Labels

Monday 18 July 2011

Menengok Cerpen Sitor Situmorang


Judul : Ibu Pergi ke Surga
Penulis : Sitor Situmorang
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta
tahun : 1, 2011
tebal : xxii + 218 halaman
Harga : Rp45.000,-


Siapa Sitor itu? sebuah pertanyaan yang saya sematkan saat pertama kali melihat antologi cerpen berjudul "Ibu Pergi ke Surga" ini. Dalam kesusastraan kita, Sitor dikenal sebagai pegiat angkatan 45, semasa dengan nama-nama seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Asrul Sani. Ternyata diantara namanama yang lekat dalam sejarah sastra Nusantara itu. Sitor Situmorang menempati kedudukan yang istimewa, ia adalah seorang legenda.

Di Indonesia, pengalaman hidup Sitor Situmorang membentang mulai dari zaman revolusi hingga ke zaman reformasi. Selain menulis puisi, prosa, cerpen dan drama, sejak dekade 1950-an Sitor juga terlibat aktif dalam berbagai polemik kebudayaan, khususnya dalam perdebatan arah bentuk kebudayaan Indonesia. Kehidupan Sitor mengembara dari Harianboho, sebuah pelosok di Sumatera Utara, hingga pernah menjejak tapak di tanah Paris selama tiga tahun—salah satu menara kebudayaan Eropa—untuk kemudian kembali lagi ke tanah air. Diakui, bila perjalanannya ke eropa kala itu mendebarkan pengaruh kuat pada hasil karyanya dan dengan polesan budaya lokal dan Nusantara, tak pelak menjadikan cerpennya menjadi khas.

Kini, di tengah usia yang menanjak semakin menua, 87 tahun, Sitor masih sanggup berdiri tegak dan memberi sambutan sekaligus membaca sajak berjudul Membalas Surat Bapak yang membuka antologi cerpen berjumlah 23 buah judul yang dihasilkan dalam dekade tahun 1950 hingga 1981 ini. Cerpen awal berjudul Ibu Pergi ke Surga yang dianggap masterpiece berkisah tentang seorang lelaki Batak yang harus kembali ke kampung halaman demi melihat ibu yang sudah di ambang kematian. Di dalamnya ada suguhan kisah rindu yang muncul melalui memori masa lalu tokoh berpadu dengan konflik antara tokoh lelaki danayahnya yang masih menganut kepercayaan pada dewa-dewa dengan pendeta.

Sekaligus diimbuhi pertentangan gagasan yang diam-diam terjadi antara tokoh lelaki dan pendeta. Hingga memuncak pada momen kematian ibu di malam Natal yang tak menghadirkan airmata. Ibu Pergi ke Surga menghadirkan kematian yang dingin dan sedih. Dilanjutkan dengan cerpen Kasim, lewat penulisannya yang datar, saya menangkap kewibawaan tokoh yang dipandang jauh namun dekat dengan kearifan masyarakat sekitar. Isinya kompleks sebagai wujud eksistensi yang tereduksi dalam balutan singkat sekitar 7 ribuan karakter.

Sitor dalam kuantitas mungkin sulit disematkan sebagai seorang cerpenis mengingat jumlah karyanya yang hanya 23 buah. Namun, menafikan itu, substansi dan kredo karyanya amatlah berkualitas beda
hingga menjadi santapan eropa mengenal budaya Nusantara yang dibawanya. Ini tercermin lewat judul penutup yang secara tegas menawarkan panorama dan sepak terjang haluan dan keindahan danau Toba dan penghuninya.

Digambarkan kesahajaan hidup, budaya lokal yang masih meninggikan arwah leluhur juga kontestasi alam yang merona. Ada siklus apik di awal, tatkala gelegar cerpen Sitor dirunutkan dengan latar
belakang dan waktu dimuatnya di media massa kala itu. Selebihnya, hadirnya buku berisi gelegar cerpencerpen ini bisa mengobati khasanah sastra yang apik ala Sitor yang tetap berkarya dengan impitas usia senjanya.
Selamat membaca.

*)Muhammad Bagus Irawan, pegiat Jepara Pena Club, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.

Dimuat di Analisisnews.com edisi Minggu 10 Juli 2011

http://analisisnews.com/analisis/resensi-buku/634-ibu-pergi-ke-surga


No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat