Labels

Saturday, 30 July 2011

Telaah Sistem Jaminan Sosial

Dilansir dari Majalah Gatra edisi 28 Juli - 03 Agustus 2011

Judul Buku     : Sistem Jaminan Sosial Nasional, Mewujudukan Amanat Konstitusi
Penulis          : Sulastomo
Penerbit        : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan        : Pertama, Juni 2011
Tebal           : xii + 148 halaman
ISBN            : 978-979-709-575-8

Secara garis besar, arah negara Indonesia sejatinya adalah negara kesejahteraan yang lupa jati diri. Negara ini berdiri dengan gagasan visioner para pendiri bangsa yang merekomendasikan secara tegas titik sejahtera  bagi seluruh bangsa. Buktinya, dalam alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945, tertulis “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Selain penegasan negara kesejahteraan juga ditunjukkan dengan pembentukan pasal tentang perekonomian dan tentang kesejahteraan dalam bab XIV, masing-masing; Pasal 33 dan Pasal 33 Ayat 1.

Persoalannya, bagaimana amanat itu bisa terimplementasi baik. Praktis, dalam sejarah Indonesia selama ini, praksisi ke arah negara kesejahteraan itu dimulai pada tahun 1968, berdasarkan SK Presiden No. 230/1968, lantas diberlakukan penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi pegawai negeri dan penerima pensiun dan hari tua. Dan untuk menjembataninya, didirikanlah PT Taspen bagi PNS, PT Asabri bagi TNI/ Polri, dan PT Jamsostek bagi pegawai swasta. Namun sampai dewasa ini, neraca pengelolaan jaminan sosial pekerja masih nampak tak jelas dan simpang siur. Ada intriks, ketika sebagian besar jaminan bagi PNS menjadi beban APBN, sementara jaminan pekerja swasta tak terpenuhi karena pemberi kerja tak kuasa memberikannya. Dalam catatatn Sulastomo, praktis hanya sekitar 20 persen dari 230 juta penduduk Indonesia yang mampu merasakan jaminan sosial. Buku berjudul “Sistem Jaminan Sosial Nasional, Mewujudukan Amanat Konstitusi” ini mencoba menelaah dan mengkritisi secara mendalam ihwal agenda penetapan dan perwujudan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Mengingat, dalam sejarahnya masih terkendala salah urus dan belum menyentuh seluruh penjaminan kesejahteraan bangsa seperti amanat konstitusi. Ikhtiar penulisan Sulastomo, tersentuh dengan bagaimana ia menelurkan gagasan dan pengalamannya menghadapi problem dalam pelaksanaan SJSN, selain ada sisi nasihat dan harapan agar Tim SJSN bersikap arif dan adil. Dalam buku ini, Sulastomo menyajikan nilai ungkap yang masih sebatas opini. Ada ulasan mendalam tentang; bagaimana perwujudan Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), hingga jaminan Kematian (JK).

Kemudian, adalah UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN, sebagai bentuk perlindungan sosial yang menjamin agar setiap peserta dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup minimal yang laik menuju terwujudnya kesejahteraan sosial yang berkeadilan bagi seluruh rakyat. Kini, pemerintah dan DPR telah sepakat menggodok kembali UU SJSN itu, namun ada keterkatungan ihwal tarik ulur penghapusan empat bab dan 30 Pasal dalam daftar inventarisasi masalah, ini terkait selubung ekonomi-politik dari pelbagai kepentingan. Maka dibentuklah pansus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang ujungnya juga merevisi UU BPJS juga. Terkait ini Jusuf Kalla saat SJSN digodok menjabat Menko Kesra ikut menyarankan agar sembilan prinsip tetap dipertahankan, yakni; kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan status kedudukannya badan hukum publik berbentuk wali amanah bukan BUMN. (hlm. IX)

Pansus RUU BPJS bersandar Hak Inisiatif DPR (2009-2014) memiliki program kerja 47 hari, tanggal 9 Mei- 15 Juli 2011. Dalam buku ini, Sulastomo, yang pernah menjadi ketua tim SJSN, menjabarkan ada inisiatif lain BPJS untuk melebur empat BUMN tadi. Secara ekonomi, hal itu akan menimbulkan konsekuensi ekonomi-politik. Penggabungan ini akan menimbulkan rush atau pencairan dana Jamsostek dalam jumlah besar. Demikian pula dengan program Jaminan Hari Tua (JHT) yang memiliki banyak nasabah. Dalam tataran kebijakan praktis, BPJS bermaksud menyediakan perlindungan sosial, mencakup bantuan sosial atau jaminan sosial serta asuransi sosial secara universal bagi seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, secara konseptual, penggabungan tersebut tidak berakar pada filosofi perlindungan sosial yang sebenarnya.

Selanjutnya, konsep perlindungan sosial, jaminan sosial, atau bantuan sosial adalah bentuk perlindungan kesejahteraan sosial bagi kelompok paling rentan yang tidak memiliki penghasilan layak. Negara wajib menyediakan perlindungan sosial terhadap kelompok ini. Sedangkan asuransi sosial adalah jenis perlindungan yang diberikan melalui kepesertaan dengan membayar premi tertentu. Jika dua konsep ini digabung, akan menimbulkan kerancuan, baik pada jenis layanan sosial yang diberikan maupun hak-hak dari peserta BPJS. Bahkan, ada slentingan dibukanya kesempatan investasi asing dalam SJSN, malah akan menjabarkan keterbingungan nilai penjaminan itu sendiri. Sekali lagi, menyiapkan jaminan sosial bagi rakyat merupakan tanggung jawab negara. Maka dari sana, dituntut keseriusan dan tanggung jawab atas pengelolaannya. Seluruh bangsa pasti berharap dengan tercapainya amanat perwujudan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga.

Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, peneliti Idea Studies IAIN Walisongo, Semarang.

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat