Labels

Monday 2 January 2012

Mengurai Catatan Konflik Akhir Tahun

Opini ini dimuat di Harian Pelita edisi 2 Januari 2012

Oleh Muhammad Bagus Irawan*

Banyak catatan konflik yang terukir menjelang penutupan rapor 2011. Setidaknya, ada tiga konflik berdarah yang terjadi di Papua, Mesuji, dan Bima, telah mendedahkan gejala gunung es konflik yang tak kunjung usai. Bila menilik tragedi di atas, sayang memang, tak ada indikator dan solusi jelas yang mampu meredam letupan konflik itu. Tak pelak, drama horor yang tersaji selalu menampilkan kegalauan dan simpati semata. Tanpa adanya penyelesaian tuntas.

Pertama, konflik yang terjadi di tanah Papua. Tanggal 10 Oktober 2011 terjadi pembubaran demo buruh di Timika yang menuntut kenaikan gaji. Akibatnya memakan seorang korban tewas dan puluhan luka-luka. Sejatinya, konflik Papua bisa dikatakan sangat kompleks, karena tersulut indikator politik, ras dan budaya, kelas sosial dan lainnya. Semuanya bermuara pada trigger (letupan konflik) berdirinya PT Freeport Indonesia di Timika 1967. Dalam sejarahnya, tercatat ihwal konflik Papua yang terjadi di sekitar lahan PT Freeport. Bisa disimpulkan bila, konflik warga Papua selalu terjadi akibat rasa kekecewaan terhadap pemerintah dan PT. Freeport.

Mengapa rakyat Papua begitu kecewa dan benci terhadap kehadiran Freeport? Dalam catatan Thomas Koten (2011), merujuk pada para tokoh adat Papua, Freeport bukan hanya “kawin" dengan kakaknya, tetapi juga dengan adiknya. Artinya, dengan begitu rakusnya Freeport tak hanya menggali dan menguras endapan emas pada sebuah gunung, namun juga gunung lainnya.

Akibatnya, tak lain berbuah kerusakan alam yang parah. Contohnya, munculnya lubang raksasa sedalam 700 meter lebih pada gunung “kakak”(Yet Segel Ongop Segel). Padahal dalam adat, gunung ini dikiaskan sebagai gunung keramat bagi Suku Amungme. Tak hanya itu, tiga sungai utama di wilayah Mimika, yakni Sungai Aghawagon, Sungai Otomona, dan Sungai Ajkwapan kini telah tercemar limbah kimiawi beracun dan tak lagi bisa dipergunakan bebas. Tragisnya, apa yang dibayarkan PT Freeport terhadap warga Papua sangat tak sebanding dengan kerugian besar yang dialaminya. Selain, pemerintah pusat juga tak bisa berbuat apa-apa. Walhasil endapan panas emosilah yang akan terus meletup-letup.

Kedua, konflik berdarah Mesuji. Kasus ini sebenarnya sudah lama namun tak tuntas. Hingga mencuat kembali setelah lembaga adat Megoupak melaporkan kasus ini ke Komisi III DPR dengan bukti rekaman video amatir yang memuat gambar pemenggalan kepala. Dengan harapan, agar membangkitkan nurani wakil rakyat segera menyelesaikan kasus sengketa agraria di kawasan Register 45 itu.

Sejatinya, kawasan Register 45 ditetapkan sebagai hutan kawasan negara (HKN) berdasar Keputusan Menteri Kehutanan No.785/Kpts-II/1993 tanggal 22 November 1993 tentang Penetapan Kawasan Hutan Produksi Register 45. Ketetapan itu kemudian diperkuat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 416/kpts-II/1999 serta Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000. Kawasan seluas 43.100 hektare (ha) yang terdapat di Kabupaten Mesuji ini secara formal diperuntukkan sebagai areal hutan dengan konsep hutan produksi tanaman industri (HPTI). Ini ditegaskan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 93/Kpts-II/1997 tanggal 17 Februari 1997 tentang Penetapan Pemberian HPHTI kepada PT SIL.

Bila ditelisik lebih jauh, sesuai catatan JPPN (2011), sejak 1997 di kawasan yang dinamai register 45 tersebut memang acap timbul bentrok antara warga dan pengelola lahan PT Silva Inhutani. Kericuhan selalu timbul karena upaya penggusuran terhadap warga yang menduduki daerah tersebut. Di hutan negara itu, memang ada ribuan penduduk yang mendiami sejumlah titik. Mereka membentuk perkampungan sendiri-sendiri. Antara lain, Pelitajaya, Karya Jaya, Moro-Moro, Tanjung Harapan, Stajim, Umbul Patuk, Palirik, Tugu Roda, Suko Agung, Umbul Alang, dan Talang Gunung. Total, ada sekitar 12 ribu KK yang mendiami kampung-kampung itu. Permasalahannya, seluruh kampung tersebut dianggap ilegal oleh PT Silva Inhutani maupun Pemkab Mesuji, kecuali Talang Gunung yang memang dihuni warga asli.
Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, setiap orang dilarang mengerjakan, menggunakan, atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, termasuk merambah hutan. Inilah yang menjadi dasar Tim Kerja Perlindungan Hutan Provinsi Lampung yang dibentuk gubernur Lampung melalui SK No. G/354/III.16/HK/2010 sejak awal bulan November bergerak. Di sinilah perlu ada fokus jelas dari pemerintah ihwal nasib para penduduk yang terancam haknya.

Ketiga, konflik agraria di Bima, Nusa Tenggara Barat. Secara kronologis, konflik pecah pada 24 Desember lalu, bentrokan antara polisi dan para pengunjuk rasa tak terhindarkan dan merenggut korban. Para pengunjuk rasa dibubarkan secara paksa setelah beberapa hari melakukan aksi menuntut pemerintah daerah membatalkan izin pengelolaan tambang yang baru dikeluarkan karena khawatir akan merusak lingkungan dan berdampak negatif terhadap mata pencaharian mereka. Seperti kasus lainnya, lagi-lagi lemahnya kebijakan pemerintah memihak rakyat menjadi selubung pemicu konflik.
Senada dengan perkataan Irwandi Arief, ahli pertambangan ITB. Bila bentrok serupa sudah sering terjadi, dan seluruhnya dimulai dari ketidaktanggapan pemerintah terhadap kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam usaha tambang. Di sini, ada indikasi besar ihwal bolongnya sistem operasi stakeholder. Dari konflik agraria yang muncul, adalah buah kebrobrokan birokrat yang melakoni tindak KKN. Sekali lagi, akibat KKN rakyat merana dan berkonflik. Bila kondisi ini tak segera ditanggapi, tak ayal konflik lainnya akan meledak seketika.

Resolusi Konflik
Secara substansi, konflik selalu tegak lurus dengan trigger yang muncul. Konflik bermula dari kata kerja Latin configere yang artinya saling memukul. Secara sosiologis, konflik dimaknai sebagai dinamika sosial antara dua orang atau lebih (kelompok) dimana salah satu atau kedua kubu berusaha menyingkirkan kubu lain dengan menghancurkan atau membuatnya tak berdaya. Konflik menyebabkan keadaan genting dan galau, baik dari pihak yang bertikai juga masyarakat sekitarnya. Bagaimanapun, konflik ini butuh penanganan agar bisa rampung dan damai. Salah satunya adalah resolusi konflik.

Adapun, upaya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Tim Nasional Penyelesaian Konflik Agraria patut diacungi jempol. Upaya itu guna menindaklanjuti maraknya konflik yang bersumber pada pertanahan yang terjadi di Indonesia. Tentunya kita berharap penuh akan kinerja nyata tim itu, sebagai upaya resolusi konflik. Dan penulis memandang, bila konflik terjadi akibat penyelewengan terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sebagai substansi resolusi, perlu disandarkan harmonisasi sebagai bagian bangsa. Bahwa, sejatinya rakyat Indonesia memiliki hak yang sama mendapatkan keadilan dan kesejahteraan hidup. Darinya, harus dibingkai kuat dalam jiwa “Bhinneka Tunggal Ika”. Semoga.

*Penulis adalah peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat