Labels

Saturday 30 July 2011

Menguak Dilematisasi Hukum

Dilansir dari Koran Jakarta edisi Selasa, 19 Juli 2011

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/66993

Judul : Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia
Penulis : Abdul Aziz Hakim
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tahun : 1, 2011
Tebal : xii 284 halaman

Berbicara tentang tatanan negara hukum dan demokratis di Indonesia, tentunya kita bisa ambil contoh bagaimana kasus Prita bisa mencuat. Secara demokratis, Prita selaku warga negara tentunya memiliki kebebasan hak bersuara, untuk mengeluh dan mengkritik pelayanan RS OMNI Internasional.

Namun, apa jadi, akibat kritiknya di dunia maya, malah menjadi batu loncatan gugatan pencemaran nama baik, hingga menjebloskan Prita ke hotel prodeo. Secara hukum, tampaknya sah saja hal itu dilakukan, namun, secara hukum
positif, nilai kemanusiaan yang coba digali perangkat hukum Indonesia tampak masih jauh dari harapan.

Kasus Prita yang kini sedang dalam proses akhir Pengajuan Kembali Mahkamah Agung, sudah jelas menempatkan warga lemah menjadi sasaran murka hukum. Padahal, bila diadakan jajak pendapat seluruh bangsa Indonesia, saya sependapat bila mayoritas akan setuju dan mendukung kebebasan bagi Prita.

Buku berjudul Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia gubahan Abdul Aziz ini, sejatinya mencatat dan mengkritisi ekspresi dan implementasi tatanan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pikiran penulisan, menempatkan
kritik Aziz tertuju pada tumpang-tindih dan karut-marutnya pertimbangan hukum atas dasar paradigma positivisme.

Paradigma ini menempatkan hukum hanya sebagai seperangkat aturan yang sudah disahkan negara (ius constituendum). Padahal, di sini hukum harus sebagai alat legitimasi bagi seluruh bangsa, tak pandang bulu. Akibatnya, arah kebijakan hukum di Indonesia selalu dibopengi oleh kepentingan aparat negara dan elite penguasa yang berduit, sedang rakyat bawah menjadi korban legitimasi konsepsi hukum positivisme yang berpeyorasi apik.

Konsepsi negara hukum semestinya bukan hanya wacana semata di setiap negara. Ia harus ada dan berjalan adil dan bersih dalam prakteknya. Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amandemen keempat 2002, konsepsi negara hukum atau rechtstaat, yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3). Dalam konsep negara hukum, hukumlah yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan, bukan politik atau ekonomi.

Namun di negara kita, implementasi penegakan hukum itu masih menjadi barang langka, dan bahkan hanya mitos belaka. Tak ayal upaya dan wacana penegakan hukum di Indonesia hanya sejalan dengan dilematisasi program yang tak akan berjalan. Mengingat kondisi perangkat hukum sudah terlalu menyimpang dan melenceng dari konsep idealnya. Ini terbukti dengan adanya beberapa kasus pelanggaran hukum yang dilakukan aparat negara. Korupsi semakin merajalela tanpa ada penegakan hukum yang setimpal. Akhirnya, negara hukum pun hanya menjadi simbol paradoksal dan labirin usang bagi bangsa ini.

Secara subtantif, negara hukum adalah negara yang berlandaskan hukum dan keadilan bagi warganya. Di mana, kekuasaan negara dibatasi oleh hukum, sehingga segala tingkah lakunya harus berlandaskan hukum. Namun, kesadaran semacam ini tampak belum membudaya dalam penegakan hukum di Indonesia. Tak pelak, orientasi hukum cenderung berubah menjadi alat pencoreng suatu tindakan, entah itu tindakan penyelenggara negara atau pun rakyat sendiri. Akhirnya, identitas bangsa dan negara akan dinilai dan terlihat dari bagaimana wajah penegakan hukumnya. Tentunya, kita berharap Indonesia akan menjadi negara hukum yang sejati, menegakkan keadilan dan kebersihan.

Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, aktivis Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat