Labels

Saturday, 28 January 2012

Tionghoa dalam Rambu Stigma Nusantara

Dimuat di Harian Pelita edisi 28 Januari 2012

http://www.pelitaonline.com/read-cetak/14819/tionghoa-dalam-rambu-stigma-nusantara/

Judul : Mereka Bilang Aku China
Penulis : Dewi Anggraeni
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 1, Oktober 2010
Tebal : xvi + 286 halaman

BERBICARA ihwal imaji Tionghoa di Indonesia, secara figuratif mereka telah masuk dalam kerangka stigma panas dari bilik kebangsaan Nusantara. Bahkan, nasib mereka seolah identik hanya sebagai “target empuk” di setiap krisis ekonomi yang melanda perekonomian negeri, mereka dijadikan sasaran luapan nafsu amarah bangsa. Menilik histori, dalam tragedi Batavia 1740, terjadi peristiwa getir pembantaian dan pengusiran etnik China itu dari Batavia, setidaknya ada 20.000 orang Tionghoa menjadi korban (jelas terungkap dalam potret “Batavia 1740” Windoro Adi, GPU 2010).

Hingga masa transisi kemerdekaan, Tionghoa masih dianggap belum sepenuhnya menjadi bagian Indonesia, padahal peran serta mereka cukup besar mengantarkan negeri ini kedalam gerbang kemerdekaan. Bahkan, pada tragedi kekerasan September 1965 terjadi “hardikan dahsyat” pada Tionghoa yang termajinalkan dalam kerangka komunis, yang wajib dibantai. Kemudian pada masa Orde Baru, seolah sudah menjadi kelekatan kultural, bahwa sentimen etnik terus terdegradasi dalam setiap prosedur dan sistemik pemerintahan.

Nampak, bahwa buku ini cukup lugas memaparkan asam manis menjadi Tionghoa di Nusantara. Namun, ada kesan bahwa apa yang menjadi pesan penulis tidak sampai dengan hanya mengelaborasi kilas kehidupan yang serba singkat. Menjadi catatan, bila keberanian penulis menyelesaikan buku ini terkecap proporsional untuk berbagai lapisan kehidupan bangsa.

Dilanjutkan pada peristiwa tragik Mei 1998, yang tak ubahnya menjadikan etnik itu sebagai “kambing hitam” atas goncangan krisis yang melanda Indonesia. Tercatat media, dari sana, terjadi pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, pencurian, perampokan, perusakan, pembakaran yang “keterlaluan” ditujukan kepada etnik itu. Meskipun, ini tidak bisa lepas dari situasi dan kericuhan politik saat itu.

Nyatanya, tidak semua pribumi yang mencap negatif Tionghoa, bahkan banyak pribumi yang melindungi mereka dari luapan emosi yang brutal saat itu (hlm. 176).

Entah mengapa nasib buruk dan miring acap mengena etnik asal China itu. Barangkali pelajaran terbesar menjadi seorang keturunan etnik Tionghoa di Indonesia ialah tak bosan berusaha mematahkan stereotip yang keburu disematkan bangsa Nusantara, yakni sebagai insan-insan yang ketagihan mencari uang, tanpa menghiraukan apa atau siapapun di sekitarnya.

Padahal dalam sejarah, bila dirunut lebih dalam, sebagian besar khazanah keilmuan yang urgen dalam keberlangsungan tataran kehidupan; sosial, ekonomi, budaya, dan agama adalah berkat prosesi dan per-tautan yang dibawa Tionghoa dalam gelombang masuknya ke Nusantara sejak abad ke tujuh masehi. Tercatat, dalam setiap pelayaran yang dilakukan saudagar Tionghoa ke Indonesia kala itu selalu membawa para ahli dan cendekia dalam berbagai literatur keilmuan; teknik pertanian, pertukangan, tata politik dan sosial, agamawan (dari ajaran Konghucu sampai Islam yang dianut dinasti Ming), budayawan dan lainnya. Dan dari sana dipastikan adanya transmisi keilmuan Tionghoa bagi warga pribumi.

Namun, jasa-jasa itu tak lantas mengantarkan Tionghoa sebagai guru, Bahkan ada kesan dalam peribahasa “air susu dibalas air tuba”. Meski, kita pasca Mei 1998, ketika media lebih leluasa memberitakan tentang etnik Tionghoa, imaji masyarakat telanjur sulit bergeser pada stigma. Bahwa banyak orang Tionghoa yang tak cocok dengan stereotip itu, tidak terlalu terlihat.

Lantaran itu, Dewi Anggraeni terpanggil demi menulis buku berjudul Mereka Bilang Aku China: Jalan mendaki menjadi bagian bangsa ini. Sebagai seorang Tionghoa bernama asli Tan Soen May, ia tahu betul banyak celah yang luput dari perhatian. Buku yang terbagi kedalam empat bagian ini, digali dan mencoba mewacanakan fokusnya pada kaidah biografi individu-individu yang tersembunyi dan terejawantah kedalam kultur Nusantara yang tersebar di pelbagai daerah, dan lekat dengan konteks etnisitasnya.

Secara jernih, Dewi sengaja mewawancarai delapan perempuan keturunan etnik Tionghoa yang disini disebut protagonis, menitikberatkan pada pribadi dan kemanusiaannya. Yakni aktivis hak asasi manusia (HAM) Ester Indahyani Jusuf, penulis Linda Christanty, mantan atlet bulu tangkis Susi Susanti, Mariah Sundah, Sias Mawarni Saputra, saudari kembar Milani dan Milana Jo, sampai Jane Luyke Oey, janda mendiang tahanan politik era Orde Baru Oeng Hay Djoen yang menyokong Pramoedya Ananta Toer.

Buku dibuka dari kisah Ester Indahyani Jusuf, yang dikenal lewat gerak manusiawinya. Walau ia sebagai etnik Tionghoa kerap mendapat perlakuan beda dalam imaji masyarakat, namun ia tetap gigih memperjuangkan terselenggaranya penegakan HAM bagi masyarakat, dengan mendirikan lembaga Solidaritas Nusa Bangsa (hlm. 15).

Kemudian dikisahkan ihwal perjuangan Susi Susanti dalam rambu stigma. Bagaimana Anda membayangkan perasaan Susi Susanti ketika pecah kerusuhan Mei 1998 yang menjadikan etnik Tionghoa sebagai sasaran?

Padahal saat itu ia tengah berada di Hong Kong untuk pertandingan Uber Cup. “…Dia di sini semacam ‘duta besar’ untuk Indonesia. Sementara di Indonesia sendiri, keluarganya dijadikan sasaran karena mereka keturunan Tionghoa dan rasa nasionalisme mereka dipertanyakan. Apakah orang tahu bahwa nasionalisme yang non-Tionghoa selalu padat dan tak dapat diragukan. Apakah orang dapat mengetahui kapasitas sentimen seseorang tentang isu-isu tertentu hanya dengan menyorot etnisitasnya…?”(hlm. 117)

Selanjutnya melukiskan kehidupan Maria Sundah, dalam keluarga multietnis, yang pembaurannya mulus. Namun, ambiansi politik kala itu telah tega melongok bagaimana subliminal mikrokosmis yang dihuni etnis Tionghoa menjadi bagian berbeda dari bangsa. Hal-hal semacam inilah yang tergambar dalam buku Dewi. Sebagai tukang cerita yang baik–ia menulis fiksi dan nonfiksi–, Dewi menuturkan hasil wawancara dengan gamblang, jelas, dan menyentuh persoalan mendasar.

Walau begitu, masih ada cerita lain dari tokoh protagonis Dewi, yakni dari kisah Meylani dan Milana Jo pada bab terakhir. Kendati masing-masing punya cerita tersendiri, keduanya membawa pesan bahwa letak geografis juga berpengaruh dalam pandangan stigma miring Tionghoa. Kehidupan mereka yang sedari dini berada di Papua, benar-benar menempatkannya jauh dari anggapan negatif. Dapat terbaca, bila lanskap skeptisisme yang rumit, menjauhkan tuduhan stigma.

Bagi saya, buku ini fokusnya jelas. Namun secara tematik dan struktural, buku ini masih terlihat menohok bagi pembacaan awam. Dewi tidak tergoda bercerita kesana kemari meski persoalan etnik Tionghoa sangat kompleks. Dari buku ini kita bisa meneropong rumitnya menjadi Tionghoa di Indonesia. Sekaligus, kita diajak berpikir terbuka melihat realita akan jawatan nilai sosio-kultural Tionghoa, yang terekam lewat tokoh protagonis. Selamat membaca.

Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, aktivis Idea Studies IAIN Walisongo Semarang

Parade Negeri Galau

Tulisan ini dimuat di Harian Pelita edisi 28 Januari 2012

http://www.pelitaonline.com/read-cetak/14769/parade-negeri-galau/

Oleh Muhammad Bagus Irawan*

DI negeri itu, nuansa kegusaran terjadi tanpa henti. Menjadi siklus yang sama tiap tahunnya. Meng-hadapi awal tahun ini, negeri itu memerlihatkan pada khalayak ihwal parade ‘galau’-nya. Bila dicermati, nuansa kegalauan, keresahan, kegundahan, kegusaran, selalu menghampir, baik itu lewat bencana ulah manusia (kecelakaan, KKN dan turunannya) dan alam (banjir, tanah longsor, dan lainnya). Namun, pemilihan term kata ‘galau’ akhir-akhir ini semakin mengena labirin hati nurani rakyat dan menjadi hot trend pada status jejaring sosial semisal Twitter, Facebook, dan lainnya.

Media massa juga tak kalah populis dengan penempatan ke-’galau’an-nya. Dalam kamus (KBBI 2008) galau diartikan; sibuk beramai-ramai, banyak pikiran, kacau tidak keruan. Bila menelusuri status para artis, pejabat pemerintahan, pengusaha, dan masyarakat, tak jarang kita temukan berulang sajian status ‘galau’ pada akun jejaring sosialnya. Barangkali Presiden SBY juga tak mau kalah menggunakan kata ini. Fenomena galau memang sarat makna. Ahli Psikologi mengemukakan bila nuansa galau bisa datang bersumber dari diri manusia, ataupun dari tekanan keadaan luar.

Ketergantungan ihwal guratan galau, membuat parade negeri itu mencuat. Pertama, di balik tragedi kematian Sondang Hutagalung. Pada Rabu, 7 Desember 2011, seorang mahasiswa Universitas Bung Kar-no (UBK) nekad melakoni aksi bakar diri di depan istana negara, karena kegalauannya melihat kondisi negeri yang terus memerosok. Walaupun, ia sempat diselamatkan petugas jaga dan sempat dilarikan ke UGD RSCM, nyawanya pun gugur dan menggalaukan masyarakat. Bila ditilik secara nalar, keberanian Sondang adalah sebuah simbol perjuangan dan perlawanan terhadap karut-marutnya kondisi Negara. Alhasil, nurani rakyat pun jatuh karenanya. Membuat perlawanan bangsa semakin berdenyut, seperti bom waktu, kapan saja bisa meledak.

Kedua, persoalan sengketa lahan yang terus mengemuka. Semisal, sengketa lahan di Mamuju Sulawesi Barat yang berakibat konflik berkepanjangan dan jatuhnya korban. Juga, tragedi pembantaian di Mesuji Lampung. Taruhan galau kembali diumbar lewat beredar luasnya video atas nama ‘kejinya pembantaian petani di Mesuji’ di internet. Adalah Saurip Kadi (60), Mayjen Purnawirawan TNI, yang memimpin rombongan Lembaga Adat Megoupak menghadap Komisi III DPR melaporkan soal dugaan pembantaian terhadap 30 petani di Mesuji Lampung sejak pemerintahan SBY. Apapun motif dibalik pelaporan itu, menunjukkan kemirisan dan kegalauan akibat aksi pelanggaran HAM yang masih saja terjadi di bumi nusantara. Padahal, negeri itu memroklamasikan kemerdekaannya atas nama Tuhan dan penghargaan sebesar-besarnya terhadap HAM. Pelanggaran HAM di Mesuji adalah tak lain menjadi ‘siklus gunung es’, akibat kesadaran HAM masih minim. Bahkan, HAM dianggap barang sepele dan bisa dibeli dengan kua-sa dan uang.

Ketiga, ihwal begitu riangnya pelaku korupsi. Di negeri itu, koruptor menjadi raja, mereka kebal hukum dan hukuman. Lihat saja aksi Nazaruddin, Gayus, Nunun, Melinda dan masih banyak lagi. Setelah ketahuan sebagai koruptor, mereka dengan mudahnya mengelak penahanan atas dasar sakit, bahkan mereka seenaknya kabur ke luar negeri dengan alasan berobat. Nahasnya, ketika mereka tertangkap pun, seolah hukuman menjadi ajang wisata. Sebagai contoh, kita masih ingat dengan video Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta, yang dipublikasikan mantan narapidana, Syaripudin Supri Pane. Video amatir durasi 20 menit itu memerlihatkan betapa mulianya tahanan koruptor di rutan yang disolek bak hotel berbintang. Tergantung narapidana berani membayar berapa, semua layanan bisa didatangkan. Pantas saja, koruptor itu tak tanggung-tanggung mendulang kekayaan. Dari sini, bisa dirasakan bila atomasi hukum Indonesia tak menjerahkan koruptor, malahan menyenangkan. Sebenarnya, rakyat sudah lama mengerti praktik ini, dan mereka terjatuh dalam jurang kegalauan.

Terakhir, kemiskinan struktural. Setelah 66 tahun kemerdekaannya, negeri itu tak beranjak dari kawah miskin. Jurang kesenjangan semakin menganga, yang kaya semakin kaya dan yang miskin terus menjadi miskin dan galau. Hal ini bisa dibuktikan berdasarkan data BPS dan Menkokesra. Di mana, anggaran untuk pengentasan kemiskinan naik setiap tahun, bahkan kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, anggaran kemiskinan sekitar Rp16,7 triliun; tahun 2005, naik menjadi Rp23 triliun; tahun 2006, naik menjadi Rp42 triliun, tahun berikutnya (2007) menjadi Rp51 triliun; tahun 2008, menjadi Rp63 triliun; tahun 2009 menjadi Rp66 triliun, dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp94 triliun.

Namun, lonjakan anggaran ini tak diimbangi dengan penurunan angka kemiskinan yang signifikan. Secara statistik, jumlah penduduk miskin pada kurun waktu yang sama adalah; tahun 2004, sekitar 16,7 persen; lalu turun menjadi 16 persen (2005); naik lagi menjadi 17,8 persen (2006); kemudian 16,6 persen (2007); 15,4 persen (2008); 14,2 persen (2009); dan terakhir sekitar 13,3 persen (2010). Persoalan kemiskinan direduksi hanya dengan standard BPS (2010) yang hanya menghitung angka kecukupan gizi kalori per hari, setara Rp155.615 per bulan per orang, jauh lebih rendah dari standar kemiskinan absolut yang dibuat lembaga internasional yang rataanya adalah satu-dua dolar per kapita per hari.

Walaupun tersandung kejatuhan galau, bangsa itu masih memiliki harapan. Harapannya begitu menohok, survey menunjukkan bila 91 persen rakyat ingin masuk surga. Menafikan mereka yang korupsi, rasanya harapan itu bukan hal ihwal mustahil. Sebagian besar mereka teraniaya di kehidupan dunia dan pantas mendapat surga akhirat. Semoga.

Sejatinya, rakyat masih punya suara lantang untuk mengatakan tidak pada korupsi dan kemiskinan. Semisal apa yang dilakoni Sondang Hutagalung, demonstrasi mahasiswa, aksi-aksi lainnya. Namun bisa ditebak, jerembab kuasa demokrasi kali ini masih dikuasai para bandit, membuat rakyat tak berkutik. Bangsa galau mayoritas beragama dan masih yakin kepada Tuhan Yang Maha Menguasai. Tak ayal, wahai para koruptor dan bandit di negeri itu, bangsa galau senantiasa hadir mendoakan kalian semoga sadar. Amin.

(Penulis adalah peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang)

Friday, 20 January 2012

Membumikan Kesadaran Siaga Bencana

Dimuat di Harian Pelita edisi Kamis 19 Januari 2012

http://www.pelitaonline.com/read-cetak/14017/membumikan-kesadaran-siaga-bencana/

Oleh Muhammad Bagus Irawan

Memasuki tahun 2012, Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah ihwal bencana. Dengan predikat “Negeri Supermarket Bencana”, sampai kapanpun bencana akan selalu mengancam 230 Juta lebih penduduk Indonesia. Di pulau Jawa saja, 120 juta orang tinggal di dalam bayang-bayang lebih dari 30 gunung berapi (National Geographic, 2010). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian para ahli ilmu bumi dan vulkanologi, di mana secara geografis letak Indonesia berada pada lembah fire ring yang sangat rawan dengan munculnya bencana kuasa alam, semisal gempa bumi, erupsi gunung berapi, tsunami, tanah longsor, banjir, dan lainnya.

Catatan tahun 2011 menunjukkan lebih dari seribu peristiwa bencana mewarnai perjalanan Indonesia. Sebagian besar adalah banjir, kebakaran, dan puting beliung, yang semuanya terkait hidrometeorologi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, setidaknya telah terjadi 1.598 bencana, 75 persen di antaranya adalah hidrometeorologi dengan 403 kejadian banjir, 355 kebakaran dan 285 puting beliung. Mengakibatkan korban meninggal dan hilang 834 orang, dan 325.361 orang lainnya dilaporkan menderita dan harus mengungsi. Selain, juga menyebabkan kerugian material tak sedikit. Tercatat, 15.166 unit rumah penduduk rusak berat, 3.302 rusak sedang, dan 41.795 unit rusak ringan.

