Labels

Monday 18 July 2011

Pemikiran


Menuju Paradigma Agama Madani Nusantara
Muhammad Bagus Irawan

Dilansir dari Website Islam Liberal, 22 Juni 2011

http://islamlib.com/id/artikel/menuju-paradigma-agama-madani-nusantara

“Islam madaniy mengajak pada titik temu (kalimat sawa’) agama-agama. Semua agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Ada usaha untuk mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama. Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Bukan hanya rahmatan lil mutamazhibin ataupun rahmatan lil muslimin saja. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.”

Peristiwa berdarah pada 6 Februari 2011 yang lalu terhadap Jamaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, yang mengakibatkan tiga orang tewas dan lima orang luka-luka adalah ancaman nyata terhadap kebebasan berkeyakinan dan kebhinnekaan di Republik ini. Sebelumnya, tindakan kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah juga telah terjadi di Kuningan, juga di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Sekali lagi, pemerintah membiarkan kelompok radikal menggunakan cara mereka sendiri yang tidak berperikemanusiaan karena perbedaan berkeyakinan. Apakah sebenarnya yang bersembunyi di balik kekerasan itu? Apakah benar-benar itu ungkapan kebencian suatu penganut agama tertentu? Apakah itu sebagai “luapan keimanan” sekelompok masyarakat terhadap agama tertentu? Ataukah ada skenario lain yang berdiri di belakang layar, yang bertujuan mengalihkan berbagai persoalan dan kejadian-kejadian terselubung berbau politik?

Bertolak dari peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang sangat memprihatinkan itu, saya ingin mengangkat gagasan tentang agama madani. Yang saya maksud dengan agama madani bukanlah sebuah agama baru. Saya tetaplah seorang muslim yang beriman kepada keesaan dan kebesaran Allah. Di sini saya mendefinisikan “agama madani” sebagai agama Islam yang mengagungkan terwujudnya cinta kasih dan perdamaian berlandaskan rasa kemanusiaan, mendukung kebebasan beragama sesuai dasar keyakinan dan pemahaman. Saya sepakat dengan analisis Jalaludin Rakhmat yang membagi keberagaman Islam nusantara menjadi islam fiqhiy, islam siyasiy, dan islam madaniy.

Islam fiqhiy memusatkan perhatian pada ajaran fiqh yang dipraktikkan sehari-hari. Islam menjadi sangat ritual. Kesalehan diukur dari ritual. Pemahaman ini umumnya hanya memandang kelompoknya yang benar dan orang lain salah. Islam fiqhiy dengan demikian sebatas rahmatan lil mutamadzhibin atau rahmat bagi mereka yang sama mazhabnya saja.

Setelah itu berkembang islam siyasiy atau Islam politik. Islam politik menjadikan agama Islam sebagai komoditas politik. Pemahaman model seperti ini memusat pada perjuangan untuk merebut kekuasaan lewat konsep negara Islam, menegakkan syariat Islam, atau mendirikan khilafah. Keselamatan bukan untuk sekelompok Islam, tetapi untuk seluruh umat Islam, rahmatan lil muslimin. Ini artinya masih mengecualikan kelompok-kelompok di luar Islam.

Menurut islam fikhiy, kaum muslimin mundur karena dianggap meninggalkan al-Qur’an dan Hadis. Untuk maju, kita mesti kembali berpedoman kepada dua sumber itu. Mereka meyakini bahwa zaman para nabi dan sahabatnya adalah zaman paling ideal.

Islam siyasiy melihat kemunduran umat Islam akibat dominasi dan konspirasi Barat yang menghancurkan Islam. Mereka mengajak kita kembali merujuk zaman Islam menguasai seluruh dunia, yaitu masa Khilafah Ustmaniyah. Masa itu dianggap zaman ideal yang harus iperjuangkan lagi.

Kedua pemikiran itu mengantarkan kita pada islam madaniy. Semua agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Ada usaha untuk mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama. Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Bukan hanya rahmatan lil mutamazhibin ataupun rahmatan lil muslimin saja. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.

Jika islam fiqhiy itu berkutat pada urusan fikih dan islam siyasiy pada urusan politik, Islam madani berpusat pada pendidikan pembentukan karakter, etika dan akhlak yang positif. Tujuannya untuk membangun akhlak yang baik pada sesama manusia dalam kehidupan yang majemuk. Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Islam madani merupakan pencapaian akhir dari dua tahapan pemikiran sebelumnya. Ini bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan bagi kemanusiaan dan peradaban.

Indonesia merupakan negara majemuk, dan menjamin kebebasan beragama bagi seluruh penduduk Indonesia, tanpa kecuali. Tidak ada yang keliru dan tidak ada kelompok yang patut dipersalahkan dalam hal ini. “Monopoli” kebenaran sebuah agama hendaknya tidak menutup pintu bagi perdamaian dan toleransi untuk bersemayam dalam hati umat beragama. Setiap umat beragama memiliki pendirian masing-masing dengan keunikan dan dasar agamanya yang spesifik, mutlak, dan tidak dapat diganggu-gugat oleh keyakinan apapun.

Sebenarnya secara tekstual dan kajian pustaka dalam setiap ajaran agama, tidak ada suatu teks dalam sumber agama manapun yang mempreskripsikan perintah untuk merusak dan berbuat kekerasan terhadap apapun di sekelilingnya. Di dalam al-Qur’an disebutkan, tidak ada paksaan untuk memeluk agama tertentu. Artinya semua orang bebas untuk memeluk agama Islam atau tidak, bebas untuk meyakini Islam atau tidak. Bahkan di bumi Pancasila ini, semua warga negara Indonesia berhak dan selalu berhak untuk memeluk agama tertentu atau mendirikan agama baru yang sesuai dengan pendirian dan keyakinannya. Kembali ke bilik nusantara, kita mengetahui terlebih dahulu bahwa di negara kita terdapat 6 agama yang diakui secara resmi: Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan terakhir adalah Konghucu. Penganut keenam agama ini tersebar di seluruh pelosok negeri dengan mayoritas penganut Islam yang berjumlah sekitar 88%.

Kemajemukan dan pluralitas dalam berbagai hal: suku, budaya dan agama, hingga saat ini masih tetap mampu terjaga, tersatukan dengan baik di bawah simbol Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Walau kita juga tak dapat menafikan bahwa berbagai perbedaan dan kemajemukan tersebut menjadi salah satu faktor munculnya sejumlah konflik horizontal di negeri ini. Kemajemukan yang tumbuh subur di negeri ini, termasuk di dalamnya pluralitas agama, adalah sebuah realitas sosial yang harus kita terima. Berbagai perbedaan ini bila disikapi secara bijak dan penuh toleransi, maka ia bukan faktor yang melemahkan pilar kesatuan bangsa.

Tapi kemajemukan tersebut justru menjadi pilar penguat yang seharusnya mampu menyatukan berbagai elemen, dan merekatkan berbagai perbedaan menjadi sesuatu yang indah untuk dinikmati bersama. Piagam Madinah dengan jelas mengakomodir pluralitas agama. Kalaupun akhirnya muncul konflik, maka saya yakin bahwa bukan hanya perbedaan dan kemajemukan itu yang menjadi biang kerok. Tetapi ada variabel lain yang terlibat di dalamnya: ekonomi, pendidikan, kesenjangan sosial dan adanya orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari konflik yang tercipta.

Kasus terakhir di Bogor, yang menimpa Ahmadiyah, merupakan gambaran memilukan tercederainya hak asasi manusia sedemikian rupa, sehingga untuk beragamapun harus melukai dan menyakiti umat beragama lainnya. Mengapa umat beragama memicu timbulnya kekerasan dan tindakan anarkhis? Ini tentu harus diselesaikan secara elegan dan menjunjung tinggi kebebasan beragama bagi semua warga negara Indonesia. Pembicaraan dan musyawarah lanjutan harus diadakan secara humanis dengan tetap memberi kesempatan kelompok lain untuk mendirikan agama baru dengan keyakinannya sendiri.

Agama sejatinya adalah pendamai bukan penyulut anarkisme. Konsep agama madani adalah gagasan yang menyajikan nilai cinta kasih perdamaian kemanusiaan. Sudah saatnya kita mewujudkan nilai agama yang semestinya. Rekontruksi dan dekontruksi atas agama mesti menjadi perhatian utama. Keberagamaan di bumi nusantara yang beragam haruslah dihiasi dengan semangat toleran, memandang positif terhadap kemajemukan, multikulturalisme, dan pluralisme. Apabila ini terwujud, betapa agama akan menyatukan dan Bhinnekha Tunggal Ika sebagai ciri utama nusantara akan terejewantahkan dengan baik di bumi pertiwi Indonesia. []

*Mahasiswa FUPK IAIN Walisongo, Semarang


No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat