Saturday, 17 December 2011
Menguak Monopoli Televisi Jakarta
Mengenang Hiburan Lokal Tempo Dulu
Mimpi dan Cerita Masa Kanak
Pemuda, Korupsi, dan Pemiskinan Indonesia
http://suar.okezone.com/read/2011/12/02/58/537035/pemuda-korupsi-dan-pemiskinan-indonesia
Indonesia kini bagaimanapun telah berwajah buram. Darinya, seolah membuyarkan i’tikad ‘Indonesia satu’ yang diprakarsai para pejuang pada Sumpah Pemuda 82 tahun silam. Persoalannya, sampai saat ini, bagaimana peran pemuda membangun negeri ini? kenapa Indonesia menjadi negara korup? Juga mengapa Indonesia terjerambab ke dalam lubang kemiskinan? Dan kenapa keadilan sosial bagi seluruh bangsa tak tercapai? Siapa yang salah? Pertanyaan amsal itulah yang kiranya ada dalam benak bangsa yang peduli.
Secara runut, saya akan menggali korelasi dan manifestasi antarpemuda, korupsi, dan pemiskinan Indonesia. Sebenarnya, Indonesia memiliki prestasi pemuda Indonesia di kancah internasional bisa menjadi contoh nyata dari istilah kebangkitan itu. Prestasi itu sungguh memukau baik di olimpiade sains, kompetisi olahraga, maupun riset. Prestasi ini dapat membongkar stigma negatif yang selama ini terlanjur melekat bagi Indonsia. Kenyataan ini menandakan bahwa sebenarnya kaum muda Indonesia memiliki kualitas luar biasa bahkan mengungguli negara-negara barat. Beberapa prestasi ini menjadi alasan bagi banyak orang yang beranggapan bahwa Indonesia bisa jaya oleh pemuda. Bahkan seperti sudah menjadi keperacayaan bagi banyak orang bahwa sebenarnya bangsa Indonesia ini bisa maju jika dipimpin oleh kaum muda.
Namun prestasi internasional itu tidak sebanding dengan prestasi dalam negeri sendiri. Di negeri ini kaum muda masih diabaikan. Ongkos politik dan sosial untuk menjadi seorang pemimpin di Negara ini sunguh luar biasa besar, modal inilah yang belum dimiliki kaum muda Indonesia. Meski ada semangat yang berkobar dan patriotisme tinggi tapi masih belum mampu memuluskan jalan menjadi pemimpin. Lagipula budaya timur itu sangatlah susah diubah, masyarakat Indonesia masih sangat tidak percaya bila dipimpin oleh orang muda. Bilapun ada contoh kaum muda menjadi pemimpin di negeri ini bukanlah murni karena kompetensi yang dimilikinya tetapi karena faktor lain seperti ketampanan fisik, ketenaran, dan kekayaan. Keran kepemimpinan itu harus dibuka bagi kaum muda.
Di Indonesia, jumlah pelaku wirausaha saat ini masih relatif minim. Dari populasi yang mencapai sekira 240 juta penduduk, porsi pelaku wirausaha hanya sekira 0,2%, sedangkan jumlah wirausaha yang ideal untuk menggerakkan perekonomian suatu negara itu minimal 2% dari total jumlah penduduk. Sementara itu, kemiskinan dan pengangguran masih menjadi fakta tak terbantahkan yang masih melingkupi sebagian besar rakyat Indonesia.
Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 menunjukkan jumlah pemuda Indonesia yang masih menganggur mencapai 17 persen dari 70 juta jiwa, atau sekitar 12 juta pemuda. Sebagian besar dari mereka juga hidup dalam kondisi miskin dan berpendidikan rendah. Sementara, data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, hingga Februari 2011, jumlah penganggur di Indonesia mencapai 8,12 juta dengan tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2011 mencapai 6,8 persen dari total angkatan kerja.
Dengan data di atas, kebutuhan akan tersedianya sejumlah wirausaha baru yang handal, tangguh serta ungggul menjadi kebutuhan yang perlu disiapkan melalui perencanaan yang jelas dan langkah-langkah yang konkret serta konsisten dalam penyelenggaraannya.
Dalam isu kewirausahaan golongan pemuda perlu memperoleh perhatian khusus. Selain sebagai nafas zaman, kaum mudalah yang senatiasa menjadi incaran pemasaran sebagai segmen pasar potensial. Posisi pemuda juga strategis dan khas secara budaya dan kondisi fisik serta emosional. Para pemudalah juga yang nanti mengalami persoalan besar sebagai pembayar utang bangsa, menghadapi persaingan global, serta paradigma kehidupan yang baru.
Secara falsafi manusia, ‘miskin’ adalah kata dan keadaan akut yang harus dihindari. Manusia hidup sekali bukan untuk kehidupan miskin, namun untuk kehidupan yang berkecukupan. Dari sana, lantas ada etos kerja yang timbul untuk memenuhinya. Begitupun kata ‘korupsi’, ia adalah sifat dan praktik yang amat dijauhi demi terpenuhinya moral kehidupan manusia. Menjauhi korupsi berarti menjunjung tinggi moralitas dalam kehidupan bersama. Namun, keduanya seolah bersinergi bersama dala rentas kehidupan bangsa kita. Evolusi kehidupan bangsa kita tak jauh bahkan erat dengan dua kata yang seharusnya dihindarkan, antara miskin dan korupsi. Tak pelak di sini saya menjabar rumus ‘korupsi=pemiskinan’.
Ditinjau dari sejarah, laku korup bangsa kita memang telah tercatat semenjak proses kolonisasi barat masuk ke Nusantara. Bagaimana laku para elite penguasa kala itu menikmati upeti-upeti tanpa kerja keras dan menerima utang dalam pelbagai bentuk, dan saat tak mampu membayar satu per satu wilayah pelabuhan dan daerah strategis dilepas ke tangan kekuasaan asing. Begitupun, saat terjadi perang suksesi dan sang raja terancam digeser dari takhta, dia lantas menjanjikan sejumlah konsesi berupa wilayah kepada VOC demi dukungan penjajah. Nahasnya, sejarah macam ini terus diulang oleh pelakunya sampai saat ini.
Ia sudah menggejala walau sejarah juga mencatat perlawanan bangsa terhadap korupsi; dimulai dari masa Orde Lama yang membentuk UU Nomor 1 Tahun 1961 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidanan korupsi. Kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Baru yang mengeluarkan Keppres No. 228/1967 tentang pemberantasan korupsi yang dipimpin Jaksa Agung. Hingga masa kini kita mengenal KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang diberi otoritas penuh membumihanguskan korupsi di Indonesia.
Nyatanya, sampai sekarang korupsi sudah menjadi ‘api besar’, berujung pada sindrom genosida yang amat sulit dipadamkan. Akibatnya, Indonesia dengan segala kekayaan yang semestinya—diamanatkan Pancasila— untuk menggapai kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia pun tak tercapai. Nahasnya, rakyat yang sudah membayar pajak itu, banyak yang miskin, dikotomi dan ketimpangan sosial terus menggelayut. Mereka terpojok, karena miskin bukanlah kutukan. Kemiskinan juga bukan disebabkan mereka malas, tak mau bekerja keras. Sebenarnya masyarakat kita sudah memiliki etos kerja kuat seperti yang ditunjukkan ‘nenek moyang kita adalah seorang pelaut yang tangguh’. Secara embrio, kemiskinan lebih bersifat multidimensi. Bila ditelaah, kemiskinan di negeri ini, lebih disebabkan kerana faktor struktural yang dibuat manusia, baik struktur ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Mereka yang termisikinkan terkungkung dalam suatu lingkaran, vicious circle of proverty (Korupsi yang memiskinkan, Penerbit Buku Kompas 2011).
Hal ini bisa dibuktikan berdasarkan data BPS dan Menkokesra. Di mana, anggaran untuk pengentasan kemiskinan naik setiap tahun, bahkan kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, anggaran kemiskinan sekitar Rp 16,7 triliun; tahun 2005, naik menjadi Rp 23 triliun; tahun 2006, naik menjadi Rp 42 triliun, tahun berikutnya (2007) menjadi Rp 51 triliun; tahun 2008, menjadi Rp 63 triliun; tahun 2009 menjadi Rp 66 triliun, dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp 94 triliun. Namun, lonjakan anggaran ini tak diimbangi dengan penurunan angka kemiskinan yang dignifikan. Secara statistik, jumlah penduduk miskin pada kurun waktu yang sama adalah; pada tahun 2004, sekitar 16,7 %; lalu turun menjadi 16% (2005); naik lagi menjadi 17,8% (2006); kemudian 16,6 % (2007); 15,4% (2008); 14,2% (2009); dan terakhir sekitar 13,3 % (2010). Persoalan kemiskinan direduksi hanya dengan standard BPS (2010) yang hanya menghitung angka kecukupan gizi kalori per hari, setara Rp 155.615 per bulan per orang, jauh lebih rendah dari standar kemiskinan absolut yang dibuat lembaga internasional yang rataanya adalah satu dolar per kapita per hari. Karena ekses gejala korupsi masif dan pembusukan sekelilingnya, maka tak bisa dihindarkan pula, bila anggaran pengentasan kemiskinan pun menjadi lahan basah para koruptor.
Muhammad Bagus Irawan, aktivis Idea Studies IAIN Walisongo Semarang
Menakar Selubung Kematian
Judul : Mati Itu Spektakuler
Penulis : Khawaja Muhammad
Penerbit : Serambi, Jakarta
Tahun : 1, Mei 2011
Tebal : 444 halaman
Harga : Rp50.000,-
Kematian merupakan kepastian dan menghampiri setiap makhluk. Tak seorang pun dapat menghindar dan melepaskan diri dari cengkeramannya. Barangkali, mati ibarat "gerbang besar" tempat setiap orang dan makhluk lainnya pasti akan memasukinya.
Mati juga laksana "angin" yang datang kapan dan di mana saja di luar rencana manusia. Ihwal kematian memang sudah digariskan oleh Tuhan tatkala kita menapaki alam barzah. Sejatinya, hakikat inilah yang ditegaskan dalam kalamullah, "Tiap-tiap jiwa (yang bernyawa) akan merasakan kematian" (QS Ali Imran: 185).
Meskipun demikian, bagi sebagian orang, kematian sangat menakutkan. Mereka membayangkan kematian sebagai peristiwa yang amat tragis dan mengerikan. Ada banyak alasan mengapa manusia takut terhadap kematian. Pertama, karena ia ingin bersenang-senang dan menikmati hidup ini lebih lama lagi.