Mengutip Gatra.com (2/1/2012), menunjukkan prakiraan Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (Jamstec), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Bureau of Meteorology (BoM), dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi, pada rentang Januari hingga Agustus, kondisi cuaca di berbagai wilayah Indonesia normal. Sedangkan, periode Agustus hingga Desember diprediksi terjadi kemarau agak basah. Setelah itu, diprediksi akan terjadi kemarau elnino. Selain bencana banjir, ancaman gunung api juga terus mengintai. Saat ini ada 127 gunung api aktif yang terus dipantau oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Dari jumlah tersebut, 6 gunung berstatus siaga dan 18 waspada. Dengan ancaman bencana 2012 itu, maka upaya sosialisasi, kesiapsiagaan, gladi, dan peningkatan kapasitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) serta masyakarat perlu terus-menerus dilakukan.

Selain bencana alam. Indonesia juga akan menghadapi bencana ulah manusia, semisal kejahatan mulai dari korupsi dan sebagainya, gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, wabah penyakit, konflik, teror dan lainnya. Membincang korupsi di negeri ini seperti tak ada matinya, sebut saja Gayus, Nazaruddin, Nunun, dan lainnya, mereka adalah bagian kecil dalam labirin gunung es. Bencana sosial, kemiskinan dan pengangguran masih saja menghadang. Perilaku bencana ini terus hilir mudik tiada henti.

Mitigasi Bencana
Kesemuanya sudah menjadi keseharian yang menyakitkan dan mesti dicari mitigasinya, guna menanggulangi dan mengurai dampak bencana agar tak terlalu besar. Karena, bencana selalu akan terjadi terus menerus dan tak dapat dicegah, maka dengan timbulnya bencana haruslah dicari pula mitigasi yang tepat. Friedrich Nietzche mengatakan kunci keberhasilan bangsa ditentukan oleh komitmen menghidupkan dan menyalakan kata-kata menjadi kata kerja (tindakan nyata).

Istilah mitigasi sendiri diambil dari bahasa Inggris mitigation yang berarti adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik struktural melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, maupun non fisik-struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan. Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dikenal pengertian dan beberapa istilah terkait dengan bencana. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Di dalam al-Qur’an sendiri, kalau dicermati term bencana selalu diikuti dengan kata mitigasi yang diungkapkan Allah. Semisal saya menyitir kisah-kisah Nabi Allah yang terdapat bencana di dalamnya dan terdapat upaya kesiapsiagaan, mitigasi bencana, dan peringatan dini serta rehabilitasi dan rekonstruksi. Semoga menjadikan kita inspirasi dalam kesiapsiagaan dan upaya pengurangan risiko bencana ketimbang merenungi nasib dan panik. Secara garis besar, kisah Nabi Yusuf dalam mempersiapkan musim kering dan kelaparan yang akan terjadi dengan menyiapkan segala logistik selama tujuh tahun untuk musim kering selama tujuh tahun setelah adanya warning atau peringatan, merupakan contoh bahwa Allah menyuruh kita untuk memitigasi bencana dan bersiaga. [QS. Yusuf ayat 43 – 49]

Bagi pemerintah, program pengurangan risiko bencana dan membangun sikap siaga bencana itu harus terakomodir di dalam program-program pembangunan, seperti bidang pendidikan, sosial, kesehatan, dan infrastruktur. Pemerintah daerah juga harus mewujudkan visi selaras kelestarian lingkungan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan oleh swasta. Kebutuhan akan investasi jangan sampai menisbikan visi yang sesungguhnya bagus. Kita sendiri sebagai masyarakat harus mampu mendorong terbentuknya komunitas siaga bencana dan sadar lingkungan. Nilai-nilai kearifan lokal, walaupun sederhana, sebisa mungkin diterapkan dalam aktivitas kehidupan. Kita juga jangan jemu mengaspirasikan, memantau atau mengawasi, bahkan bila perlu mengkritik hingga menggugat kebijakan pemerintah yang mengabaikan lingkungan. Inilah arti dan wujud sesungguhnya dari siaga bencana itu. Bukan cuma tercermin ketika bencana menimpa.

Sejatinya, berbagai produk hukum, inisiatif kegiatan dan pelaksanaan program dilakukan dalam upaya penguatan kapasitas masyarakat baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat madani termasuk dunia usaha. Pada tahun 2010, Pemerintah meluncurkan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014 serta Rencana Aksi Nasional Pengurangan Bencana 2010-2012 yang menjadi pegangan bagi para pemangku kepentingan dalam melaksanakan kegiatannya. Dan kebijakan itupun menyerap dana besar. Pastinya rakyat tak mau dicurangi, akan penyelewengan dana dengan agenda besar mitigasi bencana. Di sinilah perlunya kesadaran masyarakat ikut peduli bencana dan seluk-beluk dalam labirin anggaran besar di baliknya. Semoga. Wallahu’alam bisshawab.

Penulis adalah peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.

Wednesday, 11 January 2012

Menuju Ekonomi Kerakyatan

Terbit di Koran Jakarta edisi Rabu 11 Januari 2012

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/80570

Fakta mengatakan Indonesia itu kaya sumber daya alam dan manusia. Tapi, mengapa kebanyakan rakyat Indonesia miskin dan menderita? Padahal, Pancasila dan UUD 1945 mengamanatkan wujud negara kesejahteraan rakyat. Perintah itu dengan jelas tertuang dalam sila kelima Pancasila, yaitu tujuan NKRI dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 dan diturunkan dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.

Kesemuanya menjelaskan penghapusan penjajahan (ekonomi) dan membangun Indonesia yang berdaulat serta menyejahterakan seluruh rakyat berdasarkan ekonomi kerakyatan melalui koperasi, perusahaan milik negara, dan usaha swasta. Kenyataannya, Indonesia kini dikuasai ekonomi konglomerasi yang digerakkan kapitalisme global dan neoliberalisme. Dari sana, negeri ini dengan sadar membuka utang luar negeri, perusahaan-perusahaan transnasional, investasi asing, dan impor.

Akibatnya, ekonomi rakyat jeblok, koperasi mandek, usaha-usaha mikro, kecil, dan menengah kewalahan menghadapi serbuan produk-produk impor. Bahkan, BUMN dan BUMD tak mampu berdiri tegak karena didera problem KKN. Buku berjudul Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi ini menelanjangi kerapuhan ekonomi Indonesia yang jauh dari nilai kesejahteraan rakyat untuk kemudian menjadi refleksi tanpa henti.

Penulis menganalisis bahwa sebab utama kemandekan ekonomi rakyat adalah ulah para banditbandit demokrasi ekonomi. Mereka mengisap kekayaan alam Nusantara untuk kepentingan kelompoknya. Dengan hati dingin, mereka menjerumuskan rakyat kecil ke dalam lubang kemiskinan. Agenda ini terus terjadi, disusun rapi dan terstruktur di tengah jeritan rakyat.

Tentunya rakyat tak bisa menyalahkan pemerintah karena, bagaimanapun, kebijakan yang diambil pemerintah adalah untuk kepentingan rakyat. Namun, di tengah jalan, kebijakan itu justru dibopengi bandit-bandit tak manusiawi. Menjadi tugas bangsa Indonesia untuk memberangus bandit-bandit tersebut. Berita terkini menempatkan posisi Indonesia sebagai lahan layak untuk berinvestasi (investment grade).

Peringkat ini dinilai banyak kalangan sebagai posisi keuntungan dan membanggakan. Padahal, bila dicermati, dengan meluasnya keran investasi asing di negeri ini, semakin memupuskan harapan rakyat dapat merangkul kembali aset mereka. Yang dibutuhkan rakyat bukan peringkat (rating) ekonomi tinggi dan catatan statistik perekonomian yang bagus, namun lapangan kerja agar dapat membeli sandang-pangan serta jaminan pendidikan dan kesehatan yang layak.

Bangsa perlu bersatu dan mengembangkan ekonomi negeri sendiri. Sudah saatnya ekonomi Indonesia dikendalikan rakyatnya.


Peresensi adalah M Bagus Irawan, tinggal di Semarang

Judul : Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi
Penulis : Bernhard Limbong
Penerbit : Margaretha Pustaka, Jakarta
Tahun : 1, 2011
Harga : Rp65.000

Monday, 9 January 2012

Mengeja Dasar Agama

terbit di Harian Pelita edisi Sabtu 7 Januari 2012

http://www.pelitaonline.com/read-cetak/12920/mengeja-dasar-agama/

Judul : Seven Th eories of Religion
Penulis : Daniel L Pals
Penerbit : IRCiSoD
Tahun : I Oktober 2011
Tebal : 313 halaman
Harga : 55.000,-
ISBN : 9786029789089

AGAMA selalu menohok kajian keilmuan. Di mana agama tak melulu membutuhkan definisi untuk kelanggengannya. Agama eksis dalam sejarah manusia. Walaupun arti agama tak begitu diindahkan pemeluk dan pemuka agama. Agama seolah bertabur merah dengan kajian-kajian para ahli ilmu. Tentunya, agama akan dinilai berbeda lewat pandangan epistemologi dasarnya. Begitulah gagasan segar yang coba diurai penulis lewat buku magnum opus “Seven Theories of Religion” ini. Di dalamnya, Daniel L. Pals mengkaji dan mengetengahkan pemikiran tujuh tokoh sentral ihwal teori agama. Mereka adalah Karl Marx, Emile Durkheim, Sigmund Freud, EB Tylor dan JG Frazer, Mircea Eliade, EE Evans- Pritchard, serta Clifford Geertz. Di sini, agama dieja dari rumpun pemikiran primitif yang mendasar. Secara nalar, dalam sejarah manusia, agama selalu menjadi poros yang benar, walaupun tanpa bersentuhan dengan ilmu sekalipun.

Daniel L. Pals, mengelompokkan pendekatan teori agama ke dalam dua ranah, bersifat substantif dan rasional. Pertama, melalui pendekatan “menafsirkan” (interpretive) dan yang kedua melalui pendekatan “menjelaskan” (explanatory) (hal.13). Di mana para teoretisi condong menjelaskan agama dalam bingkai intelektual, dalam batasan ide-ide yang mendorong, menggerakkan, dan mengilhami manusia. Mereka menekankan niat manusia yang sadar, emosi dan agensi. Walaupun, mereka mengatakan bahwa orang bersifat religius, karena pemikiran yang dianggap benar dan bernilai. Ritual agama harus diejawantahkan dalam ranah kehidupan mereka. Para teoretisi yang menekankan peran pemikiran dan perasaan manusia ini menganggap bahwa agama adalah tentang sesuatu yang “memiliki makna” bagi kehidupan manusia. Pendekatan ini dianggap lebih bersifat “menafsirkan” (interpretive) ketimbang “menjelaskan” (explanatory). Sisi lain penjelasan tak jauh dari akal dan sifat kebendaan, dan agama berproses dari kedua unsur itu.

Sebaliknya, para teoretisi fungsional sangat tidak setuju dengan pendekatan yang bersifat substantif. Mereka menganggap bahwa “penjelasan” juga absah untuk menjelaskan manusia. Para teoretisi fungsional berusaha melihat ke bawah atau dibalik pemikiran yang sadar dari orang yang religius untuk menemukan sesuatu yang lebih dalam dan tersembunyi. Mereka berpendapat bahwa ada struktur sosial yang pokok atau penderitaan psikologis tanpa perhatian yang akar tingkah laku agama yang ses-ugguhnya. Apakah akar-akar tersebut bersifat sosial, individual, atau bahkan biologis, kekuatan -kekuatan yang memaksa ini - dan bukan ide-ide yang oleh orang beragama sendiri dianggap mengatur tindakan mereka - merupakan sebab agama yang sesungguhnya dimanapun kita dapat menemukannya. Kita akan dapat menelusuri perbedaaan antara penjelas (explainers) dengan penafsir (interpreters).

Kemudian Daniel L Pals juga menglasifikasikan pemikiran tokoh dalam kategori tertentu, semisal Karl Marx, Emile Durkheim, dan Sigmund Freud, yang dimasukkan ke dalam teori reduksionis, yakni teori yang menempatkan agama sebagai buaian konstruksi nilai yang menjiwai kehidupan masyarakat sehingga agama bisa saja tergantikan oleh kepentingan transenden lain. Walaupun begitu, tiap tokoh sudah pasti memiliki ciri khasnya yang unik. Misalnya, teori Karl Marx menuduh motif agama erat den-gan ikatan psikologi dan ekonomi. Agama adalah kepentingan terselubung, bak candu yang membius kesadaran manusia.

Dikontekskan dengan Indonesia, pengejaan agama, patut disarikan lewat kultur dan ritual khusus. Semisal, pemeluk Islam sebagai agama terbesar Indonesia, memiliki ritual agama dan ciri khas yang unik yang tak dapat ditemukan di Negara lain, semisal Arab. Sisi ini menunjukkan kelenturan agama berujung pada hakikat sosio-kultur pemeluk. Di mana, agama disesuaikan dengan kapabilitas manusia yang iman. Alhasil, kesucian agama tak akan ternoda oleh tindakan penganutnya. Selanjutnya, peristilahan agama menurut Durkheim, dinyanakan kentara sebagai sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan dan terhimpun dalam peribadatan yang bersifat ritual dan kudus, juga komunitas moral yang menyatu. Definisi ini menyiratkan dua unsur yang penting, yang menjadi syarat adanya agama. Prasyarat itu adalah “sifat kudus” agama dan “praktek-praktek ritual” agama.

Berkaitan dengan analisis Karl Marx yang terang-terangan menyeletuk agama sebagai selubung penindas. Praduga agama adalah menghimbau yang berujung pada perintah. Teologi Karl Marx me-mandang manusia menempati batas bebas dari segala perintah. Namun, episteme ini bisa direduksi manakala dibenturkan pada tujuan agama. Agama bertujuan menyatukan manusia dengan ajaran moral yang dibawa. Agama bukan memerbudak, melainkan menuntun manusia menjadi mulia dlam tataran kehidupan social. Apakah itu nantinnya dikaitkan dengan harapan imbalan atau bukan.

Agama dengan demikian menjadi sarana bagi tercapainya bonum commune. Memersatukan masyarakat ketika nilai-nilai kolektivitas atau kebersamaan digerus bahkan dihancurkan oleh nilai-nilai individualis-pragmatis. Agama diperlukan agar masyarakat tidak terpecah belah dalam aneka kepentingan yang tidak dapat diartikulasikan bersama. Norma-norma dan nilai-nilai agama hendaknya dapat menjadi pegangan dan petunjuk bagi kehidupan bersama yang lebih harmonis. Lebih dari itu, agama hendaknya memelopori masyarakat yang terbuka terhadap perubahan. Sebab agama juga mengeja titik perubahan. Buku ini laik dibaca bagi siapapun untuk mendasari keyakinan keberagamaan. Juga, di dalamnya menyajikan sisi lain agama yang dieja oleh kajian ilmu pengetahuan barat. Selamat membaca.

(Muhammad Bagus Irawan, peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang)



Friday, 6 January 2012

Korupsi Memilukan Indonesia

Dimuat di Koran Jakarta edisi 5 Januari 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/80085

Judul : Korupsi yang Memiskinkan
Editor : Maria Hartiningsih
Penerbit : Buku Kompas, Jakarta
Tahun : 1, September 2011
Tebal : xiv 370 halaman
Harga : Rp65.000


Tidak dimungkiri, wajah Indonesia terkenal dengan korupsi yang memiskinkan rakyatnya. Entah sindrom apa yang tengah menulari watak masyarakat kita hingga tak bisa lepas dari jerat laku kotor itu. Di sini demi kuasa sesaat, moral dan agama sama sekali tak bergerak. Buku Korupsi yang Memiskinkan ini menempatkan ulasan mendalam ihwal korupsi dan kemiskinan Indonesia.

Buku antologi hasil ejawantah analisis pakar, seminar, dan sorotan harian Kompas ini mencoba mengurai dan menelaah akar masalah dengan korelasi fakta koruptif yang menggejala dan memiskinkan. Bisa dibenarkan dalam catatan Try Haryono, miskin bukanlah kutukan. Kemiskinan juga bukan disebabkan mereka malas, tak mau bekerja keras. Sebenarnya, masyarakat kita sudah memiliki etos kerja kuat seperti yang ditunjukkan nenek moyang kita.

Secara embrio, kemiskinan lebih bersifat multidimensi. Bila ditelaah, kemiskinan di negeri ini lebih disebabkan karena faktor struktural yang dibuat manusia, baik struktur ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Mereka yang termiskinkan terkungkung dalam suatu lingkaran, dan diistilahkan oleh pakar sebagai vicious circle of proverty (hlm 18). Paradigma kebijakan yang salah kaprah telah menyulut pelbagai kebocoran dan menyabotase hak-hak rakyat.

Dalam catatan Sri Hartati, politik anggaran yang tak memihak orang miskin telah berurat nadi. Bagaimana 40 persen lebih APBN kita terkuras belanja rutin birokrasi yang ternyata tak mampu menjalankan fungsinya secara benar, bahkan sering tersandung korupsi. Penguasa sebenarnya sadar dengan permasalahan kemiskinan.

Di perdesaan lebih parah, bagaimana sumber kehidupan masyarakat dirampas untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, transportasi, dan pelbagai insfrastruktur yang semuanya memihak pemodal kuat. Nahasnya, mereka tampaknya dipandang sebelah mata oleh penguasa. Ada kesan, akibat bencana korupsi, pemiskinan seolah dijadikan aset dan harus dipertahankan.

Buku ini terbagi ke dalam tiga bab besar, yakni "Kemiskinan dan Kebijakan Publik", "Korupsi, Hukum dan Tata Kelola", dan "Rujukan". Selain itu, buku ini diawali pengantar berjudul provokatif, "Korupsi, Pembusukan Masif Kolektif" oleh Maria Hartiningsih. Di dalamnya dielaborasi gagasan "solusi terbatas" yang berupa revitalisasi secara ketat dan keras dengan prinsip-prinsip hidup bersama—mampu memaksa pejabat yang melakukan pembohongan publik—berfungsi efektif.

Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, aktivis Idea Studies IAIN Walisongo, Semarang.




Monday, 2 January 2012

Memaknai Rayuan Populer

Dimuat di Koran Jakarta edisi 30 Desember 2011
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/79614

Judul : Memahami Budaya Populer
Penulis : Jhon Fiske
Penerbit: Jalasutra, Yogyakarta
Tebal : xii 240 halaman
Harga : Rp54.000

Diskursus populer memang unik. Selalu ramai didengungkan baik formal maupun nonformal. Kata "populer" dalam kamus KBBI 2008 adalah sesuatu yang dikenal dan disukai banyak orang. Istilah "popular" sejatinya hadir dari Bahasa Inggris pada abad-15, digunakan sebagai konotasi negatif dalam hukum dan politik, dengan arti rendah, dasar, vulgar, dan masyarakat kebanyakan.

Dalam perkembangannya, sejak akhir abad-18, populer hadir meluas dengan proyeksi positif, penekanan pada kelas dan penyatuan segala budaya. Dari sana, populer terus merajut hingga disebut menjadi sebuah budaya (pop culture). Sayangnya, pamor populer semakin riuh dibopengi sebagai alat ekonomi. Menempatkan populer, sebagai garda bisnis dan periklanan yang strategis.

Walhasil, rayuan populer dengan segala atribut yang dibawanya kerap menjerumuskan orang pada gelegar konsumerisme. Begitu pun arus populer hadir di negeri Indonesia lewat media massa, dan iklan di jalanan. Segmentasi populer yang luas, berakibat pada riuhnya kaum muda berlomba memburu produk pencipta rasa pop ini.

Buku berjudul Memahami Budaya Populer ini menaja pemahaman dasar ihwal budaya populer. Jhon Fiske tak tanggung menyajikan teori pop-nya lewat simbol realitas pop yang booming. Istilah pop amat terkait dengan pemodal, industri, produk, media massa, iklan, konsumen, dan uang. Sebut saja dalam fashion, ketika menjabarkan mode pop celana jins, ternyata ditunggangi kepentingan untung-rugi.

Secara kronologis, model populis celana jins terus berkembang beraneka rupa, mulai dari Skinny Jeans hingga Cut Bray. Kesemuanya menghadirkan budaya pop dengan kucuran uang berbeda. Selain itu, budaya populer telah menjadi corong yang dikonstruksi, bukan sesuatu yang berjalan alamiah. Pop telah menjadi berkas industri. Tak pelak, mengikuti budaya populer bisa dibilang memperbudak diri sendiri dengan kesadaran.

Budaya populer berbanding lurus dengan iktikad konsumerisme. Ketika seseorang mengikuti perkembangan populer, ia terus-menerus mengeluarkan uang mengikuti gaya populer saat itu. Di sinilah kedangkalan populer dirasakan. Kriteria populer terus berkembang melesat seiring berkembanganya zaman, meninggalkan kriteria populer sebelumnya. Walhasil, budaya populer mewabah sesuai hasrat yang timbul akibat propaganda media dan periklanan. Buku karya Jhon Fiske ini mampu membuka wawasan kesadaran pembaca.

Bagaimana pembaca mampu menaja rayuan populer, disajikan dengan bahasa sederhana. Patut menjadi bacaan siapa saja. Sekali lagi, populer dengan arti gaya, style, ide, perspektif, dan sikap yang benar-benar berbeda dengan budaya arus utama telah menjadi alat rayuan konsumtif.

Muhammad Bagus Irawan, pegiat Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.



Mengurai Catatan Konflik Akhir Tahun

Opini ini dimuat di Harian Pelita edisi 2 Januari 2012

Oleh Muhammad Bagus Irawan*

Banyak catatan konflik yang terukir menjelang penutupan rapor 2011. Setidaknya, ada tiga konflik berdarah yang terjadi di Papua, Mesuji, dan Bima, telah mendedahkan gejala gunung es konflik yang tak kunjung usai. Bila menilik tragedi di atas, sayang memang, tak ada indikator dan solusi jelas yang mampu meredam letupan konflik itu. Tak pelak, drama horor yang tersaji selalu menampilkan kegalauan dan simpati semata. Tanpa adanya penyelesaian tuntas.

Pertama, konflik yang terjadi di tanah Papua. Tanggal 10 Oktober 2011 terjadi pembubaran demo buruh di Timika yang menuntut kenaikan gaji. Akibatnya memakan seorang korban tewas dan puluhan luka-luka. Sejatinya, konflik Papua bisa dikatakan sangat kompleks, karena tersulut indikator politik, ras dan budaya, kelas sosial dan lainnya. Semuanya bermuara pada trigger (letupan konflik) berdirinya PT Freeport Indonesia di Timika 1967. Dalam sejarahnya, tercatat ihwal konflik Papua yang terjadi di sekitar lahan PT Freeport. Bisa disimpulkan bila, konflik warga Papua selalu terjadi akibat rasa kekecewaan terhadap pemerintah dan PT. Freeport.

Mengapa rakyat Papua begitu kecewa dan benci terhadap kehadiran Freeport? Dalam catatan Thomas Koten (2011), merujuk pada para tokoh adat Papua, Freeport bukan hanya “kawin" dengan kakaknya, tetapi juga dengan adiknya. Artinya, dengan begitu rakusnya Freeport tak hanya menggali dan menguras endapan emas pada sebuah gunung, namun juga gunung lainnya.

Akibatnya, tak lain berbuah kerusakan alam yang parah. Contohnya, munculnya lubang raksasa sedalam 700 meter lebih pada gunung “kakak”(Yet Segel Ongop Segel). Padahal dalam adat, gunung ini dikiaskan sebagai gunung keramat bagi Suku Amungme. Tak hanya itu, tiga sungai utama di wilayah Mimika, yakni Sungai Aghawagon, Sungai Otomona, dan Sungai Ajkwapan kini telah tercemar limbah kimiawi beracun dan tak lagi bisa dipergunakan bebas. Tragisnya, apa yang dibayarkan PT Freeport terhadap warga Papua sangat tak sebanding dengan kerugian besar yang dialaminya. Selain, pemerintah pusat juga tak bisa berbuat apa-apa. Walhasil endapan panas emosilah yang akan terus meletup-letup.

Kedua, konflik berdarah Mesuji. Kasus ini sebenarnya sudah lama namun tak tuntas. Hingga mencuat kembali setelah lembaga adat Megoupak melaporkan kasus ini ke Komisi III DPR dengan bukti rekaman video amatir yang memuat gambar pemenggalan kepala. Dengan harapan, agar membangkitkan nurani wakil rakyat segera menyelesaikan kasus sengketa agraria di kawasan Register 45 itu.

Sejatinya, kawasan Register 45 ditetapkan sebagai hutan kawasan negara (HKN) berdasar Keputusan Menteri Kehutanan No.785/Kpts-II/1993 tanggal 22 November 1993 tentang Penetapan Kawasan Hutan Produksi Register 45. Ketetapan itu kemudian diperkuat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 416/kpts-II/1999 serta Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000. Kawasan seluas 43.100 hektare (ha) yang terdapat di Kabupaten Mesuji ini secara formal diperuntukkan sebagai areal hutan dengan konsep hutan produksi tanaman industri (HPTI). Ini ditegaskan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 93/Kpts-II/1997 tanggal 17 Februari 1997 tentang Penetapan Pemberian HPHTI kepada PT SIL.

Bila ditelisik lebih jauh, sesuai catatan JPPN (2011), sejak 1997 di kawasan yang dinamai register 45 tersebut memang acap timbul bentrok antara warga dan pengelola lahan PT Silva Inhutani. Kericuhan selalu timbul karena upaya penggusuran terhadap warga yang menduduki daerah tersebut. Di hutan negara itu, memang ada ribuan penduduk yang mendiami sejumlah titik. Mereka membentuk perkampungan sendiri-sendiri. Antara lain, Pelitajaya, Karya Jaya, Moro-Moro, Tanjung Harapan, Stajim, Umbul Patuk, Palirik, Tugu Roda, Suko Agung, Umbul Alang, dan Talang Gunung. Total, ada sekitar 12 ribu KK yang mendiami kampung-kampung itu. Permasalahannya, seluruh kampung tersebut dianggap ilegal oleh PT Silva Inhutani maupun Pemkab Mesuji, kecuali Talang Gunung yang memang dihuni warga asli.
Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, setiap orang dilarang mengerjakan, menggunakan, atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, termasuk merambah hutan. Inilah yang menjadi dasar Tim Kerja Perlindungan Hutan Provinsi Lampung yang dibentuk gubernur Lampung melalui SK No. G/354/III.16/HK/2010 sejak awal bulan November bergerak. Di sinilah perlu ada fokus jelas dari pemerintah ihwal nasib para penduduk yang terancam haknya.

Ketiga, konflik agraria di Bima, Nusa Tenggara Barat. Secara kronologis, konflik pecah pada 24 Desember lalu, bentrokan antara polisi dan para pengunjuk rasa tak terhindarkan dan merenggut korban. Para pengunjuk rasa dibubarkan secara paksa setelah beberapa hari melakukan aksi menuntut pemerintah daerah membatalkan izin pengelolaan tambang yang baru dikeluarkan karena khawatir akan merusak lingkungan dan berdampak negatif terhadap mata pencaharian mereka. Seperti kasus lainnya, lagi-lagi lemahnya kebijakan pemerintah memihak rakyat menjadi selubung pemicu konflik.
Senada dengan perkataan Irwandi Arief, ahli pertambangan ITB. Bila bentrok serupa sudah sering terjadi, dan seluruhnya dimulai dari ketidaktanggapan pemerintah terhadap kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam usaha tambang. Di sini, ada indikasi besar ihwal bolongnya sistem operasi stakeholder. Dari konflik agraria yang muncul, adalah buah kebrobrokan birokrat yang melakoni tindak KKN. Sekali lagi, akibat KKN rakyat merana dan berkonflik. Bila kondisi ini tak segera ditanggapi, tak ayal konflik lainnya akan meledak seketika.

Resolusi Konflik
Secara substansi, konflik selalu tegak lurus dengan trigger yang muncul. Konflik bermula dari kata kerja Latin configere yang artinya saling memukul. Secara sosiologis, konflik dimaknai sebagai dinamika sosial antara dua orang atau lebih (kelompok) dimana salah satu atau kedua kubu berusaha menyingkirkan kubu lain dengan menghancurkan atau membuatnya tak berdaya. Konflik menyebabkan keadaan genting dan galau, baik dari pihak yang bertikai juga masyarakat sekitarnya. Bagaimanapun, konflik ini butuh penanganan agar bisa rampung dan damai. Salah satunya adalah resolusi konflik.

Adapun, upaya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Tim Nasional Penyelesaian Konflik Agraria patut diacungi jempol. Upaya itu guna menindaklanjuti maraknya konflik yang bersumber pada pertanahan yang terjadi di Indonesia. Tentunya kita berharap penuh akan kinerja nyata tim itu, sebagai upaya resolusi konflik. Dan penulis memandang, bila konflik terjadi akibat penyelewengan terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sebagai substansi resolusi, perlu disandarkan harmonisasi sebagai bagian bangsa. Bahwa, sejatinya rakyat Indonesia memiliki hak yang sama mendapatkan keadilan dan kesejahteraan hidup. Darinya, harus dibingkai kuat dalam jiwa “Bhinneka Tunggal Ika”. Semoga.

*Penulis adalah peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.