Labels

Saturday, 5 March 2011



Dibalik Misteri Sejarah

Judul : Menguak Misteri Sejarah

Penulis : Asvi Warman Adam

Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta

Tahun : 1, Oktober 2010

Tebal : xii + 292 halaman

Sejarah adalah tautan yang mendecap berlakunya kejadian dalam tataran waktu. Benar, apabila kita melihat pada realita yang terjadi dibalik peristiwa sejarah. Namun menjadi tanda Tanya, bila kita berada dalam dimensi waktu yang tak sama. Lantas bagaimana mengungkap kebenaran suatu sejarah? Apakah sumber sejarah selamanya menjadi patokan ataukah menjadi musabab tercemarnya peristiwa sejarah? Lagi-lagi hanya menjadi sebuah misteri dan petuah belaka.

Meskipun sejarah dalam perkembangannya menjadi ilmu pengetahuan favorit. Namun, itu tak terlepas dari nilai kebenaran yang diragukan. Mengambil perangkat Descartes “co gito ergo sum” maka dapat ditarik bila sejarah itu adalah sebuah argumentasi yang tercipta dan tersusun sedemikian rupa oleh akal. Meski, tak selamanya akal akan menerima akal pula dalam pemahaman itu. Hingga, muncul pikiran peraguan terhadap segala yang berbau sejarah.

Semisal apa yang disajikan para ahli sejarah dengan data kualitatif dan observasi lapangannya, tentu kita juga mesti memberi hormat dengan hipotesa yang terpetik. Dan itu juga menimbulkan fenomena dan paradigma baru yang bersifat obyektif. Bahwasanya tidak ada yang bisa memastikan kebenaran suatu nilai sejarah, kecuali Tuhan. Buku berjudul Menguak Misteri Sejarah karya sejahrawan senior Asvi Warman ini adalah retasan seklumit rentetan sejarah yang melatarbelakangi tumbuh kembang negeri ini, dilihat dari perspektif yang lebih jeli dan berbeda.

Di sini penulis menyajikan pandangan liar dan kritisnya menyikapi dan memaparkan peristiwa fakta sejarah yang berbeda dari buku-buku sejarah Indonesia yang kita jumpai selama ini. Namun, lewat pengakuannya, ia semata-mata sedang menguak sejarah lebih berbobot. Terlepas dari rezim pengendali literatur sejarah dan tafsir resmi rezim yang dulu sangat berkuasa yakni, gaung Orde Baru.

Membaca itu, maka wajar bila ada pertanyaan ”apakah benar sejarah dapat menyisakan misteri? Apakah ka­rena dimanipulasi penguasa ataukah memang datanya yang belum lengkap? Penulis buku ini menguak secara obyektif misteri-misteri sejarah yang selama ini belum terungkap bahkan belum tersentuh dalam khazanah keilmuan sejarah Indonesia. Buku ini menyajikan persoalan dan tema baru dalam setiap rajutan antologi tulisan yang disajikan. Diantaranya, dimanakah letak makam Tan Malaka? Benarkah Tan Malaka tidak menikah selama hidup? Dan mengapa jejak Tan Malaka amatlah sulit dilacak, hingga mendapat julukan “jago menghilang” dan menjadi pahlawan yang paling misterius?

Kemudian, apakah benar R.A. Kartini adalah pelopor dan pe­rintis kebangkitan nasional lebih awal dari Budi Utomo? Menyimak tahun kelahiran R.A. Kartini adalah tahun 1879, itu memang berarti jauh sebelum Budi Utomo didirikan, yaitu tahun 1908. Selama ini sejarah kita mencatat bahwa Budi Utomo yang didirikan oleh Tjipto, Wahidin Sudiro Husodo dan Sutomo, itu merupakan organisasi Indonesia pertama, juga kelahirannya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Lantas, apa arti peran R.A. Kartini dengan tulisan menggugahnya “habis gelap terbitlah terang”? Semua perspektif-perspektif segar semisal itulah yang menyesaki lembaran buku ini. Dirasa tidak berkilah, penulis memang mampu memadu sumber dan data faktual yang teruji secara nasional.

Mengundang Asumsi

Selanjutnya, dalam penilaian sejarah memang secara kuasi nalar, pikiran akan terbentur dalam literatur subyek person. Namun, tentunya bila didukung dengan argumentasi dan artikulasi yang beda, akan menjadikannya menjadi lebih varian dan relevan sebagai landasan. Semisal, apa yang disajikan Asvi memandang tragedy G30S PKI, dimana dia menyoal keabsahan PKI sebagai dalang aksi pembunuhan keji para panglima itu. Padahal dalam kecamuk politik saat itu mendukung PKI tetap eksis. Namun, lagi-lagi bicara sejarah sangat kental dengan patronase sang kuasa saat itu. Begitu juga dengan perbincangan kasus Susno yang memang tak usang lambat laun memberedel kejahatan korupsi Negeri.

Bagi saya buku ini laik menjadi pelengkap pustaka kaijan sejarah negeri. Namun, disini saya menilai penulis juga harus mendapat pertanyaan, dengan kelabu posisinya memandang yang bisa juga bukan obyektif. Wajar, dan akan menjadi persoalan baru bila di kemudian hari muncul penulis dengan dialektika baru menyorot sejarah yang terus berjalan setiap detiknya. Singkat kata, sejarah adalah perihal misteri dan bagaimana kita menyikapi.


Muhammad Bagus Irawan, penikmat kajian sejarah, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.

CP: 085865414241

Pesona dan Derita Cerita Cinta



Dilansir dari Koran Jakarta edisi 12 Pebruari 2011
Pesona dan Derita Cerita Cinta
Judul : 1 Perempuan 14 Laki-laki
Penulis : Djenar Maesa Ayu
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 1, Januari 2011
Tebal : xiv + 124 halaman
Harga : Rp50.000,-
Bilik cinta dalam hati senantiasa menebarkan dentum debar yang indah dan tulus. Ketelanjangan dan kepolosannya seakan berpacu dengan guritan waktu yang memburu. Ia akan selalu ada dan tiada dalam pikiran setiap insan. Melodi itu yang selalu merasuki ruang rindu. Kita tak akan mengenal salah dan benar; pesona dan derita akibatnya. Mungkin inilah kata yang mampu saya tawarkan menyoal padanan kolaborasi apik 14 cerita cinta pendek yang dipunggawai oleh satu-satunya wanita diantara 14 lelaki, Djenar Maesa Ayu.
Dari pemilihaan judul, sangat berkesan bila antologi cerpen ini adalah simbolisasi khas karakter Djenar. Dalam prolog, ia mengaku setelah sekian lama diam dalam sastra tulis, rasa kangen membuat dirinya begitu antusias mewujudkan jadinya antologi unik ini. Mulanya, ia berangan akan menulis bebas, tanpa ikatan ide pokok, seterusnya terpikir olehnya mencorakkan rasa tulisnya dengan rasa nuansa “cinta” 14 lelaki sahabat dari pelbagai karakter dan keahlian. Djenar merasa apa yang ditulis dalam cerpennya adalah kombinasi gapaian orgasme piker, ia semata menjelmakan pepatah “talk less do more”, dengan wujud menulis itu sendiri. Dalam prosesnya, Agus Noor menggambarkan seolah dua sejoli yang sedang kasmaran mengadu intuisi yang digerakkan tanpa rasa. laptop diketik bergantian diselingi gelas kopi, sepanjang malam hingga dinihari (hlm.xi).
Nuansa itu, menghasilkan cerpen pembuka,“Kunang- Kunang Dalam Bir”, berkisah ihwal laku cinta yang disimbolkan lewat keberadaan bir sebagai pesona yang selalu ada dan hadirnya kunang sebagai imaji pecinta, tak redup dimakan malam. Hingga tersimak, kita bisa memesan bir, namun kita tak bisa memesan takdir. Disusul, judul kedua “Cat Hitam Berjari Enam”. Di kepalanya ada setan yang tiba-tiba menggerakkan. Membuatnya meraih cat minyak warna hitam. Melihat hasil duet Djenar dan Enrico Soekarno itu, tertegun dengan pola distrik yang alami, tak bertuan. Tokoh disambut hangat dengan terpaan cinta yang jauh. Walau tak berbalas, caci maki, hina, derita, siksa yang membumbung tersaji lewat lukisan hitam angkara murka. Dan akhir, suntikan tinta hitam di jari keenam (hlm.14).
Cerita cinta memang indah, menyisakkan apa yang dirasa, kelebat dan ketelanjangan umbaran hawa nafsu juga diregang dengan sedikitbanyak pola kata. Candu menjadi penyekat antara moral dan tokoh. Apa yang dihasilkan dengan Sujiwo Tejo cukuplah beralasan, dengan kaidah seni kental, tersaji “Rembulan Ungu Kupu Setra”, berkisah tentang jalinan perselingkuhan Prita dengan Raditya, teman kekasihnya. Pandangan berkata, semua getaran berasa, bila sumbu cinta memanas, segala gerak akan dicoba, semua itu dirajut, di tangan Raditya, gitar jadi berbicara.
Cerpen ini setema dengan “BUKUMUKA” atas rekanan Nugroho Suksmanto, lagi-lagi dentum nafsu melatarbelakangi hadirnya cinta. Apabila hasrat tak tergapai, raungan, lolongan berkobar mencari pelampiasan. Disini, dikisahkan hubungan gelap lewat situs facebook yang marak dewasa ini. Sampai akhirnya, kemunafikan pujangga terbongkar, cinta pun hilang sekejap bagai sengatan lebah. Cinta buta akan menghadirkan keterpurukan dan keburukan yang menyayat hati. Itu juga digambarkan dalam “RAMARAIB”, “Napas Balon Karet”, dan “Polos”. Secara keseluruhan, saya cukup simpatik dengan antologi karya Djenar dan 14 lelaki sahabatnya ini. Dibalik keunikan romantisme, hitam dan putih, pesona dan derita cinta diumbar dan ditelanjangi dengan segudang corak, rona, dan problematika sosial potret bangsa ini. Selamat membaca..!
Muhammad Bagus Irawan, pegiat Jepara Pena Club, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang.
CP : 085865414241

