Labels

Saturday, 28 January 2012

Tionghoa dalam Rambu Stigma Nusantara

Dimuat di Harian Pelita edisi 28 Januari 2012

http://www.pelitaonline.com/read-cetak/14819/tionghoa-dalam-rambu-stigma-nusantara/

Judul : Mereka Bilang Aku China
Penulis : Dewi Anggraeni
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 1, Oktober 2010
Tebal : xvi + 286 halaman

BERBICARA ihwal imaji Tionghoa di Indonesia, secara figuratif mereka telah masuk dalam kerangka stigma panas dari bilik kebangsaan Nusantara. Bahkan, nasib mereka seolah identik hanya sebagai “target empuk” di setiap krisis ekonomi yang melanda perekonomian negeri, mereka dijadikan sasaran luapan nafsu amarah bangsa. Menilik histori, dalam tragedi Batavia 1740, terjadi peristiwa getir pembantaian dan pengusiran etnik China itu dari Batavia, setidaknya ada 20.000 orang Tionghoa menjadi korban (jelas terungkap dalam potret “Batavia 1740” Windoro Adi, GPU 2010).

Hingga masa transisi kemerdekaan, Tionghoa masih dianggap belum sepenuhnya menjadi bagian Indonesia, padahal peran serta mereka cukup besar mengantarkan negeri ini kedalam gerbang kemerdekaan. Bahkan, pada tragedi kekerasan September 1965 terjadi “hardikan dahsyat” pada Tionghoa yang termajinalkan dalam kerangka komunis, yang wajib dibantai. Kemudian pada masa Orde Baru, seolah sudah menjadi kelekatan kultural, bahwa sentimen etnik terus terdegradasi dalam setiap prosedur dan sistemik pemerintahan.

Nampak, bahwa buku ini cukup lugas memaparkan asam manis menjadi Tionghoa di Nusantara. Namun, ada kesan bahwa apa yang menjadi pesan penulis tidak sampai dengan hanya mengelaborasi kilas kehidupan yang serba singkat. Menjadi catatan, bila keberanian penulis menyelesaikan buku ini terkecap proporsional untuk berbagai lapisan kehidupan bangsa.

Dilanjutkan pada peristiwa tragik Mei 1998, yang tak ubahnya menjadikan etnik itu sebagai “kambing hitam” atas goncangan krisis yang melanda Indonesia. Tercatat media, dari sana, terjadi pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, pencurian, perampokan, perusakan, pembakaran yang “keterlaluan” ditujukan kepada etnik itu. Meskipun, ini tidak bisa lepas dari situasi dan kericuhan politik saat itu.

Nyatanya, tidak semua pribumi yang mencap negatif Tionghoa, bahkan banyak pribumi yang melindungi mereka dari luapan emosi yang brutal saat itu (hlm. 176).

Entah mengapa nasib buruk dan miring acap mengena etnik asal China itu. Barangkali pelajaran terbesar menjadi seorang keturunan etnik Tionghoa di Indonesia ialah tak bosan berusaha mematahkan stereotip yang keburu disematkan bangsa Nusantara, yakni sebagai insan-insan yang ketagihan mencari uang, tanpa menghiraukan apa atau siapapun di sekitarnya.

Padahal dalam sejarah, bila dirunut lebih dalam, sebagian besar khazanah keilmuan yang urgen dalam keberlangsungan tataran kehidupan; sosial, ekonomi, budaya, dan agama adalah berkat prosesi dan per-tautan yang dibawa Tionghoa dalam gelombang masuknya ke Nusantara sejak abad ke tujuh masehi. Tercatat, dalam setiap pelayaran yang dilakukan saudagar Tionghoa ke Indonesia kala itu selalu membawa para ahli dan cendekia dalam berbagai literatur keilmuan; teknik pertanian, pertukangan, tata politik dan sosial, agamawan (dari ajaran Konghucu sampai Islam yang dianut dinasti Ming), budayawan dan lainnya. Dan dari sana dipastikan adanya transmisi keilmuan Tionghoa bagi warga pribumi.

Namun, jasa-jasa itu tak lantas mengantarkan Tionghoa sebagai guru, Bahkan ada kesan dalam peribahasa “air susu dibalas air tuba”. Meski, kita pasca Mei 1998, ketika media lebih leluasa memberitakan tentang etnik Tionghoa, imaji masyarakat telanjur sulit bergeser pada stigma. Bahwa banyak orang Tionghoa yang tak cocok dengan stereotip itu, tidak terlalu terlihat.

Lantaran itu, Dewi Anggraeni terpanggil demi menulis buku berjudul Mereka Bilang Aku China: Jalan mendaki menjadi bagian bangsa ini. Sebagai seorang Tionghoa bernama asli Tan Soen May, ia tahu betul banyak celah yang luput dari perhatian. Buku yang terbagi kedalam empat bagian ini, digali dan mencoba mewacanakan fokusnya pada kaidah biografi individu-individu yang tersembunyi dan terejawantah kedalam kultur Nusantara yang tersebar di pelbagai daerah, dan lekat dengan konteks etnisitasnya.

Secara jernih, Dewi sengaja mewawancarai delapan perempuan keturunan etnik Tionghoa yang disini disebut protagonis, menitikberatkan pada pribadi dan kemanusiaannya. Yakni aktivis hak asasi manusia (HAM) Ester Indahyani Jusuf, penulis Linda Christanty, mantan atlet bulu tangkis Susi Susanti, Mariah Sundah, Sias Mawarni Saputra, saudari kembar Milani dan Milana Jo, sampai Jane Luyke Oey, janda mendiang tahanan politik era Orde Baru Oeng Hay Djoen yang menyokong Pramoedya Ananta Toer.

Buku dibuka dari kisah Ester Indahyani Jusuf, yang dikenal lewat gerak manusiawinya. Walau ia sebagai etnik Tionghoa kerap mendapat perlakuan beda dalam imaji masyarakat, namun ia tetap gigih memperjuangkan terselenggaranya penegakan HAM bagi masyarakat, dengan mendirikan lembaga Solidaritas Nusa Bangsa (hlm. 15).

Kemudian dikisahkan ihwal perjuangan Susi Susanti dalam rambu stigma. Bagaimana Anda membayangkan perasaan Susi Susanti ketika pecah kerusuhan Mei 1998 yang menjadikan etnik Tionghoa sebagai sasaran?

Padahal saat itu ia tengah berada di Hong Kong untuk pertandingan Uber Cup. “…Dia di sini semacam ‘duta besar’ untuk Indonesia. Sementara di Indonesia sendiri, keluarganya dijadikan sasaran karena mereka keturunan Tionghoa dan rasa nasionalisme mereka dipertanyakan. Apakah orang tahu bahwa nasionalisme yang non-Tionghoa selalu padat dan tak dapat diragukan. Apakah orang dapat mengetahui kapasitas sentimen seseorang tentang isu-isu tertentu hanya dengan menyorot etnisitasnya…?”(hlm. 117)

Selanjutnya melukiskan kehidupan Maria Sundah, dalam keluarga multietnis, yang pembaurannya mulus. Namun, ambiansi politik kala itu telah tega melongok bagaimana subliminal mikrokosmis yang dihuni etnis Tionghoa menjadi bagian berbeda dari bangsa. Hal-hal semacam inilah yang tergambar dalam buku Dewi. Sebagai tukang cerita yang baik–ia menulis fiksi dan nonfiksi–, Dewi menuturkan hasil wawancara dengan gamblang, jelas, dan menyentuh persoalan mendasar.

Walau begitu, masih ada cerita lain dari tokoh protagonis Dewi, yakni dari kisah Meylani dan Milana Jo pada bab terakhir. Kendati masing-masing punya cerita tersendiri, keduanya membawa pesan bahwa letak geografis juga berpengaruh dalam pandangan stigma miring Tionghoa. Kehidupan mereka yang sedari dini berada di Papua, benar-benar menempatkannya jauh dari anggapan negatif. Dapat terbaca, bila lanskap skeptisisme yang rumit, menjauhkan tuduhan stigma.

Bagi saya, buku ini fokusnya jelas. Namun secara tematik dan struktural, buku ini masih terlihat menohok bagi pembacaan awam. Dewi tidak tergoda bercerita kesana kemari meski persoalan etnik Tionghoa sangat kompleks. Dari buku ini kita bisa meneropong rumitnya menjadi Tionghoa di Indonesia. Sekaligus, kita diajak berpikir terbuka melihat realita akan jawatan nilai sosio-kultural Tionghoa, yang terekam lewat tokoh protagonis. Selamat membaca.

Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, aktivis Idea Studies IAIN Walisongo Semarang

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat