Labels

Monday, 2 January 2012

Memaknai Rayuan Populer

Dimuat di Koran Jakarta edisi 30 Desember 2011
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/79614

Judul : Memahami Budaya Populer
Penulis : Jhon Fiske
Penerbit: Jalasutra, Yogyakarta
Tebal : xii 240 halaman
Harga : Rp54.000

Diskursus populer memang unik. Selalu ramai didengungkan baik formal maupun nonformal. Kata "populer" dalam kamus KBBI 2008 adalah sesuatu yang dikenal dan disukai banyak orang. Istilah "popular" sejatinya hadir dari Bahasa Inggris pada abad-15, digunakan sebagai konotasi negatif dalam hukum dan politik, dengan arti rendah, dasar, vulgar, dan masyarakat kebanyakan.

Dalam perkembangannya, sejak akhir abad-18, populer hadir meluas dengan proyeksi positif, penekanan pada kelas dan penyatuan segala budaya. Dari sana, populer terus merajut hingga disebut menjadi sebuah budaya (pop culture). Sayangnya, pamor populer semakin riuh dibopengi sebagai alat ekonomi. Menempatkan populer, sebagai garda bisnis dan periklanan yang strategis.

Walhasil, rayuan populer dengan segala atribut yang dibawanya kerap menjerumuskan orang pada gelegar konsumerisme. Begitu pun arus populer hadir di negeri Indonesia lewat media massa, dan iklan di jalanan. Segmentasi populer yang luas, berakibat pada riuhnya kaum muda berlomba memburu produk pencipta rasa pop ini.

Buku berjudul Memahami Budaya Populer ini menaja pemahaman dasar ihwal budaya populer. Jhon Fiske tak tanggung menyajikan teori pop-nya lewat simbol realitas pop yang booming. Istilah pop amat terkait dengan pemodal, industri, produk, media massa, iklan, konsumen, dan uang. Sebut saja dalam fashion, ketika menjabarkan mode pop celana jins, ternyata ditunggangi kepentingan untung-rugi.

Secara kronologis, model populis celana jins terus berkembang beraneka rupa, mulai dari Skinny Jeans hingga Cut Bray. Kesemuanya menghadirkan budaya pop dengan kucuran uang berbeda. Selain itu, budaya populer telah menjadi corong yang dikonstruksi, bukan sesuatu yang berjalan alamiah. Pop telah menjadi berkas industri. Tak pelak, mengikuti budaya populer bisa dibilang memperbudak diri sendiri dengan kesadaran.

Budaya populer berbanding lurus dengan iktikad konsumerisme. Ketika seseorang mengikuti perkembangan populer, ia terus-menerus mengeluarkan uang mengikuti gaya populer saat itu. Di sinilah kedangkalan populer dirasakan. Kriteria populer terus berkembang melesat seiring berkembanganya zaman, meninggalkan kriteria populer sebelumnya. Walhasil, budaya populer mewabah sesuai hasrat yang timbul akibat propaganda media dan periklanan. Buku karya Jhon Fiske ini mampu membuka wawasan kesadaran pembaca.

Bagaimana pembaca mampu menaja rayuan populer, disajikan dengan bahasa sederhana. Patut menjadi bacaan siapa saja. Sekali lagi, populer dengan arti gaya, style, ide, perspektif, dan sikap yang benar-benar berbeda dengan budaya arus utama telah menjadi alat rayuan konsumtif.

Muhammad Bagus Irawan, pegiat Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.



No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat