Labels

Saturday 28 January 2012

Parade Negeri Galau

Tulisan ini dimuat di Harian Pelita edisi 28 Januari 2012

http://www.pelitaonline.com/read-cetak/14769/parade-negeri-galau/

Oleh Muhammad Bagus Irawan*

DI negeri itu, nuansa kegusaran terjadi tanpa henti. Menjadi siklus yang sama tiap tahunnya. Meng-hadapi awal tahun ini, negeri itu memerlihatkan pada khalayak ihwal parade ‘galau’-nya. Bila dicermati, nuansa kegalauan, keresahan, kegundahan, kegusaran, selalu menghampir, baik itu lewat bencana ulah manusia (kecelakaan, KKN dan turunannya) dan alam (banjir, tanah longsor, dan lainnya). Namun, pemilihan term kata ‘galau’ akhir-akhir ini semakin mengena labirin hati nurani rakyat dan menjadi hot trend pada status jejaring sosial semisal Twitter, Facebook, dan lainnya.

Media massa juga tak kalah populis dengan penempatan ke-’galau’an-nya. Dalam kamus (KBBI 2008) galau diartikan; sibuk beramai-ramai, banyak pikiran, kacau tidak keruan. Bila menelusuri status para artis, pejabat pemerintahan, pengusaha, dan masyarakat, tak jarang kita temukan berulang sajian status ‘galau’ pada akun jejaring sosialnya. Barangkali Presiden SBY juga tak mau kalah menggunakan kata ini. Fenomena galau memang sarat makna. Ahli Psikologi mengemukakan bila nuansa galau bisa datang bersumber dari diri manusia, ataupun dari tekanan keadaan luar.

Ketergantungan ihwal guratan galau, membuat parade negeri itu mencuat. Pertama, di balik tragedi kematian Sondang Hutagalung. Pada Rabu, 7 Desember 2011, seorang mahasiswa Universitas Bung Kar-no (UBK) nekad melakoni aksi bakar diri di depan istana negara, karena kegalauannya melihat kondisi negeri yang terus memerosok. Walaupun, ia sempat diselamatkan petugas jaga dan sempat dilarikan ke UGD RSCM, nyawanya pun gugur dan menggalaukan masyarakat. Bila ditilik secara nalar, keberanian Sondang adalah sebuah simbol perjuangan dan perlawanan terhadap karut-marutnya kondisi Negara. Alhasil, nurani rakyat pun jatuh karenanya. Membuat perlawanan bangsa semakin berdenyut, seperti bom waktu, kapan saja bisa meledak.

Kedua, persoalan sengketa lahan yang terus mengemuka. Semisal, sengketa lahan di Mamuju Sulawesi Barat yang berakibat konflik berkepanjangan dan jatuhnya korban. Juga, tragedi pembantaian di Mesuji Lampung. Taruhan galau kembali diumbar lewat beredar luasnya video atas nama ‘kejinya pembantaian petani di Mesuji’ di internet. Adalah Saurip Kadi (60), Mayjen Purnawirawan TNI, yang memimpin rombongan Lembaga Adat Megoupak menghadap Komisi III DPR melaporkan soal dugaan pembantaian terhadap 30 petani di Mesuji Lampung sejak pemerintahan SBY. Apapun motif dibalik pelaporan itu, menunjukkan kemirisan dan kegalauan akibat aksi pelanggaran HAM yang masih saja terjadi di bumi nusantara. Padahal, negeri itu memroklamasikan kemerdekaannya atas nama Tuhan dan penghargaan sebesar-besarnya terhadap HAM. Pelanggaran HAM di Mesuji adalah tak lain menjadi ‘siklus gunung es’, akibat kesadaran HAM masih minim. Bahkan, HAM dianggap barang sepele dan bisa dibeli dengan kua-sa dan uang.

Ketiga, ihwal begitu riangnya pelaku korupsi. Di negeri itu, koruptor menjadi raja, mereka kebal hukum dan hukuman. Lihat saja aksi Nazaruddin, Gayus, Nunun, Melinda dan masih banyak lagi. Setelah ketahuan sebagai koruptor, mereka dengan mudahnya mengelak penahanan atas dasar sakit, bahkan mereka seenaknya kabur ke luar negeri dengan alasan berobat. Nahasnya, ketika mereka tertangkap pun, seolah hukuman menjadi ajang wisata. Sebagai contoh, kita masih ingat dengan video Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta, yang dipublikasikan mantan narapidana, Syaripudin Supri Pane. Video amatir durasi 20 menit itu memerlihatkan betapa mulianya tahanan koruptor di rutan yang disolek bak hotel berbintang. Tergantung narapidana berani membayar berapa, semua layanan bisa didatangkan. Pantas saja, koruptor itu tak tanggung-tanggung mendulang kekayaan. Dari sini, bisa dirasakan bila atomasi hukum Indonesia tak menjerahkan koruptor, malahan menyenangkan. Sebenarnya, rakyat sudah lama mengerti praktik ini, dan mereka terjatuh dalam jurang kegalauan.

Terakhir, kemiskinan struktural. Setelah 66 tahun kemerdekaannya, negeri itu tak beranjak dari kawah miskin. Jurang kesenjangan semakin menganga, yang kaya semakin kaya dan yang miskin terus menjadi miskin dan galau. Hal ini bisa dibuktikan berdasarkan data BPS dan Menkokesra. Di mana, anggaran untuk pengentasan kemiskinan naik setiap tahun, bahkan kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, anggaran kemiskinan sekitar Rp16,7 triliun; tahun 2005, naik menjadi Rp23 triliun; tahun 2006, naik menjadi Rp42 triliun, tahun berikutnya (2007) menjadi Rp51 triliun; tahun 2008, menjadi Rp63 triliun; tahun 2009 menjadi Rp66 triliun, dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp94 triliun.

Namun, lonjakan anggaran ini tak diimbangi dengan penurunan angka kemiskinan yang signifikan. Secara statistik, jumlah penduduk miskin pada kurun waktu yang sama adalah; tahun 2004, sekitar 16,7 persen; lalu turun menjadi 16 persen (2005); naik lagi menjadi 17,8 persen (2006); kemudian 16,6 persen (2007); 15,4 persen (2008); 14,2 persen (2009); dan terakhir sekitar 13,3 persen (2010). Persoalan kemiskinan direduksi hanya dengan standard BPS (2010) yang hanya menghitung angka kecukupan gizi kalori per hari, setara Rp155.615 per bulan per orang, jauh lebih rendah dari standar kemiskinan absolut yang dibuat lembaga internasional yang rataanya adalah satu-dua dolar per kapita per hari.

Walaupun tersandung kejatuhan galau, bangsa itu masih memiliki harapan. Harapannya begitu menohok, survey menunjukkan bila 91 persen rakyat ingin masuk surga. Menafikan mereka yang korupsi, rasanya harapan itu bukan hal ihwal mustahil. Sebagian besar mereka teraniaya di kehidupan dunia dan pantas mendapat surga akhirat. Semoga.

Sejatinya, rakyat masih punya suara lantang untuk mengatakan tidak pada korupsi dan kemiskinan. Semisal apa yang dilakoni Sondang Hutagalung, demonstrasi mahasiswa, aksi-aksi lainnya. Namun bisa ditebak, jerembab kuasa demokrasi kali ini masih dikuasai para bandit, membuat rakyat tak berkutik. Bangsa galau mayoritas beragama dan masih yakin kepada Tuhan Yang Maha Menguasai. Tak ayal, wahai para koruptor dan bandit di negeri itu, bangsa galau senantiasa hadir mendoakan kalian semoga sadar. Amin.

(Penulis adalah peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang)

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat