Dilansir dari PERADA Koran Jakarta edisi 20 Juni 2011
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/64900
http://www.issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_1070_-_20_juni_2011
Judul Buku : Semar Mesem
Penulis : R Toto Sugiharto
Penerbit : Diva Press, Yogyakarta
Tahun : 1, Mei 2011
Tebal : 396 halaman
Harga : Rp55.000
Mendengar kata Semar, nalar kita pasti tertarik kedalam dunia pewayangan punakawan yang terdiri juga dari Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun, posisi Semar dalam riwayat kuno Jawa ini adalah sebagai sesepuh yang bertuah, manusia setengah dewa penjelmaan Sang Hyang Ismaya. Semar sendiri berasal dari kata tan samar, artinya tidak tertutupi oleh tabir. Di sisi lain, Semar juga merupakan lambang dari penjaga kedamaian dan keadilan kehidupan manusia di dunia. Bila dirunut jauh, Semar menjadi entitas kuno khas Nusantara, ia menjadi tokoh imajinasi yang melangit sebelum datangnya agama-agama di Indonesia; Hindu, Budha, Islam dan Kristen. Praktis tokoh Semar mengandung nilai filosofi tinggi dalam alam ide murni bangsa Indonesia.
Cerita dimulai, Domisilinya di Karang Kadempel, Karang berarti gersang dan Dempel yang berarti keteguhan hati dan jiwa menggambarkan betapa Semar memang sarat dengan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi karakter manusia pada umumnya juga. Ini ini terbukti tatkala Jonggring Saloka kayangan para dewa bergejolak, maka Semar turun tangan lewat Semar Mbangun Kayangan (Semar membangun Kayangan). Begitu muncul ketidakadilan dan ketidakbenaran sistem, maka Semar pun tergerak dalam Semar Gugat (Semar Menggugat), dan masih banyak lagi.
Buku berjudul “Semar Mesem” ini adalah novel yang penuh gairah. Di dalamnya diceritakan Semar sebagai pemimpin yang tegar, benar, dan bersahaja. Semar adalah sosok yang nyata dan tidak nyata. Ada dalam tiada, tiada tetapi ada, dan laik sebagai panutan—suri tauladan dengan segala budi dan laku baiknya. Walau pembaca akan kerap menuai guyonan yang menggelitik, namun sisi penulisan novel ini tak lain ingin menggugah pembaca mendalami nilai filosofi kepemimpinan Semar yang apik. Khazanah legendaris jawa, menjadi suguhan yang kental dalam alur tulis novel ini, darinya memang dihadirkan sebagai bahan ajaran legacy kearifan local sebagai penggugah moral.
Diceritakan Semar yang keberadaannya memang dimaksudkan untuk menjaga ketentraman di muka bumi (memayu hayuning bawana) dan ketentraman antar sesama umat manusia (memayu hayuning sasama) tak pelak adalah modus dinilai mengemban titah yang berat. Namun, Semar tak gentar dengan titah ini—atau makhluk, di sini Semar mengemban amanat untuk ngawula (mengabdi) berupa dharma atau amalan baik kepada bendara alias juragan bin majikan, juga kepada bangsa dan negara. Yang menarik pada sebagian masyarakat Jawa masih menganggap Semar merupakan sosok filosofis yang diyakini menjadi pamong para kesatria agung. Siapapun tokoh yang berdekatan dengan Semar dan dari mana ia berasal akan merasa tentram dan ujung-ujungnya mengalami pencerahan. Bapak dari tokoh punakawan Gareng, Petruk, dan Bagong ini seolah tidak pernah mengenal kata sedih. Bicaranya spontan tetapi mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur. Sehingga orang yang sedih menjadi gembira, mereka yang susah bisa tertawa. Itulah Semar yang mengawal kebenaran dan hati nurani pandawa sebagai representasi tokoh dunia putih.
Ikhtiar jernih buku ini adalah menggiring moralitas bangsa agar menemukan sifat idealitas pemimpin. Di mana, kita sadar bila bangsa kini telah mengalami krisis kepemimpinan yang hebat. Pemimpin sekarang banyak yang lupa dengan nilai dasar pemimpin, malahan mereka dengan sengaja memanfaatkan kepemimpinannya untuk mengeruk keuntungan pribadi yang begitu hina. Tentu, keadaan seperti ini sangat mengerikan. Dan Novel “Semar Mendem” menjadi pengingat ihwal kelupaan bangsa akan sisi idealitas pemimpin yang sebenarnya, nilai itu terwakili oleh sifat dan laku juang Semar yang berbudi. Sekian.
Muhammad Bagus Irawan, aktivis Idea Studies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
No comments:
Post a Comment
Silahkan Berpendapat