Resensi dimuat di Koran Jakarta edisi 19 Oktober 2012.
Novel ini menarasikan latar Jawa kuno abad ke-14, menjelang keruntuhan Majapahit. Kerajaan terpecah menjadi dua kekuatan: kubu kulon di Daha dan kubu wetan di Trowulan. Berkobarlah perang saudara Paregreg puluhan tahun lamanya. Dampaknya, kekuatan Majapahit sebagai kerajaan pemersatu Nusantara yang dulu dikenang kegagahannya mulai dikebiri dan perlahan runtuh. Majapahit krisis kepemimpinan. Para pendeta Hindu-Bdudha mulai terlena dengan kekuasaan di setiap kubu. Kebejatan para preman merajalela. Rakyat jelata pun dipaksa menerima kepedihan dan kesengsaraan.
Seperti Indonesia sekarang, ketika itu korupsi juga merebak di Majapahit. Pemiskinan rakyat kecil. Hukum dan keadilan diperjualbelikan. Krisis moral generasi merebak (akibatnya marak tawuran, tersandung narkoba, dan pergaulan bebas). Pendidikan pun sudah dikebiri dan dikomersialisasi untuk meraih laba. Nahasnya, ajaran agama pun dipelintir untuk kepentingan patronasenya. Kedua negeri berlainan zaman itu sama-sama terjerumus ke dalam kekacauan bidang ekonomi, sosial-budaya, politik, dan keamanan.
Dalam konteks ini, hadir sosok jalma lan makswa bernama Sabdo Palon. Makhluk yang hidup sejak zaman wayang purwa dan hidup abadi demi ngemong raja Jawa ini dititahkan Sang Hyang Widi untuk menunggui bumi Jawa. Dalam novel gubahan Ardian Kresna ini, diceritakan lakon Sabdo Palon membimbing raja-raja menghadapi sandyakalaning Majapahit.
Kala itu, Majapahit wetan yang dipimpin prabu Kertabumi sedang sakit. Dimintalah saran dari Sabdo Palon sebagai tetuah kawula. Sabdo Palon lantas menerawang, "Tak perlu khawatir, Sinuwun, meskipun keadaan kelak semakin terpuruk, namun menurut perkiraanku, trah Majapahit akan tetap menguasai Jawa Dwipa ini." (halaman 58).
Kesultanan Demak Bintoro berdiri di bawah Raden Patah, di atas wilayah Kadipaten Glagahwangi. Majapahit kulon yang dipimpin Prabu Dyah Ranawijaya melemahkan pasukan Prabu Kertabumi yang tak lain pamannya sendiri. Kesultanan Demak sebagai kekuatan baru pun pada akhirnya mampu melumpuhkan sisa kekuatan Majapahit terakhir. Bersamaan dengan itu, muncullah Islam menggantikan dominasi ajaran Hindu-Buddha yang beberapa abad dipeluk rakyat Jawa.
Namun, Sabdo Palon bersikukuh pada kepercayaan lama. "Saya ini raja serta pembesar Dang Hyang setanah Jawa. Saya membantu anak cucu serta para raja di tanah Jawa. Namun, Sang Prabu kami mohon dicatat, kelak setelah 500 tahun, saya akan mengganti agama Buddha lagi. Saya sebar seluruh tanah Jawa."
Ia juga berjanji, suatu saat akan kembali menjadi abdi raja. Dia akan membimbing rakyat yang berperilaku tidak baik agar kembali ke jalan yang benar. Pertanyaannya, sudahkah Sabdo Palon datang untuk membimbing para pemimpin Indonesia sekarang?
Novel ini secara gamblang mendeskripsikan eksistensi Jawa kuno ke dalam teks narasi. Ini merupakan buku lain di luar delapan novel bergenre epos Jawa. Gaya tuturnya sederhana sehingga pembaca mudah mengikuti napak tilas sisa-sisa kebesaran Majapahit.
Diresensi Muhammad Bagus Irawan, pustakawan Semarang.
Judul Buku : Sabdo Palon dan Noyo Genggong
Penulis : Ardian Kresna
Penerbit : Diva Press
Cetakan : 1, September 2012
Tebal : 406 halaman
No comments:
Post a Comment
Silahkan Berpendapat