Labels

Monday 18 July 2011

Bukan Bencana Biasa

Dilansir dari Perada Koran Jakarta edisi 24 Juni 2011

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/65229
http://www.issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_1074_-_24_juni_2011

Judul : Bencana Mengancam Indonesia
Editor : Irwan Suhanda
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : 1, April 2011
Tebal : xviii 250 halaman
Harga : Rp50.000

Bencana selalu menampilkan kompilasi yang tidak menyenangkan. Di sana ada bayang duka, kesedihan, kehilangan, dan sederet kerugian bagi siapa saja yang tertimpa. Bencana juga menawarkan pergulatan bagi manusia. Darinya, pantas bila manusia selalu mencoba meraba, mengamati, dan mengajinya menjadi suatu kerangka siklus kultural yang bisa dihindari dan diwaspadai kedatangannya.

Namun, ketika murka bencana sudah tak terbendung lagi, alam pun menerima menjadi bias kepasrahan. Keadaan ini memang sudah menjadi keniscayaan dari Tuhan, seperti pesan yang termaktub dalam QS Al-Baqarah 155.

Menilik keadaan negeri Indonesia, sejatinya secara geografis Nusantara terletak di lembah cincin api yang rawan bencana. Tak heran bila dalam National Geographic Volcano 2010 dinyatakan, "Di Pulau Jawa saja, 120 juta orang tinggal di dalam bayang-bayang lebih dari 30 gunung berapi." Sungguh miris hidup di alam Indonesia yang juga terkenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi.

Buku berjudul Bencana Mengancam Indonesia ini hadir bukan untuk menakut-nakuti bangsa Indonesia, namun menjadi kompas yang memandu kita agar lebih peka terhadap kedatangan setiap bencana. Dari buku ini, kita diajak lebih siap menyikapi bencana yang mengancam Indonesia.

Sisi penulisan buku ini menarik. Ini merupakan hasil antologi laporan khusus wartawan Harian Umum Kompas. Memang buku ini sengaja dihadirkan sebagai wujud keprihatinan dan kegelisahan. Ibaratnya, setiap inci Indonesia menawarkan daya magnetis terhadap bencana. Darinya, bencana dibagi menjadi dua ranah besar: bencana alam dan bencana ulah manusia.
Sebagai gambaran, kita pasti masih ingat dengan bencana alam semisal tsunami Aceh, gempa Yogyakarta, dan meletusnya Gunung Krakatau, yang menelan jutaan nyawa manusia dan meluluhlantakkan alam sekitar.

Juga, bencana ulah manusia, seperti maraknya korupsi dan bopengnya wajah hukum. Sisi lain bencana juga dilihat dari dua dunia: antara bencana nyata dan maya. Bila bencana nyata merusak fisik manusia dan alam, bencana maya begitu merusak sisi dalam manusia. Moral, rasa, sifat, dan perilaku manusia yang tersulut pengaruh gesekan ekologi internet.

Di bagian pembuka, lewat tulisan "Dalam Keniscayaan Daulat Alam", Ninok menjelaskan betapa daulat alam menjadi neraca keberadaan bencana. Untuk mengantisipasinya memang perlu perasaan tanggap bencana kapan dan di mana saja. Laku ini diimplementasikan dengan rasa solidaritas hidup berkesinambungan ketika bersanding dengan alam lingkungan. Alam dan manusia sejatinya diciptakan untuk saling menjaga, dan inilah yang perlu menjadi orientasi sikap manusia sekarang yang seakan-akan lupa, rakus, dan tega menghabisi adanya alam.

Selanjutnya diterangkan upaya mitigasi bencana alam kita yang hanya sampai sebatas wacana dan orientasi tanpa praksis menyeluruh dan nyata. Tampaknya inilah yang menjadi problem budaya yang acap menimbulkan bencana lagi.

Beranjak pada bencana ulah manusia, kita memang sudah sadar bila meledaknya penduduk Nusantara juga menjadi bencana manusia yang perlu diatasi. Selain memang laku kotor para manusia itu yang sadar merusak dan merugikan alam dan
manusia lain. Walau buku ini identik dengan elaborasi bencana, ada sebutir cahaya yang melegakan dalam bab "Metropolitan, Olahraga", yakni masih adanya optimisme perubahan yang lebih baik dalam prestasi olah raga kita (halaman 204).

Akhirnya, buku ini sengaja menyoroti posisi Indonesia yang diselimuti bencana. Harapannya, rakyat waspada dan bersabar dalam hal ini.

Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, mahasiswa FUPK IAIN Walisongo Semarang

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat