Labels

Monday 19 November 2012

Parade Negeri Narkoba

 Tayang di Opini Radar Lampung edisi 16 November 2012
http://www.radarlampung.co.id/read/opini/53730-parade-negeri-narkoba-

 

Negeri itu diplot menjadi pasar narkoba internasional. Narkoba begitu nyaman beredar di segala penjuru negeri. Barang haram itu menjadi konsumsi generasi muda hingga tua; dari pelajar SMA, mahasiswa, pekerja, buruh, pebisnis, hingga hakim sekalipun. 
    Presiden wajib bertanggung jawab dan bersidang pada rakyat secara transparan. Ini bukan sekedar pencabutan grasi nantinya. Melainkan pertanyaan, di mana asas keadilan, kemanusiaan, dan konsistensi pemimpin negeri ini dalam memberantas narkoba? Sejatinya, kunci pemberantasan narkoba dan kroni sindikat persebarannya cuma satu. Hukum positif yang tajam, menjera, dan benar-benar menghukum. Ketika hukum memang sudah ditegakkan dan dijalankan secara profesional oleh pemuka hukum, bukan mustahil narkoba akan berkurang dan hilang.


KITA masih ingat dengan ulah Hakim Puji Wijayanto yang sangat menyita perhatian. Pasalnya hakim Pengadilan Negeri Bekasi itu terbukti memakai narkoba, bahkan mengaku mempunyai klub atau perkumpulan untuk kalangan hakim pengguna narkoba (okezone.com, 7/11/12). Jelas-jelas ini melanggar kode etik dan harapannya semoga Mahkamah Agung (MA) segera mencopot jabatannya. Itu baru hakim yang terbongkar, bagaimana dengan yang lainnya yang diam-diam tercandu? Bagaimana dengan generasi muda kita yang terus dirayu mencandu narkoba?



    Tak bisa dipungkiri narkoba menjadi virus bagi kemanusiaan. Akibatnya yang fatal, candu narkoba merusak serta membutakan akal dan tubuh manusia. Saat ini, Indonesia adalah pasar narkoba terbesar di Asia Tenggara.

Data dari Gerakan Nasional Antinarkoba (Granat) 2011 menunjukkan, setidaknya ada 15.000 pengguna narkoba, 3,9 juta–4,2 juta pecandu aktif. Nilai transaksi mencapai Rp48 triliun–Rp50 triliun per tahun. Kemudian mengacu BNN, sepanjang 2011, ada 49,5 ton sabu-sabu, 147 juta ekstasi, 242 ton ganja, dan hampir dua ton heroin yang lepas dari jerat petugas. Lebih nahas lagi, Henry Yosodiningkrat menyatakan, di negeri ini 50 orang meninggal per hari akibat narkoba, 5 juta orang alami ketergantungan, dan Rp 350 triliun per tahun dana rakyatnya dikeluarkan untuk membeli barang berbahaya itu (Suara Karya, 20/10/12). Dari itu, bisa disimpulkan bila narkoba sudah menjadi kejahatan luar biasa dan bencana yang harus diberantas seluruh elemen bangsa.

    Sejatinya pemerintah sudah mendirikan Badan Narkotika Nasional (BNN) guna mencegah dan meminimalisasi persebaran narkoba yang merajalela. Sayang, nasibnya seamsal KPK yang kinerjanya tak pernah tuntas bahkan menumpuk. Satu kasus selesai, seribu kasus menunggu. Karena hukum positif yang berlaku di negeri ini amat tak menjera, tak ada hukuman bagi para sindikat pengedar barang haram itu, melainkan drama penyuburan bisnis. Tentu kita masih ingat kasus pengakuan Roy Marten beberapa tahun silam, yang bisa bebas mengonsumsi narkoba saat mendekam di penjara, asalkan punya uang.

    Ada geliat kongkalikong antara awak hukum dan terdakwa narkoba. Terlihat, hukum dikebiri dengan suap narkoba. Dalam novelnya 86, Okky bahkan menceritakan betapa amannya aksi pengedaran narkoba yang berpusat di penjara. Asal, sudah ada kontrak kerja dengan ’’petinggi hotel prodeo’’, bisnis narkoba siap didistribusikan. Faktanya, gembong besar seperti Deni Satia Maharwan dan Merita Franola mampu merajut bisnisnya dibalik jeruji besi. Banyak kurir dari kalangan sesama tahanan sampai ke tangan kurir besar di luar. Lantas disalurkan ke kurir biasa yang bertugas melayani pecandu lama dan kurir sales yang mencari pecandu baru dengan segala cara dan rayu. Labirin penyebaran ini sudah masif mengakar kuat sampai bawah. Bahkan banyak gembong pribumi yang menjadi tangan kanan sindikat narkoba internasional.

    Argumentasi ini sejatinya sudah didedahkan oleh banyak pakar, kritikus, analis, dosen, doktor, profesor, hingga wakil rakyat. Sudah tak terhitung banyaknya diskusi, seminar, penelitian, opini, artikel, skripsi, tesis, disertasi, buku, hingga cerpen, puisi dan novel yang menguliti anomali narkoba ini. Nihil. Kata sementara yang bisa dipetik dalam upaya memusnahkan narkoba dan kroni sindikatnya.

Presiden yang sejatinya menjadi pelopor utama menghalau narkoba malah ikut terjun langsung memberi keringanan hukuman (grasi) bagi terpidana mati narkoba, menjadi seumur hidup. Betapa bangsa negeri ini dipaksa bingung bukan kepalang, di mana posisi pemerintah dan aparaturnya? apakah negeri ini hendak dijadikan pasar narkoba sungguhan? apakah negeri yang sudah berbudaya korup akan dicandukan dengan budaya narkoba?

Libido Grasi dan Hukum

Pemberian Grasi Presiden kepada Meirika Franola, Schapelle Corby, Henky Gunawan, Hamed Mohammad, Febiola, dan Deni Setia Maharwan, menuai kritik banyak pihak. Pemberian grasi menjadi angin segar bagi para raja-raja narkoba untuk melebarkan sayapnya di pelosok negeri ini, menjadikan parade narkoba semakin panjang. Padahal tahun 2006, Presiden pernah melantangkan perang terhadap narkoba yang dianggapnya extraordinary crime.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud M.D. bahkan menduga ada peran mafia narkoba yang bisa membeli proposal grasi di istana (Jawa Pos, 10/11/12). Ya, siapa pun bisa mengkritik asalkan ada rasionalisasinya. Presiden memberi grasi atas dasar rasa kemanusiaan. Hukuman mati bertentangan dengan UU D yang menghormati hak hidup orang (pasal 28 ayat 1 UUD 1945) dan UU No. 39/1999 tentang hak asasi manusia (HAM).

    Apakah presiden sadar dengan kematian dan kesengsaraan yang merenggut rakyatnya tiap hari karena narkoba? adilkah presiden dengan grasinya itu? bagaimana dengan hukuman rakyat yang tertindas? Harry Purwadi (Merasionalkan Grasi) menjabarkan, secara konseptual, terdapat pandangan bahwa grasi bukanlah hak prerogatif presiden atau wewenang khusus yang mandiri, namun merupakan kekuasaan presiden dengan konsultasi. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 14 ayat (1) UUD 1945. Meskipun grasi merupakan wewenang yang melekat pada kekuasaan presiden, penyelenggaraannya ternyata dituntut lebih terbuka, yang jelas sangat berbeda dengan kekuasaan presiden yang mandiri, seperti mengangkat duta dan konsul, yang dapat dilakukan secara tertutup. Karena itu, masyarakat membutuhkan rasionalitas yang kuat dari pemberian grasi, terutama dalam kasus narkoba yang berada dalam pusaran kebijakan kriminal (Jawa Pos, 13/11/12).


Selain itu, hukuman agama, moral, dan keluarga yang wajib kita tegakkan pula.  Semua agama mengharamkan narkoba. Dalam Islam, narkoba termasuk khamr yang wajib dijauhi karena termasuk barang konsumsi setan yang keji. Khamr itu memabukkan lebih banyak mudaratnya serta mencelakai pengguna dan orang di sekitar. Secara moral, narkoba mampu menghilangkan akal, dan mendorong pada perbuatan amoral dan asusila. Perbuatan tidak terpuji inilah yang sejatinya menjadi perhatian lingkungan masyarakat untuk menjaga generasi mudanya dari perangkap narkoba. Dan terakhir adalah pengawasan keluarga. Kontrol keluarga atas anggotanya menjadi hukum paling dasar untuk pembentukan karakter anggota. Hati keluarga menjadi sandaran membentuk jiwa keluarga antinarkoba. Wallahu a’lam bis showab. (*)

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat