Labels

Tuesday, 27 November 2012

Napas Abadi Agama


Tayang di Books Bisnis Indonesia edisi 25 Nopember 2012




Judul Buku : Agama Punya Seribu Nyawa
Penulis  : Komaruddin Hidayat
Penerbit : Nourabooks, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2012
Tebal  : 308 halaman
ISBN  : 9786029498004



Perguliran dunia modern dengan kemajuan teknologinya menohokkan pesimisme beragama. Bertrand Russell, dalam bukunya “Religion and Science”, menyimpulkan bila agama kini tidak lagi mempunyai pengaruh seamsal beberapa abad lalu. Doktrin agama yang dulu dianggap sebagai kebenaran mutlak, yang mesti dipercaya apa adanya, seiring dengan perkembangan sains, sekarang menjadi tidak esensial lagi. Senada itu, filsuf Friedrich Nietzsche pernah berikrar ihwal kematian Tuhan. Karl Marx pun berfatwa bila agama itu candu. Menjadi pengharapan utama kaum tertindas dengan janji surga sebagai ilusi semata.

Selain itu, banyak tokoh Ateis seperti Sam Haris, Richard Dawkins, dan Christopher Hitchens yang mengkritik agama. Agama, selain sudah tidak kompatibel dengan sains masa kini, ia juga dikatakan sumber konflik. AN. Wilson dalam buku “Against Religion: Why We Should Try to Live without It” menegaskan agama lebih berbahaya dari candu. Agama mendorong manusia saling menganiaya di antara sesamanya. mengklaim diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran sedang lainnya sesat. Dalam konteks Indonesia, kita bisa merabanya lewat serangkaian aksi intoleransi terhadap jama'ah Syi'ah di Sampang dan Ahmadiyah di Bogor.

Monday, 19 November 2012

Parade Negeri Narkoba

 Tayang di Opini Radar Lampung edisi 16 November 2012
http://www.radarlampung.co.id/read/opini/53730-parade-negeri-narkoba-

 

Negeri itu diplot menjadi pasar narkoba internasional. Narkoba begitu nyaman beredar di segala penjuru negeri. Barang haram itu menjadi konsumsi generasi muda hingga tua; dari pelajar SMA, mahasiswa, pekerja, buruh, pebisnis, hingga hakim sekalipun. 
    Presiden wajib bertanggung jawab dan bersidang pada rakyat secara transparan. Ini bukan sekedar pencabutan grasi nantinya. Melainkan pertanyaan, di mana asas keadilan, kemanusiaan, dan konsistensi pemimpin negeri ini dalam memberantas narkoba? Sejatinya, kunci pemberantasan narkoba dan kroni sindikat persebarannya cuma satu. Hukum positif yang tajam, menjera, dan benar-benar menghukum. Ketika hukum memang sudah ditegakkan dan dijalankan secara profesional oleh pemuka hukum, bukan mustahil narkoba akan berkurang dan hilang.


KITA masih ingat dengan ulah Hakim Puji Wijayanto yang sangat menyita perhatian. Pasalnya hakim Pengadilan Negeri Bekasi itu terbukti memakai narkoba, bahkan mengaku mempunyai klub atau perkumpulan untuk kalangan hakim pengguna narkoba (okezone.com, 7/11/12). Jelas-jelas ini melanggar kode etik dan harapannya semoga Mahkamah Agung (MA) segera mencopot jabatannya. Itu baru hakim yang terbongkar, bagaimana dengan yang lainnya yang diam-diam tercandu? Bagaimana dengan generasi muda kita yang terus dirayu mencandu narkoba?

Thursday, 1 November 2012

Kongkalikong Korupsi APBN

Opini dimuat di Suara Karya edisi 31 Oktober 2012


Beberapa pekan lalu harian ini menampilkan berita "panas" ihwal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang melempar tudingan terjadinya praktik kongkalingkong birokrat dan parlemen dalam menggarong Rancangan APBN (19/7/2012). Pernyataan ini bertalian dengan keyakinan Indonesian Corruption Watch (ICW) seperti proyek pengadaan Al-Quran tidak berawal pada saat pembahasan anggaran di Komis VIII DPR saja. Tapi sudah ada kongkalikong pada tahap perencanaan proyek tersebut (7/7/2012).


Bisa dipastikan praktik kongkalingkong ini menandai perjalanan korupsi dengan pola baru di tanah air. Bukan korupsi biasa, melainkan dengan skenario tingkat tinggi, menggerogoti rincian dan alokasi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan strategi baru ini, korupsi yang sudah kronis diproyeksikan pada dekade ke depan akan langsung mematikan keberlangsungan negara-bangsa (nation-state) Indonesia.



Benni K Harman (Ketua Komisi III DPR) dalam bukunya, "Negeri Mafia, Republik Para Koruptor: Menggugat Peran DPR Reformasi (2012)," menyebutkan korupsi di kubu DPR sudah dalam tahap gawat darurat. Tak ayal, banyak lembaga dan analis menyebut DPR menjadi lembaga terkorup. Hal ini terkait dengan berbagai kasus korupsi yang menyeruak akhir-akhir ini di lembaga tersebut, yang melibatkan beberapa anggota dewan baik anggota komisi maupun Badan Anggaran.

Kriteria Pemimpin Qur'ani

Opini dimuat di Radar Lampung edisi Kamis 25 Oktober 2012


Pada 2014, negeri ini akan memilih pemimpin baru. Gegap gempita pencitraan calon pemimpin pun berbondong menyesaki media di segala penjuru. Partai politik (parpol) sebagai ejawantah eksistensi sistem demokrasi sudah berlomba menyetor pemimpin elitenya ke publik. Selain itu, muncul pula pemimpin independen yang secara instan ikut pasang iklan meski pemilihan presiden masih dua tahun lagi. Pemimpin itu sengaja hadir sejak dini supaya dikenal rakyat. Dengan harapan, rakyat akan percaya dan memberikan suaranya saat pilpres digelar nanti. Strategi pencitraan seamsal ini sedang menjadi tren masif di era digital. Bahkan lebih ampuh ketimbang politik suap (uang) sekalipun. 
SAYANGNYA, pemimpin yang terpilih sering salah kaprah akibat rendahnya kesadaran rakyat menilai hakikat kepemimpinan itu. Meminjam testimoni Cak Nun, rakyatlah yang harus mencari pemimpin, bukan menunggu orang-orang yang menyodorkan diri menjadi pemimpin. Bagaimanapun, rakyatlah yang akan terkena imbas dari pilihannya, karena yang akan muncul adalah kepemimpinan yang minus. Pemimpin yang korup, tidak bertanggung jawab, tidak amanah, tidak adil, tidak kreatif, tidak peduli pada kehidupan rakyat, bahkan menyengsarakannya.
Implikasinya adalah budaya korupsi merajalela, rakyat dimiskinkan, regulasi dan hukum diperjualbelikan, sumber daya alam dikuras untuk kepentingan kelompok, lingkungan tercemari dan rusak, ekonomi rakyat direbut bandit-bandit kartel, serta sekolah dan rumah sakit hanya ada bagi yang berduit. Saat itulah, bias kepemimpinan telah diperjualbelikan pula. Pemimpin “zalim” macam inilah yang disebut dalam Alquran akan mendapat azab yang pedih (neraka) dari Allah SWT.
Kunci utama terletak pada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Di tangan rakyatlah negeri ini menentukan pemimpin barunya kelak. Rakyat harus sadar, teliti, dan tanggung jawab dalam mencari pemimpinnya yang tepat.
Di negeri yang mayoritas muslim ini, sudah saatnya rakyat mendaraskan permenungannya pada Alquran. Alquran adalah kitab suci dari Allah (diwahyukan kepada  Muhammad) yang terjaga keabadiannya (shohih likulli zaman wa makan) dan diturunkan tidak hanya bagi umat Islam semata, namun bagi seluruh umat manusia (hudan li an-nas).
Prinsip
Bahwa, Alquran (14 abad yang lampau) sudah sangat gamblang mengelaborasikan kriteria pemimpin (khalifah, ulul-amr, al-imamah) yang baik itu terbangun dari beberapa prinsip, yakni: adil (adl), amanah (amanah), kreatif (kasb), toleransi, dan musyawarah.
Pertama, menegakkan keadilan menjadi kewajiban pribadi, berkeluarga, maupun berbangsa dan bernegara. Keadilan adalah kunci kebenaran. Kedua, menjaga amanah dan kejujuran adalah harga mati. Amanah kepemimpinan adalah tanggung jawab ngemong bangsa dan negara. Ketiga, pemimpin harus kreatif. Ia seorang manajer handal, cerdas mencari solusi problematika bangsa, dan selalu aktif mencari terobosan demi kemajuan dan kesantunan peradaban bangsa dan negara. Keempat, musyawarah yang lahir dari prinsip adil dan jujur. Artinya, musyawarah kepemimpinan benar-benar berjalan semestinya tanpa ada intervensi dan pesanan sponsor. Kelima, toleransi sebagai katalisator terwujudnya kekompakan kepemimpinan Indonesia.
Keberadaan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sejatinya menjadi ujung tombak toleransi. Alquran mengajarkan bahwa kita sesama manusia adalah bersaudara, tidak ada perbedaan antara satu kaum dengan lainnya, kecuali kadar ketakwaannya (Al- Hujurat: 10). Prinsip-prinsip itu sejatinya sudah diangkat ke teori-teori ilmu politik; dan harus mutlak menjadi etika, moral, dan akhlak dasar pada laku keseharian seorang pemimpin. “Pemimpin berkarakter Qurani” seperti itulah yang wajib dimunculkan dan dipilih oleh rakyat.
Pertanyaannya, apakah ada pemimpin yang sesempurna itu? jawabannya ada. Ketika rakyat sudah menancapkan fondasi prinsip kepemimpinan tadi ke kehidupan pribadinya. Bukankah setiap manusia menjadi pemimpin bagi diri sendiri dan keluarganya? Ihwal ini yang kudu dipatenkan pada refleksi pencarian pemimpin Qurani. Penyadaran secara terus menerus sepanjang hidup (istiqomah li ridhohi)
Ekstase Pemimpin
Kepemimpinan di negeri ini tidak hanya bergantung pada sosok eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Lebih itu, kepemimpinan di negeri ini adalah cermin pribadi manusia Indonesia seluruh dan seutuhnya. Sengkarut kompleksitas kemarau pemimpin di negeri ini hadir karena kealpaan “menanggung jawabi” diri. Pemimpin yang sejatinya diri sendiri itu, sudah tereksekusi bahkan tercerabut dari dirinya. Ia melayang terpengaruhi ideologi luar, kemurkaan kapitalisme, kebutralan konsumerisme, hedonisme-pragmatisme, hingga menjadi pembunuh manusia lainnya. Ekstase inilah yang selalu hilir-mudik dalam setiap detik kehidupan manusia Indonesia. kita tak bisa menepis dan menolak kehadiran ideologi “kotor” itu karena kesadaran kita sudah dimanipulasi. Yasraf Amir Piliang (2008) memvisualisasikan ekstase ini ke dromologi kehidupan. Ahmad Fauzi (2011) mendedahkan metafora ini kedalam selubung kesadaran palsu manusia yang tersandera budak nafsu.
    Semisal, dalam rumah tangga, peran orang tua sebagai pemimpin keluarga mengharuskan kehadirannya membesarkan, membina, mengajar, dan memberi contoh anak ihwal akhlak yang baik dan pengetahuan yang luhur. Keluarga menjadi unit terkecil masyarakat, sehingga keberhasilan kepemimpinan keluarga adalah jenjang menuju kepemimpinan masyarakat yang lebih tinggi.
Tolok ukur keberhasilan keluarga tidak dilihat dari keberlimpahan materi. Tapi bagaimana mewujudkan keharmonisan, kebersahajaan, dan kesederhanaan hidup secara seimbang-spiritual dan material. Meminjam adagium Jawa; “urip mung mampir ngombe”, hidup di dunia itu singkat (fana’) kudu dimaksimalkan dengan kesalehan sosial. Tuhan menjadikan manusia sebagai pemimpin dunia dengan bekal akal pikiran dan hati. Maka itu, manusia disebutnya sebagai makhluk paling sempurna (insan kamil). Dari sana, sebelum kita memilih calon pemimpin, kita bisa menilainya dari kesadaran akal-pikiran dan hati kita seutuhnya. Wallahu a’lam bi-asshowab. (*)
Oleh Muhammad Bagus Irawan (Peneliti IDEA Studies Jurusan Tafsir Hadist Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo)



Tuesday, 23 October 2012

Potret Perlawanan Petani Banten



Resensi dimuat di Bisnis Indonesia edisi 21 Oktober 2012

Judul Buku : Doktrin Agama Syekh’ Abd Al-Karim Al-Bantani, Dalam Pemberontakan Petani Banten
Penulis         : Hendri F. Isnaeni
Penerbit  : Kreasi Cendekia Pustaka, Jakarta
Tahun          : 1, September 2012
Harga           : RP 37.500,-
Tebal            : x + 118 halaman
ISBN             : 9786021998731

Di Indonesia, eksistensi gerakan dan perlawanan petani tumbuh sejalan dengan kebijakan liberalisasi ekonomi pemerintah Hindia Belanda tahun 1870. Gerakan kapitalisme cultuurstelsel menyaratkan tumbal tanah dan keringat rakyat jelata. Petani pribumi dipaksa untuk bertani tanaman komoditas pasar dunia seamsal cengkeh, cokelat, kopi, sawit, tembakau dan lainnya. Nahasnya, mereka wajib kerja suka rela tanpa upah setara, dengan ancaman pidana kolonial. Tekanan modernisme disertai gerakan ekonomi dan politik kapitalis, memerosokkan mental rakyat jajahan, dari ekonomi, sosial, politik, budaya, budaya, hingga agama. Dari sisi psikologis, meninggilah emosi perlawanan rakyat. Wajar, bila kala itu di Banten, banyak meletus pemberontakan pada otoritas kolonial.

Buku ini mendedahkan seluk-beluk dan rekam-jejak perlawanan petani Banten tahun 1888 yang berhasil mengejutkan dan menawan para petinggi kolonial. Akan tetapi, karena aksi perlawanan ini tanpa strategi militer yang jitu, akhirnya mampu diredam tentara Hindia Belanda. Fokus buku ini meneropong relasi perlawanan petani dengan legitimasi doktrin agama yang didakwahkan Syekh Abd Al-Karim Al-Bantani. Tesis Hendri menegaskan, meski Banten sedari dulu dikenal dengan tradisi kanuragannya, tidaklah mungkin berani memberontak kecuali didorong spirit tarekat agama.

Napak Tilas Sisa-sisa Kejayaan Majapahit



Resensi dimuat di Koran Jakarta edisi 19 Oktober 2012.

Napak Tilas Sisa-sisa Kejayaan Majapahit




Novel ini menarasikan latar Jawa kuno abad ke-14, menjelang keruntuhan Majapahit. Kerajaan terpecah menjadi dua kekuatan: kubu kulon di Daha dan kubu wetan di Trowulan. Berkobarlah perang saudara Paregreg puluhan tahun lamanya. Dampaknya, kekuatan Majapahit sebagai kerajaan pemersatu Nusantara yang dulu dikenang kegagahannya mulai dikebiri dan perlahan runtuh. Majapahit krisis kepemimpinan. Para pendeta Hindu-Bdudha mulai terlena dengan kekuasaan di setiap kubu. Kebejatan para preman merajalela. Rakyat jelata pun dipaksa menerima kepedihan dan kesengsaraan. 


Seperti Indonesia sekarang, ketika itu korupsi juga merebak di Majapahit. Pemiskinan rakyat kecil. Hukum dan keadilan diperjualbelikan. Krisis moral generasi merebak (akibatnya marak tawuran, tersandung narkoba, dan pergaulan bebas). Pendidikan pun sudah dikebiri dan dikomersialisasi untuk meraih laba. Nahasnya, ajaran agama pun dipelintir untuk kepentingan patronasenya. Kedua negeri berlainan zaman itu sama-sama terjerumus ke dalam kekacauan bidang ekonomi, sosial-budaya, politik, dan keamanan. 

Tuesday, 9 October 2012

Mengajarkan Anak Cerdas Finansial


Resensi terbit di Bisnis Indonesia edisi 7 Oktober 2012

Judul Buku : Financial Parenting
Penulis   : Kak Seto dan Lutfi Trizki
Penerbit : Nourabooks, Jakarta
Tebal  : 184 halaman
Harga  : Rp 34.000,-
ISBN  : 978-602-9498-81-3

Di tengah arus kompleksitas perubahan zaman dan gemuruh publikasi korupsi negeri ini, orang tua dituntut lebih cerdas mendidik anaknya. Tentunya kita tidak sudi melihat anak tumbuh sebagai koruptor yang menyengsarakan liyan. Dari situ, selain membesarkan anak yang sehat secara fisik dan emosional, orang tua juga wajib  mendidik anak secara benar. Karena, mendidik anak bukan berarti mengabulkan setiap keinginannya. Tetapi, bagaimana orang tua mampu memberi teladan dan mengenalkan anak segala akhlak terpuji, terutama pengajaran kecerdasan finansial.

Maraknya lalu lintas rayuan iklan di segala media bisa mendikte anak menjadi pribadi yang konsumtif dan hedonis. Namun, orang tua tak perlu khawatir, ketika anak sejak dini sudah diajarkan dan ihwal kecerdasan finansial. Karena hasilnya, anak akan menjadi pribadi yang tangguh dan cermat dalam mengelola uang. Di sinilah, peran orang tua sangat vital, mengingat “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, sehingga teladan orang tua menjadi pelajaran pertama bagi anak.

Saturday, 29 September 2012

Ekstase Seni sampai Ritus Humaniora


Resensi Buku dimuat di Harian Bhirawa edisi 28 September 2012



Judul Buku  : Vodka dan Birahi Seorang "Nabi"
Penulis       : ST. Sunardi
Penerbit      : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan      : 1, Juli 2012
Tebal          : xvi + 444 halaman
ISBN          : 978-602-8252-73-7
Muhammad Bagus Irawan, perintis Gubuk Baca Dusun Ngebong-Mantingan

Kontinuitas kehidupan manusia mencipta bait-bait seni dan estetika tiada batas. Apakah berupa niskala hingga retorika, wajah kesenian manusia mengalir dalam segala drama nestapa-bahagia lewat rona mimik yang tercipta. Tak ayal kesenian memang menaja sebagai persoalan de gustibus non disputandum-rasa tidak bisa diperdebatkan. Karena jati diri seni adalah jalan untuk mengintip yang tak terbatas, menghadirkan the infinite dengan the finite. Kehadiran buku bertajuk Vodka dan Birahi Seorang "Nabi" ini menambah daftar referensi ihwal kontekstualitas dan kompleksitas neraca kesenian negeri ini. Buku antologi esai, catatan liar, dan makalah ini menohokkan imajinasi dan fakta tentang ekstase seni yang kaya tema, absurd, dan problematik. Tema sentris seni menampilkan figurasi unik dengan esensi makna yang kental. 

Buku ini terbagi kedalam lima bagian meliputi; Tekstualitas sebagai Peristiwa (12 tulisan), Visualitas yang Menerabas (11 tulisan), Musikalitas (4 tulisan), Antara Seni dan Pasar (8 tulisan), dan Problematika Pengembangan Wacana Seni (9 tulisan). Judul buku yang tak lazim disarikan dari  tulisan kedua, karena dirasa mampu mewakili spirit dan isi sebagian besar tulisan yang tersaji. "Vodka", "birahi", dan "nabi" menandai tiga metafora kunci komunikasi atas realitas seni dalam serpihan hidup kita (hlm. x).

Sunday, 16 September 2012

Telaah Ekonomi Kaum Miskin

Resensi dimuat di Bisnis Indonesia edisi 16 September 2012
http://epaper.bisnis.com/index.php/?OldID=32

Judul Buku     : Tenggelam dalam Neoliberalisme?
Penulis            : Bagus Aryo
Penerbit         : Kepik, Jakarta
Tahun             : 1, Juni 2012
Tebal              : xvi + 240 halaman


Paska krisis moneter 1997, Indonesia terseret pada gelombang ekonomi neoliberal. Dana bantuan IMF dan Bank Dunia mensyaratkan Indonesia mengamini resep privatisasi dan deregulasi. Tak ayal, kebijakan sosial-ekonomi pun bersandar pada paradigma neoliberal sebagai solusi mengatasi krisis ekonomi dan kemiskinan. Dampaknya  adalah pemberian akses masuknya modal asing seluas-luasnya dan pemangkasan subsidi (bensin, pupuk, pangan dll.), dengan kata lain perekonomian yang dalam dekade Orde Baru dilindungi pemerintah, kini sudah dilepas ke pasar global.

Saturday, 8 September 2012

Parade Negeri Konflik dan Intoleran

Seri Parade Keempat
Opini dimuat di Wawasan edisi 7 September 2012

Negeri itu kembali diplot sebagai negeri intoleran. Apa pasal? Negeri itu kentara galak, lewat fakta aksi kekerasan yang dialami bagian bangsanya sendiri. Laku intoleran sudah menjadi sebuah safari rutinan di belahan Indonesia. Disini, penyulut intoleransi bukan hanya faktor agama, tapi juga ideologi, kepentingan politik, hukum, HAM, ekonomi, dan sosial. Kasus kekerasan terakhir adalah pembakaran dusun penganut Syi’ah di Sampang (26/08/12) semakin memerpanjang catatan hitam intoleransi di Nusantara yang patut diusut tuntas akar-akarnya. Sebelumnya, sejak Januari hingga kini, laku intoleran beruntun memuncak dengan pelbagai sebab utamanya. Kasus kekerasan atas nama agama yang tersulut diantaranya: kasus Jamaah Ahmadiyah di Lombok dan Jawa Barat, Jemaat Gereja di Temanggung, Bekasi.

Tuesday, 28 August 2012

Kepemimpinan Gaya Bang Ali


Resensi terbit di Bisnis Indonesia edisi Minggi 26 Agustus 2012


Judul Buku     : Ali Sadikin, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi
Penulis            : Ramadhan K.H.
Penerbit         : Ufuk Press, Jakarta
Cetakan          : 1, Juni 2012
Tebal              : 632 halaman
Harga              : Rp69.900,-
ISBN                : 978-602-7689-01-5

Di tengah hiruk-pikuk Pilkada DKI Jakarta 2012 yang sarat akan perang citra dan arus politisasi. Buku flashback bertajuk “Ali Sadikin, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi” ini mendedahkan kreasi fatsun kepemimpinan lama yang dirindukan. Buku ini mengartikulasi apa arti kepemimpinan itu? Falsafah kepemimpinan sejatinya menandai terjalnya sebuah pengabdian. Ukuran keberhasilan seorang pemimpin dinilai dari seberapa besar jerih payah dan karya yang ditinggalkan untuk kemaslahatan rakyatnya. Sebaliknya akan dicap gagal, ketika hanya memanfaatkan kepemimpinan sebagai kolong wacana dan kerja mengeruk kepentingan sendiri. Buku berbentuk ensiklopedia dan memoar pelbagai suka-duka saat mengambil kebijakan ini ditulis sebagaimana lakon kepemimpinan Ali sewaktu menjadi gubernur (1966-1977).

Friday, 17 August 2012

Belajar dari Kepemimpinan Puntadewa

Resensi dimuat di Harian Bhirawa edisi Jum'at 10 Agustus 2012




 

Resensi Buku


Judul         : Puntadewa
Penulis      : Wawan Susetya

Penerbit     : DIVA Press, Yogyakarta

Tahun        : 1, Desember 2011
Tebal         : 432 halaman
Harga        : Rp50.000,-
ISBN         : 9786029789904
Peresensi  : Muhammad Bagus Irawan
Aktivis JFC IAIN Walisongo Semarang.

Pada zaman yang disebut edan, kepemimpinan seringkali  dimaknai terselubung. Dalam dunia politis kekinian, praktis kepemimpinan hanya dimiliki para penguasa. Mereka yang berduit yang jadi pemimpin. Meniadakan hakikat asli kepemimpinan dengan simbol  wibawa, jujur, adil, berani, sabar, dan peduli pada rakyat. Tak ayal, kini sejadinya kepemimpinan itu tak berbuah apik, bahkan menyengsarakan dengan keserakahan yang selalu diumbar.

Olah Raga Undur-undur


Opini dimuat di Radar Lampung edisi 6 Agustus 2012

Pupus sudah harapan Indonesia meneruskan tradisi medali emas beruntun sejak Olimpiade Barcelona 1992. Paska tumbangnya atlet andalan Bulu tangkis Ganda Campuran Tontowi/ Liliana, terhenti sudah tradisi emas Bulutangkis Indonesia di Olimpiade. Semua pebulu tangkis Indonesia gagal untuk merebut tiket ke final Olimpiade London 2012. Karena hanya sector bulu tangkis lah andalan utama kontingen Merah Putih untuk merebut emas. Asa Indonesia untuk merebut emas ada pada ganda campuran Tontowi Ahmad/ Liliyana Natsir. Sayangnya, mereka terhenti di semifinal setelah kalah oleh duet Tiongkok Xu Chen/Ma Jin 23-21, 18-21,13-21 di Wembley Arena. Pada laga lainnya, ganda putra andalan Muhammad Ahsan/Bona Septano juga menyerah dari pasangan Korea Selatan Jung Jae-sung/Lee Yong-dae dengan skor 21-12, 21-16 (Wawasan, 3/8). Sontak saja, seusai pertandingan Chef de Mission Erick Thohir, langsung menyatakan mundur, namun pernyataannya ditolak oleh Ketua KOI (Komite Olimpiade Indonesia) Rita Subowo.

Saturday, 4 August 2012

Kisah Cinta yang Ditolak Adat

 Resensi ini dimuat di Harian Bhirawa edisi Jum'at edisi 3 Agustus 2012
http://www.harianbhirawa.co.id/opini/50960-kisah-cinta-yang-ditolak-adat

Judul         : Mencari Cinta yang Hilang
Penulis      : Abdulkarim Khiaratullah
Penerbit    : Diva Press, Yogyakarta
Tahun        : 1, Juni 2012
Tebal         : 392 halaman
Peresensi   : Muhammad Bagus Irawan
Pegiat Idea Studies IAIN Walisongo Semarang

Kisah percintaan selalu menabur harapan indah. Keindahan itupun tak selalu berbuah manis, kadang juga berupa derita dan nestapa. Cinta barangkali berwujud kasih sayang, yang memang akan mewartakan sendi kehidupan seluruh manusia. Setiap orang niscaya beredar menuju kemana hati akan meletupkan cahaya cintanya. Hingga, mereka akan terus mencari cinta yang suci dibawah rambu syari'at dan dianggap sejati dari citraan hegemoni, walaupun itu berujung pada keelegian yang pahit. Cinta kadang juga memantik fatsun kelabu yang mengkhawatirkan. Gelora hidup berurat dari soal cinta, karena cinta selalu ada. Pada hakikatnya, cinta itu urusan hati, dan cinta suci itu kehendak ilahi.