Labels

Monday, 9 January 2012

Mengeja Dasar Agama

terbit di Harian Pelita edisi Sabtu 7 Januari 2012

http://www.pelitaonline.com/read-cetak/12920/mengeja-dasar-agama/

Judul : Seven Th eories of Religion
Penulis : Daniel L Pals
Penerbit : IRCiSoD
Tahun : I Oktober 2011
Tebal : 313 halaman
Harga : 55.000,-
ISBN : 9786029789089

AGAMA selalu menohok kajian keilmuan. Di mana agama tak melulu membutuhkan definisi untuk kelanggengannya. Agama eksis dalam sejarah manusia. Walaupun arti agama tak begitu diindahkan pemeluk dan pemuka agama. Agama seolah bertabur merah dengan kajian-kajian para ahli ilmu. Tentunya, agama akan dinilai berbeda lewat pandangan epistemologi dasarnya. Begitulah gagasan segar yang coba diurai penulis lewat buku magnum opus “Seven Theories of Religion” ini. Di dalamnya, Daniel L. Pals mengkaji dan mengetengahkan pemikiran tujuh tokoh sentral ihwal teori agama. Mereka adalah Karl Marx, Emile Durkheim, Sigmund Freud, EB Tylor dan JG Frazer, Mircea Eliade, EE Evans- Pritchard, serta Clifford Geertz. Di sini, agama dieja dari rumpun pemikiran primitif yang mendasar. Secara nalar, dalam sejarah manusia, agama selalu menjadi poros yang benar, walaupun tanpa bersentuhan dengan ilmu sekalipun.

Daniel L. Pals, mengelompokkan pendekatan teori agama ke dalam dua ranah, bersifat substantif dan rasional. Pertama, melalui pendekatan “menafsirkan” (interpretive) dan yang kedua melalui pendekatan “menjelaskan” (explanatory) (hal.13). Di mana para teoretisi condong menjelaskan agama dalam bingkai intelektual, dalam batasan ide-ide yang mendorong, menggerakkan, dan mengilhami manusia. Mereka menekankan niat manusia yang sadar, emosi dan agensi. Walaupun, mereka mengatakan bahwa orang bersifat religius, karena pemikiran yang dianggap benar dan bernilai. Ritual agama harus diejawantahkan dalam ranah kehidupan mereka. Para teoretisi yang menekankan peran pemikiran dan perasaan manusia ini menganggap bahwa agama adalah tentang sesuatu yang “memiliki makna” bagi kehidupan manusia. Pendekatan ini dianggap lebih bersifat “menafsirkan” (interpretive) ketimbang “menjelaskan” (explanatory). Sisi lain penjelasan tak jauh dari akal dan sifat kebendaan, dan agama berproses dari kedua unsur itu.

Sebaliknya, para teoretisi fungsional sangat tidak setuju dengan pendekatan yang bersifat substantif. Mereka menganggap bahwa “penjelasan” juga absah untuk menjelaskan manusia. Para teoretisi fungsional berusaha melihat ke bawah atau dibalik pemikiran yang sadar dari orang yang religius untuk menemukan sesuatu yang lebih dalam dan tersembunyi. Mereka berpendapat bahwa ada struktur sosial yang pokok atau penderitaan psikologis tanpa perhatian yang akar tingkah laku agama yang ses-ugguhnya. Apakah akar-akar tersebut bersifat sosial, individual, atau bahkan biologis, kekuatan -kekuatan yang memaksa ini - dan bukan ide-ide yang oleh orang beragama sendiri dianggap mengatur tindakan mereka - merupakan sebab agama yang sesungguhnya dimanapun kita dapat menemukannya. Kita akan dapat menelusuri perbedaaan antara penjelas (explainers) dengan penafsir (interpreters).

Kemudian Daniel L Pals juga menglasifikasikan pemikiran tokoh dalam kategori tertentu, semisal Karl Marx, Emile Durkheim, dan Sigmund Freud, yang dimasukkan ke dalam teori reduksionis, yakni teori yang menempatkan agama sebagai buaian konstruksi nilai yang menjiwai kehidupan masyarakat sehingga agama bisa saja tergantikan oleh kepentingan transenden lain. Walaupun begitu, tiap tokoh sudah pasti memiliki ciri khasnya yang unik. Misalnya, teori Karl Marx menuduh motif agama erat den-gan ikatan psikologi dan ekonomi. Agama adalah kepentingan terselubung, bak candu yang membius kesadaran manusia.

Dikontekskan dengan Indonesia, pengejaan agama, patut disarikan lewat kultur dan ritual khusus. Semisal, pemeluk Islam sebagai agama terbesar Indonesia, memiliki ritual agama dan ciri khas yang unik yang tak dapat ditemukan di Negara lain, semisal Arab. Sisi ini menunjukkan kelenturan agama berujung pada hakikat sosio-kultur pemeluk. Di mana, agama disesuaikan dengan kapabilitas manusia yang iman. Alhasil, kesucian agama tak akan ternoda oleh tindakan penganutnya. Selanjutnya, peristilahan agama menurut Durkheim, dinyanakan kentara sebagai sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan dan terhimpun dalam peribadatan yang bersifat ritual dan kudus, juga komunitas moral yang menyatu. Definisi ini menyiratkan dua unsur yang penting, yang menjadi syarat adanya agama. Prasyarat itu adalah “sifat kudus” agama dan “praktek-praktek ritual” agama.

Berkaitan dengan analisis Karl Marx yang terang-terangan menyeletuk agama sebagai selubung penindas. Praduga agama adalah menghimbau yang berujung pada perintah. Teologi Karl Marx me-mandang manusia menempati batas bebas dari segala perintah. Namun, episteme ini bisa direduksi manakala dibenturkan pada tujuan agama. Agama bertujuan menyatukan manusia dengan ajaran moral yang dibawa. Agama bukan memerbudak, melainkan menuntun manusia menjadi mulia dlam tataran kehidupan social. Apakah itu nantinnya dikaitkan dengan harapan imbalan atau bukan.

Agama dengan demikian menjadi sarana bagi tercapainya bonum commune. Memersatukan masyarakat ketika nilai-nilai kolektivitas atau kebersamaan digerus bahkan dihancurkan oleh nilai-nilai individualis-pragmatis. Agama diperlukan agar masyarakat tidak terpecah belah dalam aneka kepentingan yang tidak dapat diartikulasikan bersama. Norma-norma dan nilai-nilai agama hendaknya dapat menjadi pegangan dan petunjuk bagi kehidupan bersama yang lebih harmonis. Lebih dari itu, agama hendaknya memelopori masyarakat yang terbuka terhadap perubahan. Sebab agama juga mengeja titik perubahan. Buku ini laik dibaca bagi siapapun untuk mendasari keyakinan keberagamaan. Juga, di dalamnya menyajikan sisi lain agama yang dieja oleh kajian ilmu pengetahuan barat. Selamat membaca.

(Muhammad Bagus Irawan, peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang)



No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat