dalam budaya masyarakat kapitalis yang materialis, kita butuh agama sebagai pedoman kehormatan senyatanya. 

Ada yang menarik dari judul "Rupa-Rupa Seni Rp. Seni dalam Festival dan Pasar". Sunardi mengajukan contoh Sekaten (pesta rakyat) yang sudah dipoles sekelompok pihak menjadi "Mal" Sekaten, untuk meraup uang sebanyanknya. Lantas dipaparkan penyelenggaraan Forum Kesenian Yogyakarta (FKY) yang mengangkat tema dilema komodifikasi yang sudah meresap dalam nadi kehidupan kita. Tema barcode muncul sebagai jawaban atas segala menusia yang kini di-barcode-kan. Manusia bak barang dagangan yang diberi label untuk dijual secara cepat, dengan harga pasti, oleh dan kepada siapa saja. Barcode menandai keberingasan sistem kapitalisme, dan akan menimbulkan persoalan manakala dipakai untuk mengelola dimensi kultural, moral, keagamaan, dan sebagainya (hlm.184).

Lebih dari itu, buku setebal 444 halaman ini menampilkan kompilasi unik atas pembacaan realitas kehidupan remeh-temeh disekeliling kita yang jarang dijamah. Buku ini cocok dibaca oleh siapapun yang peduli dengan persengketaan esai dan seni akademisi dalam negeri. Selamat membaca. ***

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat