Labels

Saturday, 30 July 2011

Telaah Sistem Jaminan Sosial

Dilansir dari Majalah Gatra edisi 28 Juli - 03 Agustus 2011

Judul Buku     : Sistem Jaminan Sosial Nasional, Mewujudukan Amanat Konstitusi
Penulis          : Sulastomo
Penerbit        : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan        : Pertama, Juni 2011
Tebal           : xii + 148 halaman
ISBN            : 978-979-709-575-8

Secara garis besar, arah negara Indonesia sejatinya adalah negara kesejahteraan yang lupa jati diri. Negara ini berdiri dengan gagasan visioner para pendiri bangsa yang merekomendasikan secara tegas titik sejahtera  bagi seluruh bangsa. Buktinya, dalam alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945, tertulis “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Selain penegasan negara kesejahteraan juga ditunjukkan dengan pembentukan pasal tentang perekonomian dan tentang kesejahteraan dalam bab XIV, masing-masing; Pasal 33 dan Pasal 33 Ayat 1.

Persoalannya, bagaimana amanat itu bisa terimplementasi baik. Praktis, dalam sejarah Indonesia selama ini, praksisi ke arah negara kesejahteraan itu dimulai pada tahun 1968, berdasarkan SK Presiden No. 230/1968, lantas diberlakukan penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi pegawai negeri dan penerima pensiun dan hari tua. Dan untuk menjembataninya, didirikanlah PT Taspen bagi PNS, PT Asabri bagi TNI/ Polri, dan PT Jamsostek bagi pegawai swasta. Namun sampai dewasa ini, neraca pengelolaan jaminan sosial pekerja masih nampak tak jelas dan simpang siur. Ada intriks, ketika sebagian besar jaminan bagi PNS menjadi beban APBN, sementara jaminan pekerja swasta tak terpenuhi karena pemberi kerja tak kuasa memberikannya. Dalam catatatn Sulastomo, praktis hanya sekitar 20 persen dari 230 juta penduduk Indonesia yang mampu merasakan jaminan sosial. Buku berjudul “Sistem Jaminan Sosial Nasional, Mewujudukan Amanat Konstitusi” ini mencoba menelaah dan mengkritisi secara mendalam ihwal agenda penetapan dan perwujudan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Mengingat, dalam sejarahnya masih terkendala salah urus dan belum menyentuh seluruh penjaminan kesejahteraan bangsa seperti amanat konstitusi. Ikhtiar penulisan Sulastomo, tersentuh dengan bagaimana ia menelurkan gagasan dan pengalamannya menghadapi problem dalam pelaksanaan SJSN, selain ada sisi nasihat dan harapan agar Tim SJSN bersikap arif dan adil. Dalam buku ini, Sulastomo menyajikan nilai ungkap yang masih sebatas opini. Ada ulasan mendalam tentang; bagaimana perwujudan Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), hingga jaminan Kematian (JK).

Kemudian, adalah UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN, sebagai bentuk perlindungan sosial yang menjamin agar setiap peserta dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup minimal yang laik menuju terwujudnya kesejahteraan sosial yang berkeadilan bagi seluruh rakyat. Kini, pemerintah dan DPR telah sepakat menggodok kembali UU SJSN itu, namun ada keterkatungan ihwal tarik ulur penghapusan empat bab dan 30 Pasal dalam daftar inventarisasi masalah, ini terkait selubung ekonomi-politik dari pelbagai kepentingan. Maka dibentuklah pansus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang ujungnya juga merevisi UU BPJS juga. Terkait ini Jusuf Kalla saat SJSN digodok menjabat Menko Kesra ikut menyarankan agar sembilan prinsip tetap dipertahankan, yakni; kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan status kedudukannya badan hukum publik berbentuk wali amanah bukan BUMN. (hlm. IX)

Pansus RUU BPJS bersandar Hak Inisiatif DPR (2009-2014) memiliki program kerja 47 hari, tanggal 9 Mei- 15 Juli 2011. Dalam buku ini, Sulastomo, yang pernah menjadi ketua tim SJSN, menjabarkan ada inisiatif lain BPJS untuk melebur empat BUMN tadi. Secara ekonomi, hal itu akan menimbulkan konsekuensi ekonomi-politik. Penggabungan ini akan menimbulkan rush atau pencairan dana Jamsostek dalam jumlah besar. Demikian pula dengan program Jaminan Hari Tua (JHT) yang memiliki banyak nasabah. Dalam tataran kebijakan praktis, BPJS bermaksud menyediakan perlindungan sosial, mencakup bantuan sosial atau jaminan sosial serta asuransi sosial secara universal bagi seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, secara konseptual, penggabungan tersebut tidak berakar pada filosofi perlindungan sosial yang sebenarnya.

Selanjutnya, konsep perlindungan sosial, jaminan sosial, atau bantuan sosial adalah bentuk perlindungan kesejahteraan sosial bagi kelompok paling rentan yang tidak memiliki penghasilan layak. Negara wajib menyediakan perlindungan sosial terhadap kelompok ini. Sedangkan asuransi sosial adalah jenis perlindungan yang diberikan melalui kepesertaan dengan membayar premi tertentu. Jika dua konsep ini digabung, akan menimbulkan kerancuan, baik pada jenis layanan sosial yang diberikan maupun hak-hak dari peserta BPJS. Bahkan, ada slentingan dibukanya kesempatan investasi asing dalam SJSN, malah akan menjabarkan keterbingungan nilai penjaminan itu sendiri. Sekali lagi, menyiapkan jaminan sosial bagi rakyat merupakan tanggung jawab negara. Maka dari sana, dituntut keseriusan dan tanggung jawab atas pengelolaannya. Seluruh bangsa pasti berharap dengan tercapainya amanat perwujudan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga.

Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, peneliti Idea Studies IAIN Walisongo, Semarang.

HAM di Mata Nurcholish Madjid

Dilansir dari Perada Koran Jakarta edisi Selasa, 26 Juli 2011

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/67562

Judul Buku    : Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Pandangan Nurcholish Madjid
Penulis          : Mohammad Monib dan Islah Bahrawi
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun            : 1, 2011
Tebal             : 384 halaman
Harga            : Rp80.000,-

Membincang seputar Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, tentunya kita masih ingat dengan pelbagai kasus pelanggaran yang tak selesai, bahkan tak terjamah hukum, masih gentayangan menjadi catatan gelap semisal; kasus Tanjung Priok, Penembakan Misterius, Talangsari, Kasus Semanggi, kasus Trisakti, pembunuhan Munir dan lain sebagainya.

Dari sini ada pertanyaan, sampai di manakah letak penghargaan HAM bangsa ini? Mengapa masih saja muncul kasus pelanggaran HAM yang terjadi? Menjadi indikasi bila wacana dan pelaksanaan HAM tidaklah populer di mata sebagian besar bangsa.

Padahal, secara historis, masyarakat Indonesia mulanya menjelma dan memproklamirkan kemerdekaan dalam wadah negara-bangsa dilandaskan pada titik kesadaran akan HAM tertinggi, setelah tiga abad diperbudak kolonialisme dan imperialisme.

Wacana HAM ini pun dirumuskan dalam falsafah dan ideologi bangsa yang tertuang dalam sila-sila Pancasila, Mukaddimah, dan pasal-pasal UUD 1945. Namun, implementasi dari nilai HAM sendiri masih dalam ruang kosong. Menyoroti hal ini, guru bangsa dan pemikir visioner Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah menyatakan, bila perwujudan HAM Indonesia adalah kebebasan yang bertanggung jawab.

Pandangan Cak Nur ini dirasa cukup beralasan, bagaimana imaji masyarakat kita tak lepas dari ritus agama dan kultural yang terakomodasi dalam implementasi kontekstual negara.

Buku berjudul Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish Madjid ini hadir guna merangkum dan mengelaborasi wacana, pandangan, dan gagasan HAM ala Cak Nur yang identik dengan angin keislaman.

Kita mengenal Cak Nur sebagai “lokomotif” pembaharuan Islam Indonesia, begitu rajin menelurkan gagasan yang bernas-walaupun dalam sejarahnya, ia termasuk cendekiawan yang kontroversial dan disalahpahami. Cak Nur menarik garis panjang bila HAM bukanlah hal baru, bahkan HAM ada sepanjang keberadaan manusia.

Kemudian, ia mengisahkan pelanggaran HAM pertama kali adalah tindak pembunuhan Qabil atas Habil, anak dari Adam dan Hawa. Dari kisah itu, Al Quran menegaskan prinsip HAM pertama yakni hak hidup yang harus dihormati dan dilindungi.

Kemudian dipertegas dalam QS Al-Maidah 32; bila siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka soalah-olah dia membunuh seluruh manusia. Dan siapa yang memelihara kehidupan manusia, seolah-olah dia memelihara kehidupan manusia seluruhnya (hlm 113).

Bagi Cak Nur, HAM sejatinya mengadopsi nilai Islam yang inklusif. Kemudian, ia membedakan antara konsep HAM islamis yang berbenturan dari konsep HAM barat yang begitu sekuler. Di sini diangkat pandangan Cak Nur pada HAM islamis dan perwujudannya menghadapi beberapa kasus: hukuman mati, aborsi, nikah beda agama, eutanasia, dan lainnya. Dalam kasus aborsi, jelas bila dilakukan semena-mena adalah pelanggaran hak hidup bayi.

Dalam fiqhiyyah kita mengenal empat madzhab besar di Indonesia, kesemuanya memiliki pemahaman berbeda menyangkut kebolehan aborsi. Namun, kesemuanya bisa ditarik, aborsi dibolehkan hanya ketika dalam keadaan gawat darurat yang menghadang kelahiran bayi. Semisal pada kasus thalassemia yang tak bisa ditangani kedokteran dan berakibat buruk pada keberadaan janin.

Di sini berlaku kaidah ushul fiqh; "al-dlaruratu tubihul mahdzurat" (keadaan darurat membolehkan hal terlarang) dan "idza ta'aradlatul mafsadata-i ru'iya a'dzamuhuma dlararan bi'rtikabi akhaffihima" (jika dua keburukan menghadang, harus dihindari yang lebih berat bahayanya dengan menempuh yang lebih ringan).

Buku ini cukup komprehensif menjabarkan pemikiran Cak Nur tentang Islam dan HAM. Dalam penyusunan, kedua penulis menghadirkan pelbagai makalah, tulisan Cak Nur di media, buku Cak Nur sendiri, buku tentang Cak Nur, dan data pendukung lainnya.

Buku ini bisa menjadi teman duduk secara khusus bagi peminat kajian HAM dan Cak Nur, juga bagi masyarakat pada umumnya.

Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, mahasiswa Tafsir Hadist IAIN Walisongo Semarang

Menguak Dilematisasi Hukum

Dilansir dari Koran Jakarta edisi Selasa, 19 Juli 2011

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/66993

Judul : Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia
Penulis : Abdul Aziz Hakim
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tahun : 1, 2011
Tebal : xii 284 halaman

Berbicara tentang tatanan negara hukum dan demokratis di Indonesia, tentunya kita bisa ambil contoh bagaimana kasus Prita bisa mencuat. Secara demokratis, Prita selaku warga negara tentunya memiliki kebebasan hak bersuara, untuk mengeluh dan mengkritik pelayanan RS OMNI Internasional.

Namun, apa jadi, akibat kritiknya di dunia maya, malah menjadi batu loncatan gugatan pencemaran nama baik, hingga menjebloskan Prita ke hotel prodeo. Secara hukum, tampaknya sah saja hal itu dilakukan, namun, secara hukum
positif, nilai kemanusiaan yang coba digali perangkat hukum Indonesia tampak masih jauh dari harapan.

Kasus Prita yang kini sedang dalam proses akhir Pengajuan Kembali Mahkamah Agung, sudah jelas menempatkan warga lemah menjadi sasaran murka hukum. Padahal, bila diadakan jajak pendapat seluruh bangsa Indonesia, saya sependapat bila mayoritas akan setuju dan mendukung kebebasan bagi Prita.

Buku berjudul Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia gubahan Abdul Aziz ini, sejatinya mencatat dan mengkritisi ekspresi dan implementasi tatanan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pikiran penulisan, menempatkan
kritik Aziz tertuju pada tumpang-tindih dan karut-marutnya pertimbangan hukum atas dasar paradigma positivisme.

Paradigma ini menempatkan hukum hanya sebagai seperangkat aturan yang sudah disahkan negara (ius constituendum). Padahal, di sini hukum harus sebagai alat legitimasi bagi seluruh bangsa, tak pandang bulu. Akibatnya, arah kebijakan hukum di Indonesia selalu dibopengi oleh kepentingan aparat negara dan elite penguasa yang berduit, sedang rakyat bawah menjadi korban legitimasi konsepsi hukum positivisme yang berpeyorasi apik.

Konsepsi negara hukum semestinya bukan hanya wacana semata di setiap negara. Ia harus ada dan berjalan adil dan bersih dalam prakteknya. Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amandemen keempat 2002, konsepsi negara hukum atau rechtstaat, yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3). Dalam konsep negara hukum, hukumlah yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan, bukan politik atau ekonomi.

Namun di negara kita, implementasi penegakan hukum itu masih menjadi barang langka, dan bahkan hanya mitos belaka. Tak ayal upaya dan wacana penegakan hukum di Indonesia hanya sejalan dengan dilematisasi program yang tak akan berjalan. Mengingat kondisi perangkat hukum sudah terlalu menyimpang dan melenceng dari konsep idealnya. Ini terbukti dengan adanya beberapa kasus pelanggaran hukum yang dilakukan aparat negara. Korupsi semakin merajalela tanpa ada penegakan hukum yang setimpal. Akhirnya, negara hukum pun hanya menjadi simbol paradoksal dan labirin usang bagi bangsa ini.

Secara subtantif, negara hukum adalah negara yang berlandaskan hukum dan keadilan bagi warganya. Di mana, kekuasaan negara dibatasi oleh hukum, sehingga segala tingkah lakunya harus berlandaskan hukum. Namun, kesadaran semacam ini tampak belum membudaya dalam penegakan hukum di Indonesia. Tak pelak, orientasi hukum cenderung berubah menjadi alat pencoreng suatu tindakan, entah itu tindakan penyelenggara negara atau pun rakyat sendiri. Akhirnya, identitas bangsa dan negara akan dinilai dan terlihat dari bagaimana wajah penegakan hukumnya. Tentunya, kita berharap Indonesia akan menjadi negara hukum yang sejati, menegakkan keadilan dan kebersihan.

Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, aktivis Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.

Monday, 18 July 2011

Bukan Bencana Biasa

Dilansir dari Perada Koran Jakarta edisi 24 Juni 2011

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/65229
http://www.issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_1074_-_24_juni_2011

Judul : Bencana Mengancam Indonesia
Editor : Irwan Suhanda
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : 1, April 2011
Tebal : xviii 250 halaman
Harga : Rp50.000

Bencana selalu menampilkan kompilasi yang tidak menyenangkan. Di sana ada bayang duka, kesedihan, kehilangan, dan sederet kerugian bagi siapa saja yang tertimpa. Bencana juga menawarkan pergulatan bagi manusia. Darinya, pantas bila manusia selalu mencoba meraba, mengamati, dan mengajinya menjadi suatu kerangka siklus kultural yang bisa dihindari dan diwaspadai kedatangannya.

Namun, ketika murka bencana sudah tak terbendung lagi, alam pun menerima menjadi bias kepasrahan. Keadaan ini memang sudah menjadi keniscayaan dari Tuhan, seperti pesan yang termaktub dalam QS Al-Baqarah 155.

Menilik keadaan negeri Indonesia, sejatinya secara geografis Nusantara terletak di lembah cincin api yang rawan bencana. Tak heran bila dalam National Geographic Volcano 2010 dinyatakan, "Di Pulau Jawa saja, 120 juta orang tinggal di dalam bayang-bayang lebih dari 30 gunung berapi." Sungguh miris hidup di alam Indonesia yang juga terkenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi.

Buku berjudul Bencana Mengancam Indonesia ini hadir bukan untuk menakut-nakuti bangsa Indonesia, namun menjadi kompas yang memandu kita agar lebih peka terhadap kedatangan setiap bencana. Dari buku ini, kita diajak lebih siap menyikapi bencana yang mengancam Indonesia.

Sisi penulisan buku ini menarik. Ini merupakan hasil antologi laporan khusus wartawan Harian Umum Kompas. Memang buku ini sengaja dihadirkan sebagai wujud keprihatinan dan kegelisahan. Ibaratnya, setiap inci Indonesia menawarkan daya magnetis terhadap bencana. Darinya, bencana dibagi menjadi dua ranah besar: bencana alam dan bencana ulah manusia.
Sebagai gambaran, kita pasti masih ingat dengan bencana alam semisal tsunami Aceh, gempa Yogyakarta, dan meletusnya Gunung Krakatau, yang menelan jutaan nyawa manusia dan meluluhlantakkan alam sekitar.

Juga, bencana ulah manusia, seperti maraknya korupsi dan bopengnya wajah hukum. Sisi lain bencana juga dilihat dari dua dunia: antara bencana nyata dan maya. Bila bencana nyata merusak fisik manusia dan alam, bencana maya begitu merusak sisi dalam manusia. Moral, rasa, sifat, dan perilaku manusia yang tersulut pengaruh gesekan ekologi internet.

Di bagian pembuka, lewat tulisan "Dalam Keniscayaan Daulat Alam", Ninok menjelaskan betapa daulat alam menjadi neraca keberadaan bencana. Untuk mengantisipasinya memang perlu perasaan tanggap bencana kapan dan di mana saja. Laku ini diimplementasikan dengan rasa solidaritas hidup berkesinambungan ketika bersanding dengan alam lingkungan. Alam dan manusia sejatinya diciptakan untuk saling menjaga, dan inilah yang perlu menjadi orientasi sikap manusia sekarang yang seakan-akan lupa, rakus, dan tega menghabisi adanya alam.

Selanjutnya diterangkan upaya mitigasi bencana alam kita yang hanya sampai sebatas wacana dan orientasi tanpa praksis menyeluruh dan nyata. Tampaknya inilah yang menjadi problem budaya yang acap menimbulkan bencana lagi.

Beranjak pada bencana ulah manusia, kita memang sudah sadar bila meledaknya penduduk Nusantara juga menjadi bencana manusia yang perlu diatasi. Selain memang laku kotor para manusia itu yang sadar merusak dan merugikan alam dan
manusia lain. Walau buku ini identik dengan elaborasi bencana, ada sebutir cahaya yang melegakan dalam bab "Metropolitan, Olahraga", yakni masih adanya optimisme perubahan yang lebih baik dalam prestasi olah raga kita (halaman 204).

Akhirnya, buku ini sengaja menyoroti posisi Indonesia yang diselimuti bencana. Harapannya, rakyat waspada dan bersabar dalam hal ini.

Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, mahasiswa FUPK IAIN Walisongo Semarang

Mencontoh Kepemimpinan Semar

Dilansir dari PERADA Koran Jakarta edisi 20 Juni 2011

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/64900
http://www.issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_1070_-_20_juni_2011

Judul Buku                  : Semar Mesem
Penulis                         : R Toto Sugiharto
Penerbit                       : Diva Press, Yogyakarta
Tahun                          : 1, Mei 2011
Tebal                           : 396 halaman
Harga                          : Rp55.000

Mendengar kata Semar, nalar kita pasti tertarik kedalam dunia pewayangan punakawan yang terdiri juga dari Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun, posisi Semar dalam riwayat kuno Jawa ini adalah sebagai sesepuh yang bertuah, manusia setengah dewa penjelmaan Sang Hyang Ismaya. Semar sendiri berasal dari kata tan samar, artinya tidak tertutupi oleh tabir. Di sisi lain, Semar juga merupakan lambang dari penjaga kedamaian dan keadilan kehidupan manusia di dunia. Bila dirunut jauh, Semar menjadi entitas kuno khas Nusantara, ia menjadi tokoh imajinasi yang melangit sebelum datangnya agama-agama di Indonesia; Hindu, Budha, Islam dan Kristen. Praktis tokoh Semar mengandung nilai filosofi tinggi dalam alam ide murni bangsa Indonesia.

Cerita dimulai, Domisilinya di Karang Kadempel, Karang berarti gersang dan Dempel yang berarti keteguhan hati dan jiwa menggambarkan betapa Semar memang sarat dengan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi karakter manusia pada umumnya juga. Ini ini terbukti tatkala Jonggring Saloka kayangan para dewa bergejolak, maka Semar turun tangan lewat Semar Mbangun Kayangan (Semar membangun Kayangan). Begitu muncul ketidakadilan dan ketidakbenaran sistem, maka Semar pun tergerak dalam Semar Gugat (Semar Menggugat), dan masih banyak lagi.

Buku berjudul “Semar Mesem” ini adalah novel yang penuh gairah. Di dalamnya diceritakan Semar sebagai pemimpin yang tegar, benar, dan bersahaja. Semar adalah sosok yang nyata dan tidak nyata. Ada dalam tiada, tiada tetapi ada, dan laik sebagai panutan—suri tauladan dengan segala budi dan laku baiknya. Walau pembaca akan kerap menuai guyonan yang menggelitik, namun sisi penulisan novel ini tak lain ingin menggugah pembaca mendalami nilai filosofi kepemimpinan Semar yang apik. Khazanah legendaris jawa, menjadi suguhan yang kental dalam alur tulis novel ini, darinya memang dihadirkan sebagai bahan ajaran legacy kearifan local sebagai penggugah moral.

Diceritakan Semar yang keberadaannya memang dimaksudkan untuk menjaga ketentraman di muka bumi (memayu hayuning bawana) dan ketentraman antar sesama umat manusia (memayu hayuning sasama) tak pelak adalah modus dinilai mengemban titah yang berat. Namun, Semar tak gentar dengan titah  ini—atau makhluk, di sini Semar mengemban amanat untuk ngawula (mengabdi) berupa dharma atau amalan baik kepada bendara alias juragan bin majikan, juga kepada bangsa dan negara. Yang menarik pada sebagian masyarakat Jawa masih menganggap Semar merupakan sosok filosofis yang diyakini menjadi pamong para kesatria agung. Siapapun tokoh yang berdekatan dengan Semar dan dari mana ia berasal akan merasa tentram dan ujung-ujungnya mengalami pencerahan. Bapak dari tokoh punakawan Gareng, Petruk, dan Bagong ini seolah tidak pernah mengenal kata sedih. Bicaranya spontan tetapi mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur. Sehingga orang yang sedih menjadi gembira, mereka yang susah bisa tertawa. Itulah Semar yang mengawal kebenaran dan hati nurani pandawa sebagai representasi tokoh dunia putih.

Ikhtiar jernih buku ini adalah menggiring moralitas bangsa agar menemukan sifat  idealitas pemimpin. Di mana, kita sadar bila bangsa kini telah mengalami krisis kepemimpinan yang hebat. Pemimpin sekarang banyak yang lupa dengan nilai dasar pemimpin, malahan mereka dengan sengaja memanfaatkan kepemimpinannya untuk mengeruk keuntungan pribadi yang begitu hina. Tentu, keadaan seperti ini sangat mengerikan. Dan Novel “Semar Mendem” menjadi pengingat ihwal kelupaan bangsa akan sisi idealitas pemimpin yang sebenarnya, nilai itu terwakili oleh sifat dan laku juang Semar yang berbudi. Sekian.

Muhammad Bagus Irawan, aktivis Idea Studies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.

Resensi Buku Penerbit Buku Kompas


Menelusuri Perang Intelijen


Dilansir dari Perada Koran Jakarta edisi 15 Juni 2011

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/64489

http://issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_1065_-_15_juni_2011/1

Judul : Operasi Fortitude

Penulis : Darma Aji

Penerbit : Penerbit buku Kompas, Jakarta

Tahun : 1, 2011

Tebal : xviii + 414 halaman

Membaca buku ini sontak saya teringat agen rahasia James Bond, si 007 dari badan intel M16, Inggris, seorang perayu ulung yang agak kocak, jago strategi dan berkelahi, serta dipersenjatai alat-alat canggih serba modern, selain agen rahasia yang dikenal anak-anak diadopsi dalam peran film kartun; Kim Possible, Totally Spies, dan Tin-Tin, tokoh yang menyenangkan dengan kejelian dan kelucuan, jauh dari kesan angker maupun menakutkan.

Namun dalam buku ini, sosok intel (mata-mata) itu dijelaskan jauh dari kesan dan gambaran kita dari tokoh-tokoh di atas. Buku berjudul Operasi Fortitude ini patut menjadi bacaan yang langka bagi pecinta taktik dan strategi. Buku ini mengelaborasi bagaimana prosesi panggung laga para spionase tatkala berperang strategi dan taktik dengan pertaruhan nyawa. Bagaimana agen rahasia Sekutu dengan segala jerih payahnya, mampu memukul mundur kedigdayaan pasukan Nazi Jerman hanya dengan kemenangan taktik kelihaian para spionase M16.

Buku ini sebagai rekam historis, namun dikemas dalam sudut pandang beda dari buku sejarah lain yang biasa menerangkan bagaimana proses perang dunia II berjalan lengkap dengan ledakan amunisi dan korban nyawa yang melayang. Buku ini memandang bagaimana proses kreatif dibalik layar perang, bagaimana kerja spionase, intelijen yang memiliki peran vital sebagai "tim sukses" perang.

Di sini diuraikan peran intelijen yang memantau, memata-matai gerak lawan, dan menyamar untuk mengorek info, memaksakan dirinya melabuh ke dalam lembah ranjau, dengan pertaruhan nyawa. Bila dipikir seksama, tugas ini memang tugas besar yang sering kali tak beroleh jasa karena independensi intel yang memang disembunyikan. Kepahlawanan para intelijen berada pada titik nadir siap tidak popular. Dan inilah pesan khusus tatkala orang zaman sekarang selalu mengukur pengorbanan dengan timbal balik, berkorban secara tanpa pamrih menjadi sangat langka.

Secara tipologi, penulisan buku ini cukup sulit seperti diakui Aji karena mengupas cerita yang tersebar dalam literatur historis yang sering kali dipertanyakan validitasnya (hlm xvi).

Secara kronologis, di balik latar PD II (1939-1945) pemerintah Inggris, yang bergabung dengan sekutu Amerika Serikat, mengandalkan dinas sekutu M16. Sedang Nazi Jerman diwakili badan intelijen Abwehr-nya. Buku ini dielaborasi ke dalam 29 judul bab yang siap menggetarkan imajinasi dalam perang taktik kita. Dijelaskan bagaimana tentara bawah laut Nazi mampu

melacak rute dan menenggelamkan ratusan kapal induk sekutu yang sangat vital menopang keberadaan pasukan sekutu di zona perang, tak pelak, dari sana pasukan Nazi dapat memukul mundur tentara sekutu yang kekurangan pasokan amunisi dan sembako

Namun, berkat kelihaian intel M16 mengelabui strategi intel Nazi. Walhasil, mereka pun dapat menyokong pasukan dan persenjataan tanpa dideteksi kapal selam Nazi. Kemudian memukul mundur pasukan Nazi.

Walaupun dalam sistematikanya terkesan menyajikan prolog yang tak mengarah dan sulit dipahami alur per bab-nya, namun buku ini cukup menjanjikan terbongkarnya rahasia perang para intel saat PD II kala itu. Selamat membaca..!

Peresensi : Muhammad Bagus Irawan, pegiat Idea Studies, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.

Pemikiran


Menuju Paradigma Agama Madani Nusantara
Muhammad Bagus Irawan

Dilansir dari Website Islam Liberal, 22 Juni 2011

http://islamlib.com/id/artikel/menuju-paradigma-agama-madani-nusantara

“Islam madaniy mengajak pada titik temu (kalimat sawa’) agama-agama. Semua agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Ada usaha untuk mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama. Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Bukan hanya rahmatan lil mutamazhibin ataupun rahmatan lil muslimin saja. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.”

Peristiwa berdarah pada 6 Februari 2011 yang lalu terhadap Jamaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, yang mengakibatkan tiga orang tewas dan lima orang luka-luka adalah ancaman nyata terhadap kebebasan berkeyakinan dan kebhinnekaan di Republik ini. Sebelumnya, tindakan kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah juga telah terjadi di Kuningan, juga di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Sekali lagi, pemerintah membiarkan kelompok radikal menggunakan cara mereka sendiri yang tidak berperikemanusiaan karena perbedaan berkeyakinan. Apakah sebenarnya yang bersembunyi di balik kekerasan itu? Apakah benar-benar itu ungkapan kebencian suatu penganut agama tertentu? Apakah itu sebagai “luapan keimanan” sekelompok masyarakat terhadap agama tertentu? Ataukah ada skenario lain yang berdiri di belakang layar, yang bertujuan mengalihkan berbagai persoalan dan kejadian-kejadian terselubung berbau politik?

Bertolak dari peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang sangat memprihatinkan itu, saya ingin mengangkat gagasan tentang agama madani. Yang saya maksud dengan agama madani bukanlah sebuah agama baru. Saya tetaplah seorang muslim yang beriman kepada keesaan dan kebesaran Allah. Di sini saya mendefinisikan “agama madani” sebagai agama Islam yang mengagungkan terwujudnya cinta kasih dan perdamaian berlandaskan rasa kemanusiaan, mendukung kebebasan beragama sesuai dasar keyakinan dan pemahaman. Saya sepakat dengan analisis Jalaludin Rakhmat yang membagi keberagaman Islam nusantara menjadi islam fiqhiy, islam siyasiy, dan islam madaniy.

Islam fiqhiy memusatkan perhatian pada ajaran fiqh yang dipraktikkan sehari-hari. Islam menjadi sangat ritual. Kesalehan diukur dari ritual. Pemahaman ini umumnya hanya memandang kelompoknya yang benar dan orang lain salah. Islam fiqhiy dengan demikian sebatas rahmatan lil mutamadzhibin atau rahmat bagi mereka yang sama mazhabnya saja.

Setelah itu berkembang islam siyasiy atau Islam politik. Islam politik menjadikan agama Islam sebagai komoditas politik. Pemahaman model seperti ini memusat pada perjuangan untuk merebut kekuasaan lewat konsep negara Islam, menegakkan syariat Islam, atau mendirikan khilafah. Keselamatan bukan untuk sekelompok Islam, tetapi untuk seluruh umat Islam, rahmatan lil muslimin. Ini artinya masih mengecualikan kelompok-kelompok di luar Islam.

Menurut islam fikhiy, kaum muslimin mundur karena dianggap meninggalkan al-Qur’an dan Hadis. Untuk maju, kita mesti kembali berpedoman kepada dua sumber itu. Mereka meyakini bahwa zaman para nabi dan sahabatnya adalah zaman paling ideal.

Islam siyasiy melihat kemunduran umat Islam akibat dominasi dan konspirasi Barat yang menghancurkan Islam. Mereka mengajak kita kembali merujuk zaman Islam menguasai seluruh dunia, yaitu masa Khilafah Ustmaniyah. Masa itu dianggap zaman ideal yang harus iperjuangkan lagi.

Kedua pemikiran itu mengantarkan kita pada islam madaniy. Semua agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Ada usaha untuk mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama. Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Bukan hanya rahmatan lil mutamazhibin ataupun rahmatan lil muslimin saja. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.

Jika islam fiqhiy itu berkutat pada urusan fikih dan islam siyasiy pada urusan politik, Islam madani berpusat pada pendidikan pembentukan karakter, etika dan akhlak yang positif. Tujuannya untuk membangun akhlak yang baik pada sesama manusia dalam kehidupan yang majemuk. Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Islam madani merupakan pencapaian akhir dari dua tahapan pemikiran sebelumnya. Ini bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan bagi kemanusiaan dan peradaban.

Indonesia merupakan negara majemuk, dan menjamin kebebasan beragama bagi seluruh penduduk Indonesia, tanpa kecuali. Tidak ada yang keliru dan tidak ada kelompok yang patut dipersalahkan dalam hal ini. “Monopoli” kebenaran sebuah agama hendaknya tidak menutup pintu bagi perdamaian dan toleransi untuk bersemayam dalam hati umat beragama. Setiap umat beragama memiliki pendirian masing-masing dengan keunikan dan dasar agamanya yang spesifik, mutlak, dan tidak dapat diganggu-gugat oleh keyakinan apapun.

Sebenarnya secara tekstual dan kajian pustaka dalam setiap ajaran agama, tidak ada suatu teks dalam sumber agama manapun yang mempreskripsikan perintah untuk merusak dan berbuat kekerasan terhadap apapun di sekelilingnya. Di dalam al-Qur’an disebutkan, tidak ada paksaan untuk memeluk agama tertentu. Artinya semua orang bebas untuk memeluk agama Islam atau tidak, bebas untuk meyakini Islam atau tidak. Bahkan di bumi Pancasila ini, semua warga negara Indonesia berhak dan selalu berhak untuk memeluk agama tertentu atau mendirikan agama baru yang sesuai dengan pendirian dan keyakinannya. Kembali ke bilik nusantara, kita mengetahui terlebih dahulu bahwa di negara kita terdapat 6 agama yang diakui secara resmi: Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan terakhir adalah Konghucu. Penganut keenam agama ini tersebar di seluruh pelosok negeri dengan mayoritas penganut Islam yang berjumlah sekitar 88%.

Kemajemukan dan pluralitas dalam berbagai hal: suku, budaya dan agama, hingga saat ini masih tetap mampu terjaga, tersatukan dengan baik di bawah simbol Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Walau kita juga tak dapat menafikan bahwa berbagai perbedaan dan kemajemukan tersebut menjadi salah satu faktor munculnya sejumlah konflik horizontal di negeri ini. Kemajemukan yang tumbuh subur di negeri ini, termasuk di dalamnya pluralitas agama, adalah sebuah realitas sosial yang harus kita terima. Berbagai perbedaan ini bila disikapi secara bijak dan penuh toleransi, maka ia bukan faktor yang melemahkan pilar kesatuan bangsa.

Tapi kemajemukan tersebut justru menjadi pilar penguat yang seharusnya mampu menyatukan berbagai elemen, dan merekatkan berbagai perbedaan menjadi sesuatu yang indah untuk dinikmati bersama. Piagam Madinah dengan jelas mengakomodir pluralitas agama. Kalaupun akhirnya muncul konflik, maka saya yakin bahwa bukan hanya perbedaan dan kemajemukan itu yang menjadi biang kerok. Tetapi ada variabel lain yang terlibat di dalamnya: ekonomi, pendidikan, kesenjangan sosial dan adanya orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari konflik yang tercipta.

Kasus terakhir di Bogor, yang menimpa Ahmadiyah, merupakan gambaran memilukan tercederainya hak asasi manusia sedemikian rupa, sehingga untuk beragamapun harus melukai dan menyakiti umat beragama lainnya. Mengapa umat beragama memicu timbulnya kekerasan dan tindakan anarkhis? Ini tentu harus diselesaikan secara elegan dan menjunjung tinggi kebebasan beragama bagi semua warga negara Indonesia. Pembicaraan dan musyawarah lanjutan harus diadakan secara humanis dengan tetap memberi kesempatan kelompok lain untuk mendirikan agama baru dengan keyakinannya sendiri.

Agama sejatinya adalah pendamai bukan penyulut anarkisme. Konsep agama madani adalah gagasan yang menyajikan nilai cinta kasih perdamaian kemanusiaan. Sudah saatnya kita mewujudkan nilai agama yang semestinya. Rekontruksi dan dekontruksi atas agama mesti menjadi perhatian utama. Keberagamaan di bumi nusantara yang beragam haruslah dihiasi dengan semangat toleran, memandang positif terhadap kemajemukan, multikulturalisme, dan pluralisme. Apabila ini terwujud, betapa agama akan menyatukan dan Bhinnekha Tunggal Ika sebagai ciri utama nusantara akan terejewantahkan dengan baik di bumi pertiwi Indonesia. []

*Mahasiswa FUPK IAIN Walisongo, Semarang


Menengok Cerpen Sitor Situmorang


Judul : Ibu Pergi ke Surga
Penulis : Sitor Situmorang
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta
tahun : 1, 2011
tebal : xxii + 218 halaman
Harga : Rp45.000,-


Siapa Sitor itu? sebuah pertanyaan yang saya sematkan saat pertama kali melihat antologi cerpen berjudul "Ibu Pergi ke Surga" ini. Dalam kesusastraan kita, Sitor dikenal sebagai pegiat angkatan 45, semasa dengan nama-nama seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Asrul Sani. Ternyata diantara namanama yang lekat dalam sejarah sastra Nusantara itu. Sitor Situmorang menempati kedudukan yang istimewa, ia adalah seorang legenda.

Di Indonesia, pengalaman hidup Sitor Situmorang membentang mulai dari zaman revolusi hingga ke zaman reformasi. Selain menulis puisi, prosa, cerpen dan drama, sejak dekade 1950-an Sitor juga terlibat aktif dalam berbagai polemik kebudayaan, khususnya dalam perdebatan arah bentuk kebudayaan Indonesia. Kehidupan Sitor mengembara dari Harianboho, sebuah pelosok di Sumatera Utara, hingga pernah menjejak tapak di tanah Paris selama tiga tahun—salah satu menara kebudayaan Eropa—untuk kemudian kembali lagi ke tanah air. Diakui, bila perjalanannya ke eropa kala itu mendebarkan pengaruh kuat pada hasil karyanya dan dengan polesan budaya lokal dan Nusantara, tak pelak menjadikan cerpennya menjadi khas.

Kini, di tengah usia yang menanjak semakin menua, 87 tahun, Sitor masih sanggup berdiri tegak dan memberi sambutan sekaligus membaca sajak berjudul Membalas Surat Bapak yang membuka antologi cerpen berjumlah 23 buah judul yang dihasilkan dalam dekade tahun 1950 hingga 1981 ini. Cerpen awal berjudul Ibu Pergi ke Surga yang dianggap masterpiece berkisah tentang seorang lelaki Batak yang harus kembali ke kampung halaman demi melihat ibu yang sudah di ambang kematian. Di dalamnya ada suguhan kisah rindu yang muncul melalui memori masa lalu tokoh berpadu dengan konflik antara tokoh lelaki danayahnya yang masih menganut kepercayaan pada dewa-dewa dengan pendeta.

Sekaligus diimbuhi pertentangan gagasan yang diam-diam terjadi antara tokoh lelaki dan pendeta. Hingga memuncak pada momen kematian ibu di malam Natal yang tak menghadirkan airmata. Ibu Pergi ke Surga menghadirkan kematian yang dingin dan sedih. Dilanjutkan dengan cerpen Kasim, lewat penulisannya yang datar, saya menangkap kewibawaan tokoh yang dipandang jauh namun dekat dengan kearifan masyarakat sekitar. Isinya kompleks sebagai wujud eksistensi yang tereduksi dalam balutan singkat sekitar 7 ribuan karakter.

Sitor dalam kuantitas mungkin sulit disematkan sebagai seorang cerpenis mengingat jumlah karyanya yang hanya 23 buah. Namun, menafikan itu, substansi dan kredo karyanya amatlah berkualitas beda
hingga menjadi santapan eropa mengenal budaya Nusantara yang dibawanya. Ini tercermin lewat judul penutup yang secara tegas menawarkan panorama dan sepak terjang haluan dan keindahan danau Toba dan penghuninya.

Digambarkan kesahajaan hidup, budaya lokal yang masih meninggikan arwah leluhur juga kontestasi alam yang merona. Ada siklus apik di awal, tatkala gelegar cerpen Sitor dirunutkan dengan latar
belakang dan waktu dimuatnya di media massa kala itu. Selebihnya, hadirnya buku berisi gelegar cerpencerpen ini bisa mengobati khasanah sastra yang apik ala Sitor yang tetap berkarya dengan impitas usia senjanya.
Selamat membaca.

*)Muhammad Bagus Irawan, pegiat Jepara Pena Club, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.

Dimuat di Analisisnews.com edisi Minggu 10 Juli 2011

http://analisisnews.com/analisis/resensi-buku/634-ibu-pergi-ke-surga