Saturday, 30 July 2011
Telaah Sistem Jaminan Sosial
HAM di Mata Nurcholish Madjid
Menguak Dilematisasi Hukum
Monday, 18 July 2011
Bukan Bencana Biasa
Mencontoh Kepemimpinan Semar
Resensi Buku Penerbit Buku Kompas
Menelusuri Perang Intelijen
Dilansir dari Perada Koran Jakarta edisi 15 Juni 2011
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/64489
http://issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_1065_-_15_juni_2011/1
Judul : Operasi Fortitude
Penulis : Darma Aji
Penerbit : Penerbit buku Kompas, Jakarta
Tahun : 1, 2011
Tebal : xviii + 414 halaman
Membaca buku ini sontak saya teringat agen rahasia James Bond, si 007 dari badan intel M16, Inggris, seorang perayu ulung yang agak kocak, jago strategi dan berkelahi, serta dipersenjatai alat-alat canggih serba modern, selain agen rahasia yang dikenal anak-anak diadopsi dalam peran film kartun; Kim Possible, Totally Spies, dan Tin-Tin, tokoh yang menyenangkan dengan kejelian dan kelucuan, jauh dari kesan angker maupun menakutkan.
Namun dalam buku ini, sosok intel (mata-mata) itu dijelaskan jauh dari kesan dan gambaran kita dari tokoh-tokoh di atas. Buku berjudul Operasi Fortitude ini patut menjadi bacaan yang langka bagi pecinta taktik dan strategi. Buku ini mengelaborasi bagaimana prosesi panggung laga para spionase tatkala berperang strategi dan taktik dengan pertaruhan nyawa. Bagaimana agen rahasia Sekutu dengan segala jerih payahnya, mampu memukul mundur kedigdayaan pasukan Nazi Jerman hanya dengan kemenangan taktik kelihaian para spionase M16.
Buku ini sebagai rekam historis, namun dikemas dalam sudut pandang beda dari buku sejarah lain yang biasa menerangkan bagaimana proses perang dunia II berjalan lengkap dengan ledakan amunisi dan korban nyawa yang melayang. Buku ini memandang bagaimana proses kreatif dibalik layar perang, bagaimana kerja spionase, intelijen yang memiliki peran vital sebagai "tim sukses" perang.
Di sini diuraikan peran intelijen yang memantau, memata-matai gerak lawan, dan menyamar untuk mengorek info, memaksakan dirinya melabuh ke dalam lembah ranjau, dengan pertaruhan nyawa. Bila dipikir seksama, tugas ini memang tugas besar yang sering kali tak beroleh jasa karena independensi intel yang memang disembunyikan. Kepahlawanan para intelijen berada pada titik nadir siap tidak popular. Dan inilah pesan khusus tatkala orang zaman sekarang selalu mengukur pengorbanan dengan timbal balik, berkorban secara tanpa pamrih menjadi sangat langka.
Secara tipologi, penulisan buku ini cukup sulit seperti diakui Aji karena mengupas cerita yang tersebar dalam literatur historis yang sering kali dipertanyakan validitasnya (hlm xvi).
Secara kronologis, di balik latar PD II (1939-1945) pemerintah Inggris, yang bergabung dengan sekutu Amerika Serikat, mengandalkan dinas sekutu M16. Sedang Nazi Jerman diwakili badan intelijen Abwehr-nya. Buku ini dielaborasi ke dalam 29 judul bab yang siap menggetarkan imajinasi dalam perang taktik kita. Dijelaskan bagaimana tentara bawah laut Nazi mampu
melacak rute dan menenggelamkan ratusan kapal induk sekutu yang sangat vital menopang keberadaan pasukan sekutu di zona perang, tak pelak, dari sana pasukan Nazi dapat memukul mundur tentara sekutu yang kekurangan pasokan amunisi dan sembako
Namun, berkat kelihaian intel M16 mengelabui strategi intel Nazi. Walhasil, mereka pun dapat menyokong pasukan dan persenjataan tanpa dideteksi kapal selam Nazi. Kemudian memukul mundur pasukan Nazi.
Walaupun dalam sistematikanya terkesan menyajikan prolog yang tak mengarah dan sulit dipahami alur per bab-nya, namun buku ini cukup menjanjikan terbongkarnya rahasia perang para intel saat PD II kala itu. Selamat membaca..!
Peresensi : Muhammad Bagus Irawan, pegiat Idea Studies, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.
Pemikiran
Muhammad Bagus Irawan
Dilansir dari Website Islam Liberal, 22 Juni 2011
http://islamlib.com/id/artikel/menuju-paradigma-agama-madani-nusantara
“Islam madaniy mengajak pada titik temu (kalimat sawa’) agama-agama. Semua agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Ada usaha untuk mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama. Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Bukan hanya rahmatan lil mutamazhibin ataupun rahmatan lil muslimin saja. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.”
Peristiwa berdarah pada 6 Februari 2011 yang lalu terhadap Jamaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, yang mengakibatkan tiga orang tewas dan lima orang luka-luka adalah ancaman nyata terhadap kebebasan berkeyakinan dan kebhinnekaan di Republik ini. Sebelumnya, tindakan kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah juga telah terjadi di Kuningan, juga di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Sekali lagi, pemerintah membiarkan kelompok radikal menggunakan cara mereka sendiri yang tidak berperikemanusiaan karena perbedaan berkeyakinan. Apakah sebenarnya yang bersembunyi di balik kekerasan itu? Apakah benar-benar itu ungkapan kebencian suatu penganut agama tertentu? Apakah itu sebagai “luapan keimanan” sekelompok masyarakat terhadap agama tertentu? Ataukah ada skenario lain yang berdiri di belakang layar, yang bertujuan mengalihkan berbagai persoalan dan kejadian-kejadian terselubung berbau politik?
Bertolak dari peristiwa pelanggaran kebebasan beragama yang sangat memprihatinkan itu, saya ingin mengangkat gagasan tentang agama madani. Yang saya maksud dengan agama madani bukanlah sebuah agama baru. Saya tetaplah seorang muslim yang beriman kepada keesaan dan kebesaran Allah. Di sini saya mendefinisikan “agama madani” sebagai agama Islam yang mengagungkan terwujudnya cinta kasih dan perdamaian berlandaskan rasa kemanusiaan, mendukung kebebasan beragama sesuai dasar keyakinan dan pemahaman. Saya sepakat dengan analisis Jalaludin Rakhmat yang membagi keberagaman Islam nusantara menjadi islam fiqhiy, islam siyasiy, dan islam madaniy.
Islam fiqhiy memusatkan perhatian pada ajaran fiqh yang dipraktikkan sehari-hari. Islam menjadi sangat ritual. Kesalehan diukur dari ritual. Pemahaman ini umumnya hanya memandang kelompoknya yang benar dan orang lain salah. Islam fiqhiy dengan demikian sebatas rahmatan lil mutamadzhibin atau rahmat bagi mereka yang sama mazhabnya saja.
Setelah itu berkembang islam siyasiy atau Islam politik. Islam politik menjadikan agama Islam sebagai komoditas politik. Pemahaman model seperti ini memusat pada perjuangan untuk merebut kekuasaan lewat konsep negara Islam, menegakkan syariat Islam, atau mendirikan khilafah. Keselamatan bukan untuk sekelompok Islam, tetapi untuk seluruh umat Islam, rahmatan lil muslimin. Ini artinya masih mengecualikan kelompok-kelompok di luar Islam.
Menurut islam fikhiy, kaum muslimin mundur karena dianggap meninggalkan al-Qur’an dan Hadis. Untuk maju, kita mesti kembali berpedoman kepada dua sumber itu. Mereka meyakini bahwa zaman para nabi dan sahabatnya adalah zaman paling ideal.
Islam siyasiy melihat kemunduran umat Islam akibat dominasi dan konspirasi Barat yang menghancurkan Islam. Mereka mengajak kita kembali merujuk zaman Islam menguasai seluruh dunia, yaitu masa Khilafah Ustmaniyah. Masa itu dianggap zaman ideal yang harus iperjuangkan lagi.
Kedua pemikiran itu mengantarkan kita pada islam madaniy. Semua agama bisa bertemu, dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Ada usaha untuk mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama. Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Bukan hanya rahmatan lil mutamazhibin ataupun rahmatan lil muslimin saja. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.
Jika islam fiqhiy itu berkutat pada urusan fikih dan islam siyasiy pada urusan politik, Islam madani berpusat pada pendidikan pembentukan karakter, etika dan akhlak yang positif. Tujuannya untuk membangun akhlak yang baik pada sesama manusia dalam kehidupan yang majemuk. Islam benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Islam madani merupakan pencapaian akhir dari dua tahapan pemikiran sebelumnya. Ini bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan bagi kemanusiaan dan peradaban.
Indonesia merupakan negara majemuk, dan menjamin kebebasan beragama bagi seluruh penduduk Indonesia, tanpa kecuali. Tidak ada yang keliru dan tidak ada kelompok yang patut dipersalahkan dalam hal ini. “Monopoli” kebenaran sebuah agama hendaknya tidak menutup pintu bagi perdamaian dan toleransi untuk bersemayam dalam hati umat beragama. Setiap umat beragama memiliki pendirian masing-masing dengan keunikan dan dasar agamanya yang spesifik, mutlak, dan tidak dapat diganggu-gugat oleh keyakinan apapun.
Sebenarnya secara tekstual dan kajian pustaka dalam setiap ajaran agama, tidak ada suatu teks dalam sumber agama manapun yang mempreskripsikan perintah untuk merusak dan berbuat kekerasan terhadap apapun di sekelilingnya. Di dalam al-Qur’an disebutkan, tidak ada paksaan untuk memeluk agama tertentu. Artinya semua orang bebas untuk memeluk agama Islam atau tidak, bebas untuk meyakini Islam atau tidak. Bahkan di bumi Pancasila ini, semua warga negara Indonesia berhak dan selalu berhak untuk memeluk agama tertentu atau mendirikan agama baru yang sesuai dengan pendirian dan keyakinannya. Kembali ke bilik nusantara, kita mengetahui terlebih dahulu bahwa di negara kita terdapat 6 agama yang diakui secara resmi: Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan terakhir adalah Konghucu. Penganut keenam agama ini tersebar di seluruh pelosok negeri dengan mayoritas penganut Islam yang berjumlah sekitar 88%.
Kemajemukan dan pluralitas dalam berbagai hal: suku, budaya dan agama, hingga saat ini masih tetap mampu terjaga, tersatukan dengan baik di bawah simbol Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Walau kita juga tak dapat menafikan bahwa berbagai perbedaan dan kemajemukan tersebut menjadi salah satu faktor munculnya sejumlah konflik horizontal di negeri ini. Kemajemukan yang tumbuh subur di negeri ini, termasuk di dalamnya pluralitas agama, adalah sebuah realitas sosial yang harus kita terima. Berbagai perbedaan ini bila disikapi secara bijak dan penuh toleransi, maka ia bukan faktor yang melemahkan pilar kesatuan bangsa.
Tapi kemajemukan tersebut justru menjadi pilar penguat yang seharusnya mampu menyatukan berbagai elemen, dan merekatkan berbagai perbedaan menjadi sesuatu yang indah untuk dinikmati bersama. Piagam Madinah dengan jelas mengakomodir pluralitas agama. Kalaupun akhirnya muncul konflik, maka saya yakin bahwa bukan hanya perbedaan dan kemajemukan itu yang menjadi biang kerok. Tetapi ada variabel lain yang terlibat di dalamnya: ekonomi, pendidikan, kesenjangan sosial dan adanya orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari konflik yang tercipta.
Kasus terakhir di Bogor, yang menimpa Ahmadiyah, merupakan gambaran memilukan tercederainya hak asasi manusia sedemikian rupa, sehingga untuk beragamapun harus melukai dan menyakiti umat beragama lainnya. Mengapa umat beragama memicu timbulnya kekerasan dan tindakan anarkhis? Ini tentu harus diselesaikan secara elegan dan menjunjung tinggi kebebasan beragama bagi semua warga negara Indonesia. Pembicaraan dan musyawarah lanjutan harus diadakan secara humanis dengan tetap memberi kesempatan kelompok lain untuk mendirikan agama baru dengan keyakinannya sendiri.
Agama sejatinya adalah pendamai bukan penyulut anarkisme. Konsep agama madani adalah gagasan yang menyajikan nilai cinta kasih perdamaian kemanusiaan. Sudah saatnya kita mewujudkan nilai agama yang semestinya. Rekontruksi dan dekontruksi atas agama mesti menjadi perhatian utama. Keberagamaan di bumi nusantara yang beragam haruslah dihiasi dengan semangat toleran, memandang positif terhadap kemajemukan, multikulturalisme, dan pluralisme. Apabila ini terwujud, betapa agama akan menyatukan dan Bhinnekha Tunggal Ika sebagai ciri utama nusantara akan terejewantahkan dengan baik di bumi pertiwi Indonesia. []
*Mahasiswa FUPK IAIN Walisongo, Semarang
Menengok Cerpen Sitor Situmorang
Judul : Ibu Pergi ke Surga
Penulis : Sitor Situmorang
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta
tahun : 1, 2011
tebal : xxii + 218 halaman
Harga : Rp45.000,-Siapa Sitor itu? sebuah pertanyaan yang saya sematkan saat pertama kali melihat antologi cerpen berjudul "Ibu Pergi ke Surga" ini. Dalam kesusastraan kita, Sitor dikenal sebagai pegiat angkatan 45, semasa dengan nama-nama seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Asrul Sani. Ternyata diantara namanama yang lekat dalam sejarah sastra Nusantara itu. Sitor Situmorang menempati kedudukan yang istimewa, ia adalah seorang legenda.
Di Indonesia, pengalaman hidup Sitor Situmorang membentang mulai dari zaman revolusi hingga ke zaman reformasi. Selain menulis puisi, prosa, cerpen dan drama, sejak dekade 1950-an Sitor juga terlibat aktif dalam berbagai polemik kebudayaan, khususnya dalam perdebatan arah bentuk kebudayaan Indonesia. Kehidupan Sitor mengembara dari Harianboho, sebuah pelosok di Sumatera Utara, hingga pernah menjejak tapak di tanah Paris selama tiga tahun—salah satu menara kebudayaan Eropa—untuk kemudian kembali lagi ke tanah air. Diakui, bila perjalanannya ke eropa kala itu mendebarkan pengaruh kuat pada hasil karyanya dan dengan polesan budaya lokal dan Nusantara, tak pelak menjadikan cerpennya menjadi khas.
Kini, di tengah usia yang menanjak semakin menua, 87 tahun, Sitor masih sanggup berdiri tegak dan memberi sambutan sekaligus membaca sajak berjudul Membalas Surat Bapak yang membuka antologi cerpen berjumlah 23 buah judul yang dihasilkan dalam dekade tahun 1950 hingga 1981 ini. Cerpen awal berjudul Ibu Pergi ke Surga yang dianggap masterpiece berkisah tentang seorang lelaki Batak yang harus kembali ke kampung halaman demi melihat ibu yang sudah di ambang kematian. Di dalamnya ada suguhan kisah rindu yang muncul melalui memori masa lalu tokoh berpadu dengan konflik antara tokoh lelaki danayahnya yang masih menganut kepercayaan pada dewa-dewa dengan pendeta.
Sekaligus diimbuhi pertentangan gagasan yang diam-diam terjadi antara tokoh lelaki dan pendeta. Hingga memuncak pada momen kematian ibu di malam Natal yang tak menghadirkan airmata. Ibu Pergi ke Surga menghadirkan kematian yang dingin dan sedih. Dilanjutkan dengan cerpen Kasim, lewat penulisannya yang datar, saya menangkap kewibawaan tokoh yang dipandang jauh namun dekat dengan kearifan masyarakat sekitar. Isinya kompleks sebagai wujud eksistensi yang tereduksi dalam balutan singkat sekitar 7 ribuan karakter.
Sitor dalam kuantitas mungkin sulit disematkan sebagai seorang cerpenis mengingat jumlah karyanya yang hanya 23 buah. Namun, menafikan itu, substansi dan kredo karyanya amatlah berkualitas beda
hingga menjadi santapan eropa mengenal budaya Nusantara yang dibawanya. Ini tercermin lewat judul penutup yang secara tegas menawarkan panorama dan sepak terjang haluan dan keindahan danau Toba dan penghuninya.Digambarkan kesahajaan hidup, budaya lokal yang masih meninggikan arwah leluhur juga kontestasi alam yang merona. Ada siklus apik di awal, tatkala gelegar cerpen Sitor dirunutkan dengan latar
belakang dan waktu dimuatnya di media massa kala itu. Selebihnya, hadirnya buku berisi gelegar cerpencerpen ini bisa mengobati khasanah sastra yang apik ala Sitor yang tetap berkarya dengan impitas usia senjanya. Selamat membaca.*)Muhammad Bagus Irawan, pegiat Jepara Pena Club, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.
Dimuat di Analisisnews.com edisi Minggu 10 Juli 2011
http://analisisnews.com/analisis/resensi-buku/634-ibu-pergi-ke-surga