Labels

Saturday, 17 December 2011

Menguak Monopoli Televisi Jakarta

Dimuat di Koran Jakarta edisi Senin 5 Desember 2011
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/77666

Judul : Televisi Jakarta di Atas Indonesia: Kisah Gagalnya Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia
Penulis : Ade Armando
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Tahun : 1, 2011
Tebal : 296 halaman
Harga : Rp49.000,-

Media televisi sejatinya memiliki peran vital dalam membentuk suara bangsa. Lebih jauh lagi, indikator tinggirendah intelegensia bangsa terlihat dan dibentuk oleh tayangan televisi nasional. Televisi pun memiliki andil dalam memonitor berjalannya status demokrasi.

Berjalannya demokrasi diukur dengan kebutuhan dan konstruksi rakyat secara multipolar dan berjaringan pada setiap pos daerah. Sayang, dunia pertelevisian kita terselubungi dominasi komersialisasi Jakarta. Fakta ini didengungkan Ade Armando melalui bukunya yang berjudul Televisi Jakarta di Atas Indonesia: Kisah Gagalnya Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia.

Penulis yang mantan anggota KPI, beranjak dari analisisnya (2004-2007), menyatakan kondisi gagal itu berlangsung selama hampir kurang lebih 20 tahun dan menjadi ketimpangan pelik karena dominasi pada sistem pertelevisian oleh stasiun-stasiun televisi swasta besar yang berpusat di Jakarta. Dengan mengutip data dari Media Scene, bisa dilihat pemasukan iklan televisi komersial pada 2007 mencapai 23 triliun rupiah dan sama sekali tak menyentuh daerah.

Sangat jelas monopoli TV Jakarta berkuasa. Secara kasat mata dapat ditebak, dari kondisi itu, televisi swasta Jakarta menjadi berkembang pesat menyudutkan televisi daerah yang terengahengah. Dari sanalah kritik Ade tertuju. Ade menampik upaya DPR dengan rumusan Undang-undang Penyiaran No 32 tahun 2002, ihwal TVRI sebagai televisi nasional yang merangkul seluruh pelosok negeri ini dengan penempatan jaringan-jaringan daerahnya.

Namun faktanya, peraturan itu tak terlaksana disebabkan kuatnya monopoli televisi swasta di Jakarta. Sederhananya, seluruh rakyat Indonesia, khususnya di luar Jakarta, dipaksa menonton suguhan siaran dari Jakarta, yang sejatinya kurang memberi manfaat bagi mereka dalam pelbagai bidang; baik itu politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya.

Apa pun itu, masyarakat butuh informasi perihal isu daerah setempat (hlm 31). Bukan kepalang, sistem yang ada ini salah. Sistem yang harusnya diterapkan di negara kita adalah sistem televisi berjaringan. Barang kali sistem televisi jaringan daerah menjadi solusi pada sistem pertelevisian kita. Kurang lebih itulah yang tersirat dalam gagasan buku Ade ini.

Selanjutnya, Ade juga menggali kritikan terhadap eksistensi TVRI. Ia menilai, TVRI sebagai saluran utama televisi Indonesia harusnya menyajikan tayangan yang apik sebagai alat pengukuhan keberagaman dan kemajemukan bangsa Indonesia.

Sayangnya, tidak ada keterikatan solutif yang diangkat Ade, sehingga kesimpulan yang disajikan menjadikan buku ini bersifat reaktif dan penuh argumentasi, inilah ciri khas yang akan dijumpai pembaca dalam buku ini.


Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, Aktivis Idea Studies, IAIN Walisongo Semarang.

Mengenang Hiburan Lokal Tempo Dulu

Dilansir dari Koran Jakarta edisi Senin, 5 September 2011

http://m.koran-jakarta.com/index.php?id=70453&mode_beritadetail=1
http://www.issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_1145_-_5_september_2011/1

Judul Buku : Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal
Penulis : Fandy Hutari
Penerbit : Insist Press
Tahun : 1, 2011
Tebal : xiv + 164 halaman
Harga : Rp40.000

Buku ini dibuka dengan catatan kecil penulis mengenang ihwal betapa kaya budaya dan kesenian yang sudah ditorehkan bangsa leluhur negeri ini. Barangkali, ingatan sederhana inilah yang mendorong penulis mengumpulkan rampai sejarah hiburan dan kesenian negeri ini. Kekayaan khazanah seni bangsa ini memang menjadi harta tak ternilai.

Dimulai dari kekayaan tradisi lokal, Fandy, sang penulis, berfokus pada elaborasi kesenian kawasan daerah kelahirannya, sekitar Jabodetabek. Sisi penulisan buku tercipta sebagai kumpulan antologi esai yang dijabarkan ke dalam 5 bagian. Dalam setiap bagian dielaborasikan judul esai tentang jenis hiburan dan budaya tertentu.

Pada bagian pertama, "Panggung Sandiwara Kita", diurai sejarah kelompok sandiwara Miss Tjitjih yang semula bernama Opera Valencia, namun diganti menisbahkan pada figur primadona yang bernama Nyi Tjitjih, seorang gadis jelita asal Sumedang, yang kemudian dipersunting pemilik Opera bernama Aboe Bakar Bafaqih, seorang keturunan Arab. 

Pada awal berdirinya tahun 1928, Opera Miss Tjitjih memulai merangkai cita rasanya dengan pengabadian sandiwara Sunda, namun setelah meninggalnya sang figur Nyi Tjitjih pada usia 31 tahun, opera itu mengalami dekadensi, walaupun tetap eksis hingga sekarang, berkah dari perjuangan keras Nyi Tjitjih hingga akhir hayat.

Kemudian, juga diungkap perjalanan perkumpulan sandiwara kala itu yang tak lepas dari persaingan antarkelompok. Dalam judul "Sepenggal Kisah Miss Riboet Orion dan Dardanella" dikisahkan betapa ketat persaingan pertunjukan sandiwara tempo dulu. Pada babak ini, Fandy mencatat kedua perkumpulan sandiwara itu menjadi benih sandiwara modern Indonesia, yaitu mereka telah merombak tradisi sandiwara klasik, memetakan episode cerita yang lebih ringkas, memainkan cerita asli bukan hikayat tempo dulu (hal 8).

Ada hal menarik, titik sulut persaingan kedua sandiwara ini selain pasar, adalah adanya kesamaan nama pemain lakon utama dan primadona antara Miss Riboet Orion dan Dardanella, hingga pada akhirnya kelompok Dardanella mengalah dengan mengubah nama pemainnya tadi menjadi Miss Riboet II.

Dalam "Budaya Lokal", Fandy bercerita tentang warna-warni tradisi dan budaya yang kian luntur dewasa ini. Semisal, Tradisi Rengkong, Seni

Masyarakat Agraris. Kesenian masyarakat Sunda ini dilakonkan dengan wujud tarian kuda renggong diselingi musik angklung dan perkusi dogdog. Adapun, istilah rengkong sendiri berasal dari nama alat untuk memikul padi dari sawah ke lumbung (hal 41). Juga, sintren sebagai kesenian magis yang menyejarah. Dalam instrumentasinya, sintren terdiri dari juru kawih atau sinden, diiringi tabuhan gendang dan sejenisnya. 

Adapun, unsur mistis yang disajikan adalah tatkala para sintren dengan suara merdunya memanggil bidadari, kemudian bidadari pun merasuki tubuh pesintren (kesurupan). Dalam sejarahnya, sintren menjadi alat perlawanan pada digdaya kolonialisme, juga sebagai lambang kebebasan. 

Selanjutnya, gotong domba, tradisi seni Kiara Beres. Kesenian ini ditandai dengan iring-iringan dua pasang arca domba berwarna hitam dan putih yang digotong empat orang (hal 62).

Buku ini berbicara tentang keaneragaman seni dan budaya lokal kita. Dewasa ini, dengan pesatnya perkembangan zaman, hingga semakin luasnya cakupan dan dampak globalisasi, sudah menggerus keberadaan tradisi itu.

Kritik penulis adalah penggugahan kesadaran dan kepedulian masyarakat kita dalam menghidupkan kembali khazanah tradisi apik itu.

Muhammad Bagus Irawan, pegiat Idea Studies, IAIN Walisongo.

Mimpi dan Cerita Masa Kanak

Dilansir dari Koran Jakarta edisi 4 Oktober 2011

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/72775

Buku berjudul Tagore dan Masa Kanak ini seutuhnya merekam aktivitas dan mimpi ketergirangan dan keterbebasan masa kanak-kanak. Tagore sang seniman peraih sastra nobel 1913 itu, menuliskan kaidah juang dan esensi seorang anak menjadi pribadi yang baik dan kuat. Lewat sentuhan khas budaya India, ia mengisahkan bagaimana anak-anak meraih cita dengan perjuangan keras. Sebaliknya, keterkungkungan dan penindasannya malah menjadikan masa kanak musnah, hingga harapan berkembang cerah tak tergapai, malah menyisakan tata sosiologis yang terbalik, di mana sang anak ketika dewasa ingin menggapai masa kanaknya kembali.

Kata disiplin yang acap diberikan orang tua kita haruslah mendapat koreksi ulang, dengan pemaknaan yang tepat sesuai mimpi anak. Hal ini bisa dikatakan mustahil, namun dalam uraian cerpen Tagore, inilah sejatinya labirin ikhtiar dan pesan dari masa kanak. Dalam pandangannya, orang tua dituntut membalik dengan masa kanaknya dahulu, sesuai konteks zaman anak sekarang tentunya. Nilai ungkap itu coba diurai Tagore dengan cerita-cerita lain, dan ketidakwajarannya.

Dalam pembacaan saya, ada kolaborasi apik lewat hasil terjemah dan alih bahasa Ayu Utami, di mana terjadi persinggungan dua budaya antara India dan Indonesia. Ini terlihat dari koreksi Ayu menampikkan budaya negerinya yang terlihat jauh dengan pemaknaan budaya asli Tagore. Pada titik ini, pembaca akan kesulitan memaknai cara pikir Tagore dengan konteks budayanya kala itu.

Perlu ada penceritaan ulang untuk memahamkan kaidah seni Tagore bagi pembaca, dan inilah yang harus diungkap Ayu, bisa lewat catatan akhir. Secara kategorisasi, buku antologi cerpen Tagore ini terbagi ke dalam tiga garis besar tema; bagian pertama, Cerita Lepas, di dalamnya terdapat empat judul cerpen. Dalam judul "Orang Suci di Atas Pohon", diceritakan bagaimana terjadi percakapan unik dan konyol antara Panchu dan Udho tentang klenik orang sakti di atas pohon yang mampu mengabulkan segala permohonan (hlm 4-8).

Di sini ada intrik apik, saat kemiskinan menimpa seseorang dan iman pun tak terjaga. Maka kelelahan dan keputusasaan pun datang. Jalan menuju kekayaan yang diartikan kebahagiaan pun dicari. Klenik menjadi salah satu jalannya dan ujungnya akan selalu saja banyak penyesalan yang hadir.

Bagian kedua, Kakek dan Cucu, susunan cerpennya didominasi cerita serial "Si Orang 01-04" (hlm 38-70) yang berkisah tentang kegemilangan cerita kakek tentang kebakuan sebuah cerita itu sendiri, dan lucunya cerita ini dikisahkan kepada dan melibatkan cucunya dalam kehidupan nyata. Sebuah skenario ulung yang coba diterjang Tagore lewat gubahan "ekspedisi cerminnya" terkesan mengandai khayalan multikompleks, sebuah cerita tentang cerita dan diolah dari tokoh cerita pula. Selanjutnya, dalam bagian kedua juga diceritakan judul; "Sang Ilmuwan", "Istana Raja", "Kabar Besar", "Peri", dan ditutup "Lebih-Dari-Benar".

Membuka bagian terakhir buku ini adalah gagasan besar Masa Kanak. Tipologi penulisannya dielaborasi ke dalam bab 1 sampai 14. Di sinilah uraian dan pesan Tagore diumbar. Ketika Tagore berkisah tentang diri kekanakannya yang penuh dengan kekonyolan dan harapan yang melambung tinggi, hingga ia pun bercerita selaksa ingin menaklukkan awan. Ada hal unik, nama depan Tagore yakni "Rabi" bermakna matahari yang tidak memisahkan antara timur dan barat. Inilah gagasan konsep humanisme yang dicacar Tagore. Adapun dalam pesan kesannya, masa kanak yang bebas lepas adalah awal menuju pribadi yang sehat. Bagi saya, terlepas dari kebekuan pemaknaan budayanya, buku ini menarik, dan selamat membaca.

Judul : Tagore dan Masa Kanak
Penulis : Rabindranath Tagore
Penerjemah : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun : 1, Mei 2011
Tebal : 192 halaman
Harga : Rp45.000

Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, pegiat sanggar Idea Studies IAIN Walisongo Semarang.

Pemuda, Korupsi, dan Pemiskinan Indonesia

Dimuat di okezone.com edisi 2 Desember 2011
http://suar.okezone.com/read/2011/12/02/58/537035/pemuda-korupsi-dan-pemiskinan-indonesia

Indonesia kini bagaimanapun telah berwajah buram. Darinya, seolah membuyarkan i’tikad ‘Indonesia satu’ yang diprakarsai para pejuang pada Sumpah Pemuda 82 tahun silam. Persoalannya, sampai saat ini, bagaimana peran pemuda membangun negeri ini? kenapa Indonesia menjadi negara korup? Juga mengapa Indonesia terjerambab ke dalam lubang kemiskinan? Dan kenapa keadilan sosial bagi seluruh bangsa tak tercapai? Siapa yang salah? Pertanyaan amsal itulah yang kiranya ada dalam benak bangsa yang peduli.

Secara runut, saya akan menggali korelasi dan manifestasi antarpemuda, korupsi, dan pemiskinan Indonesia. Sebenarnya, Indonesia memiliki prestasi pemuda Indonesia di kancah internasional bisa menjadi contoh nyata dari istilah kebangkitan itu. Prestasi itu sungguh memukau baik di olimpiade sains, kompetisi olahraga, maupun riset. Prestasi ini dapat membongkar stigma negatif yang selama ini terlanjur melekat bagi Indonsia. Kenyataan ini menandakan bahwa sebenarnya kaum muda Indonesia memiliki kualitas luar biasa bahkan mengungguli negara-negara barat. Beberapa prestasi ini menjadi alasan bagi banyak orang yang beranggapan bahwa Indonesia bisa jaya oleh pemuda. Bahkan seperti sudah menjadi keperacayaan bagi banyak orang bahwa sebenarnya bangsa Indonesia ini bisa maju jika dipimpin oleh kaum muda.

Namun prestasi internasional itu tidak sebanding dengan prestasi dalam negeri sendiri. Di negeri ini kaum muda masih diabaikan. Ongkos politik dan sosial untuk menjadi seorang pemimpin di Negara ini sunguh luar biasa besar, modal inilah yang belum dimiliki kaum muda Indonesia. Meski ada semangat yang berkobar dan patriotisme tinggi tapi masih belum mampu memuluskan jalan menjadi pemimpin. Lagipula budaya timur itu sangatlah susah diubah, masyarakat Indonesia masih sangat tidak percaya bila dipimpin oleh orang muda. Bilapun ada contoh kaum muda menjadi pemimpin di negeri ini bukanlah murni karena kompetensi yang dimilikinya tetapi karena faktor lain seperti ketampanan fisik, ketenaran, dan kekayaan. Keran kepemimpinan itu harus dibuka bagi kaum muda.

Di Indonesia, jumlah pelaku wirausaha saat ini masih relatif minim. Dari populasi yang mencapai sekira 240 juta penduduk, porsi pelaku wirausaha hanya sekira 0,2%, sedangkan jumlah wirausaha yang ideal untuk menggerakkan perekonomian suatu negara itu minimal 2% dari total jumlah penduduk. Sementara itu, kemiskinan dan pengangguran masih menjadi fakta tak terbantahkan yang masih melingkupi sebagian besar rakyat Indonesia.

Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 menunjukkan jumlah pemuda Indonesia yang masih menganggur mencapai 17 persen dari 70 juta jiwa, atau sekitar 12 juta pemuda. Sebagian besar dari mereka juga hidup dalam kondisi miskin dan berpendidikan rendah. Sementara, data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, hingga Februari 2011, jumlah penganggur di Indonesia mencapai 8,12 juta dengan tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2011 mencapai 6,8 persen dari total angkatan kerja.

Dengan data di atas, kebutuhan akan tersedianya sejumlah wirausaha baru yang handal, tangguh serta ungggul menjadi kebutuhan yang perlu disiapkan melalui perencanaan yang jelas dan langkah-langkah yang konkret serta konsisten dalam penyelenggaraannya.

Dalam isu kewirausahaan golongan pemuda perlu memperoleh perhatian khusus. Selain sebagai nafas zaman, kaum mudalah yang senatiasa menjadi incaran pemasaran sebagai segmen pasar potensial. Posisi pemuda juga strategis dan khas secara budaya dan kondisi fisik serta emosional. Para pemudalah juga yang nanti mengalami persoalan besar sebagai pembayar utang bangsa, menghadapi persaingan global, serta paradigma kehidupan yang baru.

Secara falsafi manusia, ‘miskin’ adalah kata dan keadaan akut yang harus dihindari. Manusia hidup sekali bukan untuk kehidupan miskin, namun untuk kehidupan yang berkecukupan. Dari sana, lantas ada etos kerja yang timbul untuk memenuhinya. Begitupun kata ‘korupsi’, ia adalah sifat dan praktik yang amat dijauhi demi terpenuhinya moral kehidupan manusia. Menjauhi korupsi berarti menjunjung tinggi moralitas dalam kehidupan bersama. Namun, keduanya seolah bersinergi bersama dala rentas kehidupan bangsa kita. Evolusi kehidupan bangsa kita tak jauh bahkan erat dengan dua kata yang seharusnya dihindarkan, antara miskin dan korupsi. Tak pelak di sini saya menjabar rumus ‘korupsi=pemiskinan’.

Ditinjau dari sejarah, laku korup bangsa kita memang telah tercatat semenjak proses kolonisasi barat masuk ke Nusantara. Bagaimana laku para elite penguasa kala itu menikmati upeti-upeti tanpa kerja keras dan menerima utang dalam pelbagai bentuk, dan saat tak mampu membayar satu per satu wilayah pelabuhan dan daerah strategis dilepas ke tangan kekuasaan asing. Begitupun, saat terjadi perang suksesi dan sang raja terancam digeser dari takhta, dia lantas menjanjikan sejumlah konsesi berupa wilayah kepada VOC demi dukungan penjajah. Nahasnya, sejarah macam ini terus diulang oleh pelakunya sampai saat ini.

Ia sudah menggejala walau sejarah juga mencatat perlawanan bangsa terhadap korupsi; dimulai dari masa Orde Lama yang membentuk UU Nomor 1 Tahun 1961 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidanan korupsi. Kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Baru yang mengeluarkan Keppres No. 228/1967 tentang pemberantasan korupsi yang dipimpin Jaksa Agung. Hingga masa kini kita mengenal KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang diberi otoritas penuh membumihanguskan korupsi di Indonesia.

Nyatanya, sampai sekarang korupsi sudah menjadi ‘api besar’, berujung pada sindrom genosida yang amat sulit dipadamkan. Akibatnya, Indonesia dengan segala kekayaan yang semestinya—diamanatkan Pancasila— untuk menggapai kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia pun tak tercapai. Nahasnya, rakyat yang sudah membayar pajak itu, banyak yang miskin, dikotomi dan ketimpangan sosial terus menggelayut. Mereka terpojok, karena miskin bukanlah kutukan. Kemiskinan juga bukan disebabkan mereka malas, tak mau bekerja keras. Sebenarnya masyarakat kita sudah memiliki etos kerja kuat seperti yang ditunjukkan ‘nenek moyang kita adalah seorang pelaut yang tangguh’. Secara embrio, kemiskinan lebih bersifat multidimensi. Bila ditelaah, kemiskinan di negeri ini, lebih disebabkan kerana faktor struktural yang dibuat manusia, baik struktur ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Mereka yang termisikinkan terkungkung dalam suatu lingkaran, vicious circle of proverty (Korupsi yang memiskinkan, Penerbit Buku Kompas 2011).

Hal ini bisa dibuktikan berdasarkan data BPS dan Menkokesra. Di mana, anggaran untuk pengentasan kemiskinan naik setiap tahun, bahkan kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, anggaran kemiskinan sekitar Rp 16,7 triliun; tahun 2005, naik menjadi Rp 23 triliun; tahun 2006, naik menjadi Rp 42 triliun, tahun berikutnya (2007) menjadi Rp 51 triliun; tahun 2008, menjadi Rp 63 triliun; tahun 2009 menjadi Rp 66 triliun, dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp 94 triliun. Namun, lonjakan anggaran ini tak diimbangi dengan penurunan angka kemiskinan yang dignifikan. Secara statistik, jumlah penduduk miskin pada kurun waktu yang sama adalah; pada tahun 2004, sekitar 16,7 %; lalu turun menjadi 16% (2005); naik lagi menjadi 17,8% (2006); kemudian 16,6 % (2007); 15,4% (2008); 14,2% (2009); dan terakhir sekitar 13,3 % (2010). Persoalan kemiskinan direduksi hanya dengan standard BPS (2010) yang hanya menghitung angka kecukupan gizi kalori per hari, setara Rp 155.615 per bulan per orang, jauh lebih rendah dari standar kemiskinan absolut yang dibuat lembaga internasional yang rataanya adalah satu dolar per kapita per hari. Karena ekses gejala korupsi masif dan pembusukan sekelilingnya, maka tak bisa dihindarkan pula, bila anggaran pengentasan kemiskinan pun menjadi lahan basah para koruptor.


Muhammad Bagus Irawan, aktivis Idea Studies IAIN Walisongo Semarang

Menakar Selubung Kematian

Dimuat di Rubrik Perada Koran Jakarta edisi 27 Agustus 2011

Judul : Mati Itu Spektakuler
Penulis : Khawaja Muhammad
Penerbit : Serambi, Jakarta
Tahun : 1, Mei 2011
Tebal : 444 halaman
Harga : Rp50.000,-

Kematian merupakan kepastian dan menghampiri setiap makhluk. Tak seorang pun dapat menghindar dan melepaskan diri dari cengkeramannya. Barangkali, mati ibarat "gerbang besar" tempat setiap orang dan makhluk lainnya pasti akan memasukinya.

Mati juga laksana "angin" yang datang kapan dan di mana saja di luar rencana manusia. Ihwal kematian memang sudah digariskan oleh Tuhan tatkala kita menapaki alam barzah. Sejatinya, hakikat inilah yang ditegaskan dalam kalamullah, "Tiap-tiap jiwa (yang bernyawa) akan merasakan kematian" (QS Ali Imran: 185).

Meskipun demikian, bagi sebagian orang, kematian sangat menakutkan. Mereka membayangkan kematian sebagai peristiwa yang amat tragis dan mengerikan. Ada banyak alasan mengapa manusia takut terhadap kematian. Pertama, karena ia ingin bersenang-senang dan menikmati hidup ini lebih lama lagi.

Kedua, ia tidak siap berpisah dengan orang-orang yang dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama ini dikumpulkannya dengan susah payah. Ketiga, karena ia tidak tahu keadaan mati nanti seperti apa. Keempat, karena ia takut pada dosa-dosa yang selama ini ia lakukan.

Walhasil, manusia takut karena ia tidak pernah ingat kematian dan tidak memersiapkan diri dengan baik dalam menyambut kehadirannya. Padahal, kita sebagai manusia haruslah paham dan sadar akan selubung kematian yang menanti.

Buku berjudul Mati Itu Spektakuler ini dihadirkan guna menggarisbawahi seluk-beluk tentang mati. Muhammad sebagai penulis menakar kehidupan, yang ditengahi oleh kematian. Bagi saya, buku ini menjadi pengingat manusia agar lebih pandai memaksimalkan waktu. Kita tak hidup selamanya dan ujungnya kubur juga yang akan kita huni.

Secara tipografi penulisan, penataan buku ini terbagi ke dalam delapan bab utama. Pada bab pertama adalah "Awas..!", yang terdiri dari rampai kisah para sahabat, tabi'in, ulama, dan orang biasa, dalam menghadapi kehidupan dan ancaman maut.

Sebagai amsal, dalam Kisah Putra Harun, dielaborasi rampai kehidupan putra mahkota dari Sultan Agung Harun Arrasyid, kala itu sang putra mahkota memilih keluar dari gelimang harta duniawi istana dan hijrah ke sepinya pedalaman hutan hanya dengan bekal Al Quran dan sebuah cincin pemberian ibunda. Di sana ia tawakkal untuk ikhlas dan mendekatkan diri dengan Tuhan.

Ia lebih memilih hidup sebatas cukup hingga dalam bekerja ia hanya bekerja sehari dalam seminggu demi mengisi kebutuhan perutnya. Selebihnya, ibadah dan dzikirlah yang ia tunaikan, hingga akhirnya sang putra itu meninggal dalam kedamaian (hal 20-26).

Dari kisah itu bisa diambil hikmah bila kehidupan dunia adalah sementara. Tak ayal, kita mesti ingat dan mempersiapkan kehidupan kekal kita di akhirat.

Sesuai dengan pesan Rasul, bila manusia haruslah bekerja demi hidup seakan-akan ia akan hidup selamanya, dan sebaliknya, ia mesti mempersiapkan kematian seolah ia akan mati esok hari. Peneguhan itu adalah wujud prinsip keseimbangan, manusia hidup selain mencari bekal kehidupan dunia juga mesti ingat dengan bekalnya di akhirat, yang ditengahi dengan perantara mati.

Desain besar yang coba dijelaskan penulis adalah mengungkap selubung besar kematian. Ia menjadi penanda arti kehidupan yang apik dan bagaimana bisa menjalaninya. Penulis mencoba mengingatkan "efek kejut" mati dan rahasia besar yang tersembunyi di balik itu. Sekian.

Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, mahasiswa Tafsir Hadist, IAIN Walisongo, Semarang

Teori Indonesia Maju

Dilansir dari Opini Jurnal Nasional edisi 7 Oktober 2011

http://www.jurnas.com/halaman/10/2011-10-07/184647

INDONESIA dengan segala kekayaan dan potensi yang dimilikinya bisa dirasakan sedang tak berkutik dengan segala problem multidimensi yang mencengkeramnya saat ini. Akibatnya, ia bagai kapal limbung bocor di sana-sini, yang seolah mau tenggelam saja, tak mampu melaju dan berlomba dengan kapal lain di tengah alam persaingan globalisasi bangsa-bangsa di dunia.
Secara historis, posisi tawar Indonesia memang menjadi obyek harta karun yang kaya. Wajar ia sempat menjadi ranah jajahan primadona selama berabad-abad oleh Portugis, Inggris, Belanda hingga Jepang. Bahkan hingga sekarang kita juga masih terjajah dengan kepemilikan asing terhadap aset-aset vital pertambangan, transportasi, energi listrik, sirkulasi air, dan lainnya. Pengerukan sumber daya alam Indonesia sampai sekarang tak berbuah manis bagi pencapaian kemakmuran bangsa sendiri, namun hanya menguntungkan negara lain. Siapa yang bodoh?

Ironisnya, semua itu didukung kebijakan para elite sekarang, yang seakan membentuk kerangka perbanditan perpolitikan negeri (Bandit-bandit Demokrasi, 2011) yang telah mengeruk kepingan pribadi dengan mengekor dan mengolah kebijakan yang menguntungkan asing, dan merugikan bangsa secara semena-mena. Contoh, bagaimana pemerintah kita masih saja menandatangani kontrak dengan menyerahkan gunung emas di Papua kepada PT Freeport milik Amerika Serikat dengan hasil pembagian yang amat merugikan kita.
Selain kebijakan impor yang tak terkendali dan tak terawasi, hingga menghancurkan produksi dalam negeri, kebijakan ekspor bahan baku dasar juga terus dibiarkan, tanpa ada rembuk terlebih dahulu. Bila saja bahan baku itu diolah lebih lanjut di dalam negeri, tentu akan bernilai jauh lebih tinggi dan bisa menciptakan lapangan pekerjaan luas, guna mengurangi problem pengangguran.
 
Filsafat Politik
Saya menaksir bila keadaan genting dan runyam ini terus berlangsung sampai beberapa tahun lagi, negara-bangsa yang diproklamasikan Soekarno-Hatta ini akan hancur karena keadaannya yang tak kunjung membaik demi kemaslahatan seluruh rakyat, terutama kalangan menengah ke bawah. Mereka mengeluh karena semakin tertindas situasi dan kondisi serba kesulitan mendapat hak-hak prinsip; sulit mendapat akses pekerjaan yang layak, sulit mendapat akses pendidikan murah, sulit mendapat layanan kesehatan murah, sulit mendapat layanan hukum yang adil, sulit menerima keadaan rakus para elite bangsa, karena laku kotor dan wajah bopengnya.

Bahkan dalam analisis student.com, dari 800 koresponden anak didik Indonesia ada capaian signifikan sebesar 78 persen, anak didik usia menengah tengah acuh tak acuh dengan kejujuran pendidikannya. Sebuah ironi yang nyata bila pendidikan kita juga di ambang krisis nilai kejujuran. Wajar, contoh menyontek massal kasus Siami hanya menjadi kasus gunung es. Secara nyata, prosesi ketidakjujuran para anak bangsa ini terjadi karena mendapat asupan media yang memberitakan korupsi para petinggi negara dan daerah yang seolah tak bisa berhenti. Karena, ada kongkalikong dengan penegak hukum.
Dalam buku Filsafat Politik (Henry J Schmandt) dijelaskan, fakta dan pakta sejarah pemikiran politik filsafat Yunani adalah terbentuknya negara-bangsa yang berporos pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dan inilah dambaan bangsa Indonesia sekarang, untuk mendapat dan merasakan kemakmuran dan kesejahteraan hidup, dengan akses kemudahan mendapat hak prinsip tadi.
Kaidah filsafat Islam juga menekankan hal itu: Negara Madinah yang digagas Nabi Muhammad bermuara pada kesejahteraan rakyat dan pemenuhan pelaksanaan HAM. Pantas bila Negara Nabi itu mendapat apresiasi tinggi, sebab sistem kala itu sebelumnya hanya menguntungkan kaum feodal belaka.
 
Asas Kerja
Sebenarnya tak muluk-muluk, bangsa kita yang rapuh ini ingin melihat asas kerja pejabat negara bisa berlaku jujur dan mau bergerak demi kepentingan bangsa menyeluruh. Semua berharap begitu. Selain juga ada konsolidasi mitigasi, semangat demokrasi, dan asas peningkatan mutu, dan kriteria manfaat yang perlu dibangun dan digerakkan sekarang juga.
Negarawan sejati haruslah beranjak dari nilai-nilai yang baik dan orisinal sebagai cermin kepribadiannya. Bukan berasas pada belenggu partai yang bertendensi pada pengeluaran dana politikus, demi termin pemilih. Saya rasa, undang-undang kepartaian harus dirombak sesegera mungkin, karena selama ini sistem partai politik dan pemilu
yang dilaksanakan hanya berkesan dengan kemenangan money politics semata. Sebab, kaidah baik pemilu adalah mencari figur-figur yang baik pula. Secara logis, bila alatnya buruk, dan dijalankan dengan buruk pula, hasilnya juga akan buruk.
Lihat saja, bagaimana hasil pemilu kita selama ini: kepala daerah banyak yang mementingkan golongannya, bahkan tersandung korupsi. Maka, dari titik tolak itu, perundang-undangan pemilu dan sistem partai harus dikaji lagi, agar tak ada keganjilan yang terus membudaya. Rakyat tak butuh dana suap dan janji manis partai di muka. Yang dibutuhkan adalah gerak nyata dan realisasi janji ke arah pemakmuran rakyat.

Indonesia Maju
Indonesia maju dalam pemikiran saya haruslah mengubah epistem dasar pemikiran. Sifat dan raga seluruh bangsa mulai saat ini harus berbenah dan berinstropeksi menjadi seorang entrepreneurship. Istilah ini bermakna luas, bukan pada ekonomi belaka, melainkan mewujud dalam arti keberadaan manusia yang sadar dan peduli, jujur, mampu berdiri sendiri, berinovasi, cerdas, teliti, beretika, cinta damai, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi HAM. Sebab, asal kata entrepreneur dilandasi motivasi diri sendiri. “Semua bisa kita kerjakan bila kita mau dan bergerak", mulai saat ini, dan dari hal yang terkecil. n

Peneliti pada Pusat Kajian Masalah Sosial dan Politik Idea Studies IAIN Walisongo, Semarang