Labels

Saturday, 17 December 2011

Teori Indonesia Maju

Dilansir dari Opini Jurnal Nasional edisi 7 Oktober 2011

http://www.jurnas.com/halaman/10/2011-10-07/184647

INDONESIA dengan segala kekayaan dan potensi yang dimilikinya bisa dirasakan sedang tak berkutik dengan segala problem multidimensi yang mencengkeramnya saat ini. Akibatnya, ia bagai kapal limbung bocor di sana-sini, yang seolah mau tenggelam saja, tak mampu melaju dan berlomba dengan kapal lain di tengah alam persaingan globalisasi bangsa-bangsa di dunia.
Secara historis, posisi tawar Indonesia memang menjadi obyek harta karun yang kaya. Wajar ia sempat menjadi ranah jajahan primadona selama berabad-abad oleh Portugis, Inggris, Belanda hingga Jepang. Bahkan hingga sekarang kita juga masih terjajah dengan kepemilikan asing terhadap aset-aset vital pertambangan, transportasi, energi listrik, sirkulasi air, dan lainnya. Pengerukan sumber daya alam Indonesia sampai sekarang tak berbuah manis bagi pencapaian kemakmuran bangsa sendiri, namun hanya menguntungkan negara lain. Siapa yang bodoh?

Ironisnya, semua itu didukung kebijakan para elite sekarang, yang seakan membentuk kerangka perbanditan perpolitikan negeri (Bandit-bandit Demokrasi, 2011) yang telah mengeruk kepingan pribadi dengan mengekor dan mengolah kebijakan yang menguntungkan asing, dan merugikan bangsa secara semena-mena. Contoh, bagaimana pemerintah kita masih saja menandatangani kontrak dengan menyerahkan gunung emas di Papua kepada PT Freeport milik Amerika Serikat dengan hasil pembagian yang amat merugikan kita.
Selain kebijakan impor yang tak terkendali dan tak terawasi, hingga menghancurkan produksi dalam negeri, kebijakan ekspor bahan baku dasar juga terus dibiarkan, tanpa ada rembuk terlebih dahulu. Bila saja bahan baku itu diolah lebih lanjut di dalam negeri, tentu akan bernilai jauh lebih tinggi dan bisa menciptakan lapangan pekerjaan luas, guna mengurangi problem pengangguran.
 
Filsafat Politik
Saya menaksir bila keadaan genting dan runyam ini terus berlangsung sampai beberapa tahun lagi, negara-bangsa yang diproklamasikan Soekarno-Hatta ini akan hancur karena keadaannya yang tak kunjung membaik demi kemaslahatan seluruh rakyat, terutama kalangan menengah ke bawah. Mereka mengeluh karena semakin tertindas situasi dan kondisi serba kesulitan mendapat hak-hak prinsip; sulit mendapat akses pekerjaan yang layak, sulit mendapat akses pendidikan murah, sulit mendapat layanan kesehatan murah, sulit mendapat layanan hukum yang adil, sulit menerima keadaan rakus para elite bangsa, karena laku kotor dan wajah bopengnya.

Bahkan dalam analisis student.com, dari 800 koresponden anak didik Indonesia ada capaian signifikan sebesar 78 persen, anak didik usia menengah tengah acuh tak acuh dengan kejujuran pendidikannya. Sebuah ironi yang nyata bila pendidikan kita juga di ambang krisis nilai kejujuran. Wajar, contoh menyontek massal kasus Siami hanya menjadi kasus gunung es. Secara nyata, prosesi ketidakjujuran para anak bangsa ini terjadi karena mendapat asupan media yang memberitakan korupsi para petinggi negara dan daerah yang seolah tak bisa berhenti. Karena, ada kongkalikong dengan penegak hukum.
Dalam buku Filsafat Politik (Henry J Schmandt) dijelaskan, fakta dan pakta sejarah pemikiran politik filsafat Yunani adalah terbentuknya negara-bangsa yang berporos pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dan inilah dambaan bangsa Indonesia sekarang, untuk mendapat dan merasakan kemakmuran dan kesejahteraan hidup, dengan akses kemudahan mendapat hak prinsip tadi.
Kaidah filsafat Islam juga menekankan hal itu: Negara Madinah yang digagas Nabi Muhammad bermuara pada kesejahteraan rakyat dan pemenuhan pelaksanaan HAM. Pantas bila Negara Nabi itu mendapat apresiasi tinggi, sebab sistem kala itu sebelumnya hanya menguntungkan kaum feodal belaka.
 
Asas Kerja
Sebenarnya tak muluk-muluk, bangsa kita yang rapuh ini ingin melihat asas kerja pejabat negara bisa berlaku jujur dan mau bergerak demi kepentingan bangsa menyeluruh. Semua berharap begitu. Selain juga ada konsolidasi mitigasi, semangat demokrasi, dan asas peningkatan mutu, dan kriteria manfaat yang perlu dibangun dan digerakkan sekarang juga.
Negarawan sejati haruslah beranjak dari nilai-nilai yang baik dan orisinal sebagai cermin kepribadiannya. Bukan berasas pada belenggu partai yang bertendensi pada pengeluaran dana politikus, demi termin pemilih. Saya rasa, undang-undang kepartaian harus dirombak sesegera mungkin, karena selama ini sistem partai politik dan pemilu
yang dilaksanakan hanya berkesan dengan kemenangan money politics semata. Sebab, kaidah baik pemilu adalah mencari figur-figur yang baik pula. Secara logis, bila alatnya buruk, dan dijalankan dengan buruk pula, hasilnya juga akan buruk.
Lihat saja, bagaimana hasil pemilu kita selama ini: kepala daerah banyak yang mementingkan golongannya, bahkan tersandung korupsi. Maka, dari titik tolak itu, perundang-undangan pemilu dan sistem partai harus dikaji lagi, agar tak ada keganjilan yang terus membudaya. Rakyat tak butuh dana suap dan janji manis partai di muka. Yang dibutuhkan adalah gerak nyata dan realisasi janji ke arah pemakmuran rakyat.

Indonesia Maju
Indonesia maju dalam pemikiran saya haruslah mengubah epistem dasar pemikiran. Sifat dan raga seluruh bangsa mulai saat ini harus berbenah dan berinstropeksi menjadi seorang entrepreneurship. Istilah ini bermakna luas, bukan pada ekonomi belaka, melainkan mewujud dalam arti keberadaan manusia yang sadar dan peduli, jujur, mampu berdiri sendiri, berinovasi, cerdas, teliti, beretika, cinta damai, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi HAM. Sebab, asal kata entrepreneur dilandasi motivasi diri sendiri. “Semua bisa kita kerjakan bila kita mau dan bergerak", mulai saat ini, dan dari hal yang terkecil. n

Peneliti pada Pusat Kajian Masalah Sosial dan Politik Idea Studies IAIN Walisongo, Semarang

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat