Dimuat di Koran Jakarta edisi Senin 5 Desember 2011
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/77666
Penulis : Ade Armando
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Tahun : 1, 2011
Tebal : 296 halaman
Harga : Rp49.000,-
Media televisi sejatinya memiliki peran vital dalam membentuk suara bangsa. Lebih jauh lagi, indikator tinggirendah intelegensia bangsa terlihat dan dibentuk oleh tayangan televisi nasional. Televisi pun memiliki andil dalam memonitor berjalannya status demokrasi.
Berjalannya demokrasi diukur dengan kebutuhan dan konstruksi rakyat secara multipolar dan berjaringan pada setiap pos daerah. Sayang, dunia pertelevisian kita terselubungi dominasi komersialisasi Jakarta. Fakta ini didengungkan Ade Armando melalui bukunya yang berjudul Televisi Jakarta di Atas Indonesia: Kisah Gagalnya Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia.
Penulis yang mantan anggota KPI, beranjak dari analisisnya (2004-2007), menyatakan kondisi gagal itu berlangsung selama hampir kurang lebih 20 tahun dan menjadi ketimpangan pelik karena dominasi pada sistem pertelevisian oleh stasiun-stasiun televisi swasta besar yang berpusat di Jakarta. Dengan mengutip data dari Media Scene, bisa dilihat pemasukan iklan televisi komersial pada 2007 mencapai 23 triliun rupiah dan sama sekali tak menyentuh daerah.
Sangat jelas monopoli TV Jakarta berkuasa. Secara kasat mata dapat ditebak, dari kondisi itu, televisi swasta Jakarta menjadi berkembang pesat menyudutkan televisi daerah yang terengahengah. Dari sanalah kritik Ade tertuju. Ade menampik upaya DPR dengan rumusan Undang-undang Penyiaran No 32 tahun 2002, ihwal TVRI sebagai televisi nasional yang merangkul seluruh pelosok negeri ini dengan penempatan jaringan-jaringan daerahnya.
Namun faktanya, peraturan itu tak terlaksana disebabkan kuatnya monopoli televisi swasta di Jakarta. Sederhananya, seluruh rakyat Indonesia, khususnya di luar Jakarta, dipaksa menonton suguhan siaran dari Jakarta, yang sejatinya kurang memberi manfaat bagi mereka dalam pelbagai bidang; baik itu politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya.
Apa pun itu, masyarakat butuh informasi perihal isu daerah setempat (hlm 31). Bukan kepalang, sistem yang ada ini salah. Sistem yang harusnya diterapkan di negara kita adalah sistem televisi berjaringan. Barang kali sistem televisi jaringan daerah menjadi solusi pada sistem pertelevisian kita. Kurang lebih itulah yang tersirat dalam gagasan buku Ade ini.
Selanjutnya, Ade juga menggali kritikan terhadap eksistensi TVRI. Ia menilai, TVRI sebagai saluran utama televisi Indonesia harusnya menyajikan tayangan yang apik sebagai alat pengukuhan keberagaman dan kemajemukan bangsa Indonesia.
Sayangnya, tidak ada keterikatan solutif yang diangkat Ade, sehingga kesimpulan yang disajikan menjadikan buku ini bersifat reaktif dan penuh argumentasi, inilah ciri khas yang akan dijumpai pembaca dalam buku ini.
Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, Aktivis Idea Studies, IAIN Walisongo Semarang.