Kedua, ia tidak siap berpisah dengan orang-orang yang dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama ini dikumpulkannya dengan susah payah. Ketiga, karena ia tidak tahu keadaan mati nanti seperti apa. Keempat, karena ia takut pada dosa-dosa yang selama ini ia lakukan.
Walhasil, manusia takut karena ia tidak pernah ingat kematian dan tidak memersiapkan diri dengan baik dalam menyambut kehadirannya. Padahal, kita sebagai manusia haruslah paham dan sadar akan selubung kematian yang menanti.
Buku berjudul Mati Itu Spektakuler ini dihadirkan guna menggarisbawahi seluk-beluk tentang mati. Muhammad sebagai penulis menakar kehidupan, yang ditengahi oleh kematian. Bagi saya, buku ini menjadi pengingat manusia agar lebih pandai memaksimalkan waktu. Kita tak hidup selamanya dan ujungnya kubur juga yang akan kita huni.
Secara tipografi penulisan, penataan buku ini terbagi ke dalam delapan bab utama. Pada bab pertama adalah "Awas..!", yang terdiri dari rampai kisah para sahabat, tabi'in, ulama, dan orang biasa, dalam menghadapi kehidupan dan ancaman maut.
Sebagai amsal, dalam Kisah Putra Harun, dielaborasi rampai kehidupan putra mahkota dari Sultan Agung Harun Arrasyid, kala itu sang putra mahkota memilih keluar dari gelimang harta duniawi istana dan hijrah ke sepinya pedalaman hutan hanya dengan bekal Al Quran dan sebuah cincin pemberian ibunda. Di sana ia tawakkal untuk ikhlas dan mendekatkan diri dengan Tuhan.
Ia lebih memilih hidup sebatas cukup hingga dalam bekerja ia hanya bekerja sehari dalam seminggu demi mengisi kebutuhan perutnya. Selebihnya, ibadah dan dzikirlah yang ia tunaikan, hingga akhirnya sang putra itu meninggal dalam kedamaian (hal 20-26).
Dari kisah itu bisa diambil hikmah bila kehidupan dunia adalah sementara. Tak ayal, kita mesti ingat dan mempersiapkan kehidupan kekal kita di akhirat.
Sesuai dengan pesan Rasul, bila manusia haruslah bekerja demi hidup seakan-akan ia akan hidup selamanya, dan sebaliknya, ia mesti mempersiapkan kematian seolah ia akan mati esok hari. Peneguhan itu adalah wujud prinsip keseimbangan, manusia hidup selain mencari bekal kehidupan dunia juga mesti ingat dengan bekalnya di akhirat, yang ditengahi dengan perantara mati.
Desain besar yang coba dijelaskan penulis adalah mengungkap selubung besar kematian. Ia menjadi penanda arti kehidupan yang apik dan bagaimana bisa menjalaninya. Penulis mencoba mengingatkan "efek kejut" mati dan rahasia besar yang tersembunyi di balik itu. Sekian.
Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, mahasiswa Tafsir Hadist, IAIN Walisongo, Semarang
Teori Indonesia Maju
INDONESIA dengan segala kekayaan dan potensi yang dimilikinya bisa dirasakan sedang tak berkutik dengan segala problem multidimensi yang mencengkeramnya saat ini. Akibatnya, ia bagai kapal limbung bocor di sana-sini, yang seolah mau tenggelam saja, tak mampu melaju dan berlomba dengan kapal lain di tengah alam persaingan globalisasi bangsa-bangsa di dunia.
Secara historis, posisi tawar Indonesia memang menjadi obyek harta karun yang kaya. Wajar ia sempat menjadi ranah jajahan primadona selama berabad-abad oleh Portugis, Inggris, Belanda hingga Jepang. Bahkan hingga sekarang kita juga masih terjajah dengan kepemilikan asing terhadap aset-aset vital pertambangan, transportasi, energi listrik, sirkulasi air, dan lainnya. Pengerukan sumber daya alam Indonesia sampai sekarang tak berbuah manis bagi pencapaian kemakmuran bangsa sendiri, namun hanya menguntungkan negara lain. Siapa yang bodoh?
Ironisnya, semua itu didukung kebijakan para elite sekarang, yang seakan membentuk kerangka perbanditan perpolitikan negeri (Bandit-bandit Demokrasi, 2011) yang telah mengeruk kepingan pribadi dengan mengekor dan mengolah kebijakan yang menguntungkan asing, dan merugikan bangsa secara semena-mena. Contoh, bagaimana pemerintah kita masih saja menandatangani kontrak dengan menyerahkan gunung emas di Papua kepada PT Freeport milik Amerika Serikat dengan hasil pembagian yang amat merugikan kita.
Selain kebijakan impor yang tak terkendali dan tak terawasi, hingga menghancurkan produksi dalam negeri, kebijakan ekspor bahan baku dasar juga terus dibiarkan, tanpa ada rembuk terlebih dahulu. Bila saja bahan baku itu diolah lebih lanjut di dalam negeri, tentu akan bernilai jauh lebih tinggi dan bisa menciptakan lapangan pekerjaan luas, guna mengurangi problem pengangguran.
Filsafat Politik
Saya menaksir bila keadaan genting dan runyam ini terus berlangsung sampai beberapa tahun lagi, negara-bangsa yang diproklamasikan Soekarno-Hatta ini akan hancur karena keadaannya yang tak kunjung membaik demi kemaslahatan seluruh rakyat, terutama kalangan menengah ke bawah. Mereka mengeluh karena semakin tertindas situasi dan kondisi serba kesulitan mendapat hak-hak prinsip; sulit mendapat akses pekerjaan yang layak, sulit mendapat akses pendidikan murah, sulit mendapat layanan kesehatan murah, sulit mendapat layanan hukum yang adil, sulit menerima keadaan rakus para elite bangsa, karena laku kotor dan wajah bopengnya.
Bahkan dalam analisis student.com, dari 800 koresponden anak didik Indonesia ada capaian signifikan sebesar 78 persen, anak didik usia menengah tengah acuh tak acuh dengan kejujuran pendidikannya. Sebuah ironi yang nyata bila pendidikan kita juga di ambang krisis nilai kejujuran. Wajar, contoh menyontek massal kasus Siami hanya menjadi kasus gunung es. Secara nyata, prosesi ketidakjujuran para anak bangsa ini terjadi karena mendapat asupan media yang memberitakan korupsi para petinggi negara dan daerah yang seolah tak bisa berhenti. Karena, ada kongkalikong dengan penegak hukum.
Dalam buku Filsafat Politik (Henry J Schmandt) dijelaskan, fakta dan pakta sejarah pemikiran politik filsafat Yunani adalah terbentuknya negara-bangsa yang berporos pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dan inilah dambaan bangsa Indonesia sekarang, untuk mendapat dan merasakan kemakmuran dan kesejahteraan hidup, dengan akses kemudahan mendapat hak prinsip tadi.
Kaidah filsafat Islam juga menekankan hal itu: Negara Madinah yang digagas Nabi Muhammad bermuara pada kesejahteraan rakyat dan pemenuhan pelaksanaan HAM. Pantas bila Negara Nabi itu mendapat apresiasi tinggi, sebab sistem kala itu sebelumnya hanya menguntungkan kaum feodal belaka.
Asas Kerja
Sebenarnya tak muluk-muluk, bangsa kita yang rapuh ini ingin melihat asas kerja pejabat negara bisa berlaku jujur dan mau bergerak demi kepentingan bangsa menyeluruh. Semua berharap begitu. Selain juga ada konsolidasi mitigasi, semangat demokrasi, dan asas peningkatan mutu, dan kriteria manfaat yang perlu dibangun dan digerakkan sekarang juga.
Negarawan sejati haruslah beranjak dari nilai-nilai yang baik dan orisinal sebagai cermin kepribadiannya. Bukan berasas pada belenggu partai yang bertendensi pada pengeluaran dana politikus, demi termin pemilih. Saya rasa, undang-undang kepartaian harus dirombak sesegera mungkin, karena selama ini sistem partai politik dan pemilu
yang dilaksanakan hanya berkesan dengan kemenangan money politics semata. Sebab, kaidah baik pemilu adalah mencari figur-figur yang baik pula. Secara logis, bila alatnya buruk, dan dijalankan dengan buruk pula, hasilnya juga akan buruk.
Lihat saja, bagaimana hasil pemilu kita selama ini: kepala daerah banyak yang mementingkan golongannya, bahkan tersandung korupsi. Maka, dari titik tolak itu, perundang-undangan pemilu dan sistem partai harus dikaji lagi, agar tak ada keganjilan yang terus membudaya. Rakyat tak butuh dana suap dan janji manis partai di muka. Yang dibutuhkan adalah gerak nyata dan realisasi janji ke arah pemakmuran rakyat.
Indonesia Maju
Indonesia maju dalam pemikiran saya haruslah mengubah epistem dasar pemikiran. Sifat dan raga seluruh bangsa mulai saat ini harus berbenah dan berinstropeksi menjadi seorang entrepreneurship. Istilah ini bermakna luas, bukan pada ekonomi belaka, melainkan mewujud dalam arti keberadaan manusia yang sadar dan peduli, jujur, mampu berdiri sendiri, berinovasi, cerdas, teliti, beretika, cinta damai, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi HAM. Sebab, asal kata entrepreneur dilandasi motivasi diri sendiri. “Semua bisa kita kerjakan bila kita mau dan bergerak", mulai saat ini, dan dari hal yang terkecil. n
Peneliti pada Pusat Kajian Masalah Sosial dan Politik Idea Studies IAIN Walisongo, Semarang
Saturday, 30 July 2011
Telaah Sistem Jaminan Sosial
HAM di Mata Nurcholish Madjid
Menguak Dilematisasi Hukum
Monday, 18 July 2011
Bukan Bencana Biasa
Mencontoh Kepemimpinan Semar
Resensi Buku Penerbit Buku Kompas
Menelusuri Perang Intelijen
Dilansir dari Perada Koran Jakarta edisi 15 Juni 2011
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/64489
http://issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_1065_-_15_juni_2011/1
Judul : Operasi Fortitude
Penulis : Darma Aji
Penerbit : Penerbit buku Kompas, Jakarta
Tahun : 1, 2011
Tebal : xviii + 414 halaman
Membaca buku ini sontak saya teringat agen rahasia James Bond, si 007 dari badan intel M16, Inggris, seorang perayu ulung yang agak kocak, jago strategi dan berkelahi, serta dipersenjatai alat-alat canggih serba modern, selain agen rahasia yang dikenal anak-anak diadopsi dalam peran film kartun; Kim Possible, Totally Spies, dan Tin-Tin, tokoh yang menyenangkan dengan kejelian dan kelucuan, jauh dari kesan angker maupun menakutkan.
Namun dalam buku ini, sosok intel (mata-mata) itu dijelaskan jauh dari kesan dan gambaran kita dari tokoh-tokoh di atas. Buku berjudul Operasi Fortitude ini patut menjadi bacaan yang langka bagi pecinta taktik dan strategi. Buku ini mengelaborasi bagaimana prosesi panggung laga para spionase tatkala berperang strategi dan taktik dengan pertaruhan nyawa. Bagaimana agen rahasia Sekutu dengan segala jerih payahnya, mampu memukul mundur kedigdayaan pasukan Nazi Jerman hanya dengan kemenangan taktik kelihaian para spionase M16.
Buku ini sebagai rekam historis, namun dikemas dalam sudut pandang beda dari buku sejarah lain yang biasa menerangkan bagaimana proses perang dunia II berjalan lengkap dengan ledakan amunisi dan korban nyawa yang melayang. Buku ini memandang bagaimana proses kreatif dibalik layar perang, bagaimana kerja spionase, intelijen yang memiliki peran vital sebagai "tim sukses" perang.
Di sini diuraikan peran intelijen yang memantau, memata-matai gerak lawan, dan menyamar untuk mengorek info, memaksakan dirinya melabuh ke dalam lembah ranjau, dengan pertaruhan nyawa. Bila dipikir seksama, tugas ini memang tugas besar yang sering kali tak beroleh jasa karena independensi intel yang memang disembunyikan. Kepahlawanan para intelijen berada pada titik nadir siap tidak popular. Dan inilah pesan khusus tatkala orang zaman sekarang selalu mengukur pengorbanan dengan timbal balik, berkorban secara tanpa pamrih menjadi sangat langka.
Secara tipologi, penulisan buku ini cukup sulit seperti diakui Aji karena mengupas cerita yang tersebar dalam literatur historis yang sering kali dipertanyakan validitasnya (hlm xvi).
Secara kronologis, di balik latar PD II (1939-1945) pemerintah Inggris, yang bergabung dengan sekutu Amerika Serikat, mengandalkan dinas sekutu M16. Sedang Nazi Jerman diwakili badan intelijen Abwehr-nya. Buku ini dielaborasi ke dalam 29 judul bab yang siap menggetarkan imajinasi dalam perang taktik kita. Dijelaskan bagaimana tentara bawah laut Nazi mampu
melacak rute dan menenggelamkan ratusan kapal induk sekutu yang sangat vital menopang keberadaan pasukan sekutu di zona perang, tak pelak, dari sana pasukan Nazi dapat memukul mundur tentara sekutu yang kekurangan pasokan amunisi dan sembako
Namun, berkat kelihaian intel M16 mengelabui strategi intel Nazi. Walhasil, mereka pun dapat menyokong pasukan dan persenjataan tanpa dideteksi kapal selam Nazi. Kemudian memukul mundur pasukan Nazi.
Walaupun dalam sistematikanya terkesan menyajikan prolog yang tak mengarah dan sulit dipahami alur per bab-nya, namun buku ini cukup menjanjikan terbongkarnya rahasia perang para intel saat PD II kala itu. Selamat membaca..!
Peresensi : Muhammad Bagus Irawan, pegiat Idea Studies, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.
Pemikiran
Muhammad Bagus Irawan
Dilansir dari Website Islam Liberal, 22 Juni 2011
http://islamlib.com/id/artikel/menuju-paradigma-agama-madani-nusantara
“Islam madaniy mengajak pada titik temu (kalimat sawa’) agama-agama. Semua agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Ada usaha untuk mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama. Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Bukan hanya rahmatan lil mutamazhibin ataupun rahmatan lil muslimin saja. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.”
Peristiwa berdarah pada 6 Februari 2011 yang lalu terhadap Jamaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, yang mengakibatkan tiga orang tewas dan lima orang luka-luka adalah ancaman nyata terhadap kebebasan berkeyakinan dan kebhinnekaan di Republik ini. Sebelumnya, tindakan kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah juga telah terjadi di Kuningan, juga di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Sekali lagi, pemerintah membiarkan kelompok radikal menggunakan cara mereka sendiri yang tidak berperikemanusiaan karena perbedaan berkeyakinan. Apakah sebenarnya yang bersembunyi di balik kekerasan itu? Apakah benar-benar itu ungkapan kebencian suatu penganut agama tertentu? Apakah itu sebagai “luapan keimanan” sekelompok masyarakat terhadap agama tertentu? Ataukah ada skenario lain yang berdiri di belakang layar, yang bertujuan mengalihkan berbagai persoalan dan kejadian-kejadian terselubung berbau politik?
Bertolak dari peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang sangat memprihatinkan itu, saya ingin mengangkat gagasan tentang agama madani. Yang saya maksud dengan agama madani bukanlah sebuah agama baru. Saya tetaplah seorang muslim yang beriman kepada keesaan dan kebesaran Allah. Di sini saya mendefinisikan “agama madani” sebagai agama Islam yang mengagungkan terwujudnya cinta kasih dan perdamaian berlandaskan rasa kemanusiaan, mendukung kebebasan beragama sesuai dasar keyakinan dan pemahaman. Saya sepakat dengan analisis Jalaludin Rakhmat yang membagi keberagaman Islam nusantara menjadi islam fiqhiy, islam siyasiy, dan islam madaniy.
Islam fiqhiy memusatkan perhatian pada ajaran fiqh yang dipraktikkan sehari-hari. Islam menjadi sangat ritual. Kesalehan diukur dari ritual. Pemahaman ini umumnya hanya memandang kelompoknya yang benar dan orang lain salah. Islam fiqhiy dengan demikian sebatas rahmatan lil mutamadzhibin atau rahmat bagi mereka yang sama mazhabnya saja.
Setelah itu berkembang islam siyasiy atau Islam politik. Islam politik menjadikan agama Islam sebagai komoditas politik. Pemahaman model seperti ini memusat pada perjuangan untuk merebut kekuasaan lewat konsep negara Islam, menegakkan syariat Islam, atau mendirikan khilafah. Keselamatan bukan untuk sekelompok Islam, tetapi untuk seluruh umat Islam, rahmatan lil muslimin. Ini artinya masih mengecualikan kelompok-kelompok di luar Islam.
Menurut islam fikhiy, kaum muslimin mundur karena dianggap meninggalkan al-Qur’an dan Hadis. Untuk maju, kita mesti kembali berpedoman kepada dua sumber itu. Mereka meyakini bahwa zaman para nabi dan sahabatnya adalah zaman paling ideal.
Islam siyasiy melihat kemunduran umat Islam akibat dominasi dan konspirasi Barat yang menghancurkan Islam. Mereka mengajak kita kembali merujuk zaman Islam menguasai seluruh dunia, yaitu masa Khilafah Ustmaniyah. Masa itu dianggap zaman ideal yang harus iperjuangkan lagi.
Kedua pemikiran itu mengantarkan kita pada islam madaniy. Semua agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Ada usaha untuk mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama. Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Bukan hanya rahmatan lil mutamazhibin ataupun rahmatan lil muslimin saja. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.
Jika islam fiqhiy itu berkutat pada urusan fikih dan islam siyasiy pada urusan politik, Islam madani berpusat pada pendidikan pembentukan karakter, etika dan akhlak yang positif. Tujuannya untuk membangun akhlak yang baik pada sesama manusia dalam kehidupan yang majemuk. Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Islam madani merupakan pencapaian akhir dari dua tahapan pemikiran sebelumnya. Ini bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan bagi kemanusiaan dan peradaban.
Indonesia merupakan negara majemuk, dan menjamin kebebasan beragama bagi seluruh penduduk Indonesia, tanpa kecuali. Tidak ada yang keliru dan tidak ada kelompok yang patut dipersalahkan dalam hal ini. “Monopoli” kebenaran sebuah agama hendaknya tidak menutup pintu bagi perdamaian dan toleransi untuk bersemayam dalam hati umat beragama. Setiap umat beragama memiliki pendirian masing-masing dengan keunikan dan dasar agamanya yang spesifik, mutlak, dan tidak dapat diganggu-gugat oleh keyakinan apapun.
Sebenarnya secara tekstual dan kajian pustaka dalam setiap ajaran agama, tidak ada suatu teks dalam sumber agama manapun yang mempreskripsikan perintah untuk merusak dan berbuat kekerasan terhadap apapun di sekelilingnya. Di dalam al-Qur’an disebutkan, tidak ada paksaan untuk memeluk agama tertentu. Artinya semua orang bebas untuk memeluk agama Islam atau tidak, bebas untuk meyakini Islam atau tidak. Bahkan di bumi Pancasila ini, semua warga negara Indonesia berhak dan selalu berhak untuk memeluk agama tertentu atau mendirikan agama baru yang sesuai dengan pendirian dan keyakinannya. Kembali ke bilik nusantara, kita mengetahui terlebih dahulu bahwa di negara kita terdapat 6 agama yang diakui secara resmi: Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan terakhir adalah Konghucu. Penganut keenam agama ini tersebar di seluruh pelosok negeri dengan mayoritas penganut Islam yang berjumlah sekitar 88%.
Kemajemukan dan pluralitas dalam berbagai hal: suku, budaya dan agama, hingga saat ini masih tetap mampu terjaga, tersatukan dengan baik di bawah simbol Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Walau kita juga tak dapat menafikan bahwa berbagai perbedaan dan kemajemukan tersebut menjadi salah satu faktor munculnya sejumlah konflik horizontal di negeri ini. Kemajemukan yang tumbuh subur di negeri ini, termasuk di dalamnya pluralitas agama, adalah sebuah realitas sosial yang harus kita terima. Berbagai perbedaan ini bila disikapi secara bijak dan penuh toleransi, maka ia bukan faktor yang melemahkan pilar kesatuan bangsa.
Tapi kemajemukan tersebut justru menjadi pilar penguat yang seharusnya mampu menyatukan berbagai elemen, dan merekatkan berbagai perbedaan menjadi sesuatu yang indah untuk dinikmati bersama. Piagam Madinah dengan jelas mengakomodir pluralitas agama. Kalaupun akhirnya muncul konflik, maka saya yakin bahwa bukan hanya perbedaan dan kemajemukan itu yang menjadi biang kerok. Tetapi ada variabel lain yang terlibat di dalamnya: ekonomi, pendidikan, kesenjangan sosial dan adanya orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari konflik yang tercipta.
Kasus terakhir di Bogor, yang menimpa Ahmadiyah, merupakan gambaran memilukan tercederainya hak asasi manusia sedemikian rupa, sehingga untuk beragamapun harus melukai dan menyakiti umat beragama lainnya. Mengapa umat beragama memicu timbulnya kekerasan dan tindakan anarkhis? Ini tentu harus diselesaikan secara elegan dan menjunjung tinggi kebebasan beragama bagi semua warga negara Indonesia. Pembicaraan dan musyawarah lanjutan harus diadakan secara humanis dengan tetap memberi kesempatan kelompok lain untuk mendirikan agama baru dengan keyakinannya sendiri.
Agama sejatinya adalah pendamai bukan penyulut anarkisme. Konsep agama madani adalah gagasan yang menyajikan nilai cinta kasih perdamaian kemanusiaan. Sudah saatnya kita mewujudkan nilai agama yang semestinya. Rekontruksi dan dekontruksi atas agama mesti menjadi perhatian utama. Keberagamaan di bumi nusantara yang beragam haruslah dihiasi dengan semangat toleran, memandang positif terhadap kemajemukan, multikulturalisme, dan pluralisme. Apabila ini terwujud, betapa agama akan menyatukan dan Bhinnekha Tunggal Ika sebagai ciri utama nusantara akan terejewantahkan dengan baik di bumi pertiwi Indonesia. []
*Mahasiswa FUPK IAIN Walisongo, Semarang
Menengok Cerpen Sitor Situmorang
Judul : Ibu Pergi ke Surga
Penulis : Sitor Situmorang
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta
tahun : 1, 2011
tebal : xxii + 218 halaman
Harga : Rp45.000,-Siapa Sitor itu? sebuah pertanyaan yang saya sematkan saat pertama kali melihat antologi cerpen berjudul "Ibu Pergi ke Surga" ini. Dalam kesusastraan kita, Sitor dikenal sebagai pegiat angkatan 45, semasa dengan nama-nama seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Asrul Sani. Ternyata diantara namanama yang lekat dalam sejarah sastra Nusantara itu. Sitor Situmorang menempati kedudukan yang istimewa, ia adalah seorang legenda.
Di Indonesia, pengalaman hidup Sitor Situmorang membentang mulai dari zaman revolusi hingga ke zaman reformasi. Selain menulis puisi, prosa, cerpen dan drama, sejak dekade 1950-an Sitor juga terlibat aktif dalam berbagai polemik kebudayaan, khususnya dalam perdebatan arah bentuk kebudayaan Indonesia. Kehidupan Sitor mengembara dari Harianboho, sebuah pelosok di Sumatera Utara, hingga pernah menjejak tapak di tanah Paris selama tiga tahun—salah satu menara kebudayaan Eropa—untuk kemudian kembali lagi ke tanah air. Diakui, bila perjalanannya ke eropa kala itu mendebarkan pengaruh kuat pada hasil karyanya dan dengan polesan budaya lokal dan Nusantara, tak pelak menjadikan cerpennya menjadi khas.
Kini, di tengah usia yang menanjak semakin menua, 87 tahun, Sitor masih sanggup berdiri tegak dan memberi sambutan sekaligus membaca sajak berjudul Membalas Surat Bapak yang membuka antologi cerpen berjumlah 23 buah judul yang dihasilkan dalam dekade tahun 1950 hingga 1981 ini. Cerpen awal berjudul Ibu Pergi ke Surga yang dianggap masterpiece berkisah tentang seorang lelaki Batak yang harus kembali ke kampung halaman demi melihat ibu yang sudah di ambang kematian. Di dalamnya ada suguhan kisah rindu yang muncul melalui memori masa lalu tokoh berpadu dengan konflik antara tokoh lelaki danayahnya yang masih menganut kepercayaan pada dewa-dewa dengan pendeta.
Sekaligus diimbuhi pertentangan gagasan yang diam-diam terjadi antara tokoh lelaki dan pendeta. Hingga memuncak pada momen kematian ibu di malam Natal yang tak menghadirkan airmata. Ibu Pergi ke Surga menghadirkan kematian yang dingin dan sedih. Dilanjutkan dengan cerpen Kasim, lewat penulisannya yang datar, saya menangkap kewibawaan tokoh yang dipandang jauh namun dekat dengan kearifan masyarakat sekitar. Isinya kompleks sebagai wujud eksistensi yang tereduksi dalam balutan singkat sekitar 7 ribuan karakter.
Sitor dalam kuantitas mungkin sulit disematkan sebagai seorang cerpenis mengingat jumlah karyanya yang hanya 23 buah. Namun, menafikan itu, substansi dan kredo karyanya amatlah berkualitas beda
hingga menjadi santapan eropa mengenal budaya Nusantara yang dibawanya. Ini tercermin lewat judul penutup yang secara tegas menawarkan panorama dan sepak terjang haluan dan keindahan danau Toba dan penghuninya.Digambarkan kesahajaan hidup, budaya lokal yang masih meninggikan arwah leluhur juga kontestasi alam yang merona. Ada siklus apik di awal, tatkala gelegar cerpen Sitor dirunutkan dengan latar
belakang dan waktu dimuatnya di media massa kala itu. Selebihnya, hadirnya buku berisi gelegar cerpencerpen ini bisa mengobati khasanah sastra yang apik ala Sitor yang tetap berkarya dengan impitas usia senjanya. Selamat membaca.*)Muhammad Bagus Irawan, pegiat Jepara Pena Club, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.
Dimuat di Analisisnews.com edisi Minggu 10 Juli 2011
http://analisisnews.com/analisis/resensi-buku/634-ibu-pergi-ke-surga
Saturday, 5 March 2011
Dibalik Misteri Sejarah
Judul : Menguak Misteri Sejarah
Penulis : Asvi Warman Adam
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Tahun : 1, Oktober 2010
Tebal : xii + 292 halaman
Sejarah adalah tautan yang mendecap berlakunya kejadian dalam tataran waktu. Benar, apabila kita melihat pada realita yang terjadi dibalik peristiwa sejarah. Namun menjadi tanda Tanya, bila kita berada dalam dimensi waktu yang tak sama. Lantas bagaimana mengungkap kebenaran suatu sejarah? Apakah sumber sejarah selamanya menjadi patokan ataukah menjadi musabab tercemarnya peristiwa sejarah? Lagi-lagi hanya menjadi sebuah misteri dan petuah belaka.
Meskipun sejarah dalam perkembangannya menjadi ilmu pengetahuan favorit. Namun, itu tak terlepas dari nilai kebenaran yang diragukan. Mengambil perangkat Descartes “co gito ergo sum” maka dapat ditarik bila sejarah itu adalah sebuah argumentasi yang tercipta dan tersusun sedemikian rupa oleh akal. Meski, tak selamanya akal akan menerima akal pula dalam pemahaman itu. Hingga, muncul pikiran peraguan terhadap segala yang berbau sejarah.
Semisal apa yang disajikan para ahli sejarah dengan data kualitatif dan observasi lapangannya, tentu kita juga mesti memberi hormat dengan hipotesa yang terpetik. Dan itu juga menimbulkan fenomena dan paradigma baru yang bersifat obyektif. Bahwasanya tidak ada yang bisa memastikan kebenaran suatu nilai sejarah, kecuali Tuhan. Buku berjudul Menguak Misteri Sejarah karya sejahrawan senior Asvi Warman ini adalah retasan seklumit rentetan sejarah yang melatarbelakangi tumbuh kembang negeri ini, dilihat dari perspektif yang lebih jeli dan berbeda.
Di sini penulis menyajikan pandangan liar dan kritisnya menyikapi dan memaparkan peristiwa fakta sejarah yang berbeda dari buku-buku sejarah Indonesia yang kita jumpai selama ini. Namun, lewat pengakuannya, ia semata-mata sedang menguak sejarah lebih berbobot. Terlepas dari rezim pengendali literatur sejarah dan tafsir resmi rezim yang dulu sangat berkuasa yakni, gaung Orde Baru.
Membaca itu, maka wajar bila ada pertanyaan ”apakah benar sejarah dapat menyisakan misteri? Apakah karena dimanipulasi penguasa ataukah memang datanya yang belum lengkap? Penulis buku ini menguak secara obyektif misteri-misteri sejarah yang selama ini belum terungkap bahkan belum tersentuh dalam khazanah keilmuan sejarah Indonesia. Buku ini menyajikan persoalan dan tema baru dalam setiap rajutan antologi tulisan yang disajikan. Diantaranya, dimanakah letak makam Tan Malaka? Benarkah Tan Malaka tidak menikah selama hidup? Dan mengapa jejak Tan Malaka amatlah sulit dilacak, hingga mendapat julukan “jago menghilang” dan menjadi pahlawan yang paling misterius?
Kemudian, apakah benar R.A. Kartini adalah pelopor dan perintis kebangkitan nasional lebih awal dari Budi Utomo? Menyimak tahun kelahiran R.A. Kartini adalah tahun 1879, itu memang berarti jauh sebelum Budi Utomo didirikan, yaitu tahun 1908. Selama ini sejarah kita mencatat bahwa Budi Utomo yang didirikan oleh Tjipto, Wahidin Sudiro Husodo dan Sutomo, itu merupakan organisasi Indonesia pertama, juga kelahirannya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Lantas, apa arti peran R.A. Kartini dengan tulisan menggugahnya “habis gelap terbitlah terang”? Semua perspektif-perspektif segar semisal itulah yang menyesaki lembaran buku ini. Dirasa tidak berkilah, penulis memang mampu memadu sumber dan data faktual yang teruji secara nasional.
Mengundang Asumsi
Selanjutnya, dalam penilaian sejarah memang secara kuasi nalar, pikiran akan terbentur dalam literatur subyek person. Namun, tentunya bila didukung dengan argumentasi dan artikulasi yang beda, akan menjadikannya menjadi lebih varian dan relevan sebagai landasan. Semisal, apa yang disajikan Asvi memandang tragedy G30S PKI, dimana dia menyoal keabsahan PKI sebagai dalang aksi pembunuhan keji para panglima itu. Padahal dalam kecamuk politik saat itu mendukung PKI tetap eksis. Namun, lagi-lagi bicara sejarah sangat kental dengan patronase sang kuasa saat itu. Begitu juga dengan perbincangan kasus Susno yang memang tak usang lambat laun memberedel kejahatan korupsi Negeri.
Bagi saya buku ini laik menjadi pelengkap pustaka kaijan sejarah negeri. Namun, disini saya menilai penulis juga harus mendapat pertanyaan, dengan kelabu posisinya memandang yang bisa juga bukan obyektif. Wajar, dan akan menjadi persoalan baru bila di kemudian hari muncul penulis dengan dialektika baru menyorot sejarah yang terus berjalan setiap detiknya. Singkat kata, sejarah adalah perihal misteri dan bagaimana kita menyikapi.
Muhammad Bagus Irawan, penikmat kajian sejarah, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.
CP: 085865414241