Resensi Film [Tuah Kesabaran]

Dimuat di Majalah IDEA edisi Juni 2011

Judul Film : Emak Ingin Naik Haji (Diadaptasi dari cerpen Emak Ingin Naik Haji karya Asma Nadia)
Sutradara : Aditya Gumay
Penulis Skenario : Adenin Adlan
Produser : Smaradana Pro & Mizan Production
Pemain : Aty Kanser, Reza Rahadian, Didi Petet, Niniek L. Karim, Ayu Pratiwi, Cut Memey, Henidar Amroe, Adenin Adlan, Helsi Herlinda, Gagan Ramadhan
Jenis Film : Drama Religi
Tahun : 2009
Durasi : 01:16:07

Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan menuai hasilnya, sebuah mantra ambisius yang memang bertuah. Inilah ungkapan yang saya tangkap pertama kali saat disampaikan guru Mts dahulu. Dan, pesan ini pula yang terkandung dalam buku berjudul Negeri 5 Menara karya A.Fuadi, sebagai tendensi pengalaman pribadi yang dijelmakan dalam peran Alif-nya. Namun, disini saya tak akan membedah itu, saya akan mengulas film yang berjudul Emak Ingin Naik Haji yang kembali menuangkan nilai penggugah man jadda wajada dan man shabara zhafira (siapa yang bersabar, akan memperoleh keberuntungan). Kedua ajian yang seperti diberitahukan A.Fuadi lewat novel teranyarnya, Ranah 3 Warna, ditelaah mendalam di pondok modern Gontor.
Film yang diangkat dari cerpen Asma Nadia ini tak pelak lagi adalah sebuah karya yang memiliki cita rasa spiritualitas lebih dengan pesan moral yang dibawa. Setidaknya saya mencerna ada tiga rupa jama’ah haji kita yang tersimbol jelas dari film ini. Pertama, dia yang dengan niat ikhlas dan kerinduan yang teramat untuk berkunjung melihat ka’bah. Peran ini dibawakan sangat berhasil oleh figur Emak (dimainkan dengan cemerlang oleh Ati Kanser) dan tak ayal akan membuat penonton terenyuh dan menitiskan kepedihan sanubari. Emak yang miskin, jujur, dan saleh, kesehariannya membuat kue apem kecil-kecilan pesanan tetangga, diceritakan selama 5 tahun baru mampu menabung sebanyak 5 juta. Padahal, biaya haji mencapai 30-an juta. Keikhlasannya terlihat dengan dialog; “kalo diitung-itung agar nyampe 30 juta emak perlu nabung 25 tahun lagi. Sekarang umur emak 61, jadi bisa berangkat umur 86, masih ada umur gak ya..? Kalaupun Emak keburu meninggal sebelum sampai di Ka’bah, Emak ikhlas Zein…Tuhan tahu kok, hati Emak sudah lama ada di situ…”.
Kedua, dia yang berangkat haji sebagai rutinitas dan kelebihan uang. Yakni Haji Sa’un (diperankan Dedi Petet) saudagar kapal yang kaya raya. Diceritakan saat itu mereka sekeluarga akan menunaikan ibadah umroh yang keenam, sedang sebelumnya sudah ibadah haji sebanyak tiga kali. Yang terakhir, dia yang pergi haji hanya sekadar syarat memakai embel-embel “haji” didepan namanya. Disini digambarkan lewat figur politikus Pak Agus (Adenin Adlan).
Adapun secara narasi “Emak Ingin naik Haji” bercerita; Alkisah ada seorang pemuda bernama Zein (Reza Rahadian) yang berprofesi sebagai pelukis. Ia tinggal bernama emaknya dalam keadaan serba berkekurangan. Cerita dibuka dengan Zein yang tengah melukis Ka’bah tertidur hingga waktu shubuh tiba dan dibangunkan oleh emak. Penggambaran adegan ini oleh sutradara Aditya Gumay cukup menyentuh, apalagi mengingat kondisi rumah mereka yang layak mendapatkan santunan program semacam “Bedah Rumah”: sangat sederhana.Lukisan itu akhirnya dipersembahkan kepada emak, guna mengisi ruang rindunya terhadap ka’bah. Kemudian, saat Zein sedang berupaya membantu emaknya inilah datang mantan istrinya meminta uang karena anaknya yang bernama Aqsa sakit. Ada dialog lucu di sini, saat istrinya meminta uang dan Zein menukas kenapa tidak meminta sama suaminya yang pegawai negeri.
Malah dibalas si mantan istri yang di sini jadi tokoh antagonis selain seorang politikus di awal, dengan menjelaskan kesialan si suami yang motornya hilang sementara uang kreditannya masih nyicil dari kantor. Zein kemudian mengejek sang mantan istri, “Dulu lu ninggalin gue karena duit. Sekarang kawin sama laki yang juga kagak beduit. Gimana sih?” keluar lubang semut, masuk lagi lubang semut.” Jawab Istri ketus “paling nggak bang amir pegawai tetep" timpal Zein mudah” ya tetep miskin.”
Nah, si mantan istri yang tak tahu diuntung ini kemudian yang menghabiskan uang tabungan si emak yang baru sehari disetorkan ke bank–yang jadi sponsor film ini. Alasannya lagi-lagi karena si Aqsa (tokoh yang hanya nama) anaknya Zein sakit hernia yang akut dan besok harus segera dioperasi dengan membooking dokter terlebih dahulu senilai 5 juta-an. Emak pun tak tega dan berniat mengambil tabungan hajinya yang 5 juta itu. Setelah mantan menantunya pulang, emak kemudian membaca Al-Qur’an di dalam kamar dengan suara parau sambil menangis, begitu dapat. Saya berani bertaruh, bila penonton akan merasa sayu dan sendu melihat adegan ini, selain gambar yang merenyuh, juga diselingi lagu sedih dari Sulis, sangat berkesan. Saat Zein melihat emaknya mengaji sambil menangis, ia bertekad mendapatkan uang 5 juta, agar uang emak tetap di bank.
Maka, Dalam upaya mendapatkan uang lima juta itu, Zein berusaha keras menjual lukisan malam itu juga walau dengan hujan-hujanan. Namun, hanya kepedihan yang didapat, karena dagangannya tak laku. Sempat terpikir olehnya mencuri uang dari juragan haji Saun, karena saat ia membantu istri juragan haji berbelanja di supermarket ia melihat sang haji sedang menghitung uang yang banyak di dalam koper. Saat berbelanja inilah Zein ternyata memungut kembali kupon undian yang dibuang bu Haji. Kupon itu didapat karena berbelanja sebanyak lebih dari tiga juta dan berhadiah umroh. Nah, si Zein yang di malam hari usai berbelanja itu kembali masuk secara sembunyi dan diam-diam ke dalam rumah juragan haji Saun dan berhasil masuk ke dalam kamar.
Namun ia urung mencuri saat melihat ada Al-Qur’an tergeletak di kasur dalam keadaan terbuka. Zein ingat kembali pada emaknya, suara mengaji emaknya terngiang. Haji Saun memang sedang membaca Al-Qur’an saat mendengar suara berisik yang ditimbulkan Zein untuk kemudian turun meminta hansip mengecek. Zein sempat dikejar orang-orang yang menyadari ada maling, namun berhasil lolos. Di sini walau memenuhi keinginan penonton, adegan lolosnya Zein dari kejaran orang sekampung juga agak aneh sebenarnya.
Kehidupan yang kontras antara keluarga emak dan haji Saun ternyata tak memerlihatkan kesenjangan diantara mereka. Karena keluarga emak ternyata seringkali diminta membantu keluarga juragan haji Saun. Terutama saat ada perayaan, seperti ratiban menjelang keberangkatan umrah mereka itu. Lucunya, anak-anak mereka ‘nyeleneh’, sebuah penggambaran realita yang apik. Anak kedua lelaki bernama Dika, masih duduk di bangku SMA dan menemukan konflik dalam pelajaran agama yang diterimanya dengan informasi “bebas” yang didapatnya dari internet.
Sementara yang bungsu perempuan bernama Nita dan masih duduk di bangku SMP, ternyata ingin umrah karena perginya bersama Dude Herlino, bahkan ia menyiapkan baju khusus rancangan Ivan Gunawan untuk berfoto bersama Dude di Mekah nanti. Ada bloopers dari dialog karakter ini saat ia membatalkan rencana umrah dirinya dan keluarganya hanya karena Dude batal berangkat. Biro perjalanan haji yang juga sponsor film ini ditampakkan jelas suasana kantornya pun tidak berupaya mengkonfirmasi kepada juragan haji Saun dan hanya pasrah saat si anak yang masih SMP dengan jumawa membatalkan rencana umrah. Menjadi suatu yang kurang dari film ini, karena kurang logis.
Kalau dua kisah yaitu keluarga emak dan juragan haji Saun sudah bertemu di awal film, ada karakter lain yaitu politikus Joko Satrianto. Gunanya adalah agar ia memenangkan pilkada sebagai walikota tahun depan. Sebuah tanda Tanya, mengapa tokoh ini dimunculkan baru terjawab menjelang akhir film, karena sedari awal relevansinya tidak berkaitan. Kupon undian yang diambil Zein dari tempat sampah hypermarket segera diisi olehnya pasca ia berhasil masuk rumah meloloskan diri dari kepungan orang sekampung yang mengejarnya karena berusaha mencuri di rumah juragan haji Saun.
Dan ternyata kupon itu kemudian berhasil memenangkan undian. Celakanya, saat berusaha mencari emak untuk mengabarkan kabar gembira ini, ia tertabrak mobil si politikus. Adapun kisah si Joko, ia adalah seorang politikus yang diproyeksikan menjadi kepala daerah pada tahun depan. Namun, ia ternyata selingkuh dengan sekertarisnya. Perselingkuhan ini kemudian diketahui istrinya (diperankan Henidar Amroe dengan baik) karena BlackBerry si sekertaris ketinggalan di mobil sang politikus. Sang istri kemudian mencoba memeras suaminya sendiri dengan mengancam bila tidak memenuhi akan disebarkan lewat media.
Pada mulanya, sang suami tidak tahu kalau yang memeras adalah istrinya sendiri sampai supirnya memberitahu. Dan saat sedang bertengkar dengan istrinya itulah ia menabrak Zein. Sebuah kesan realita yang mencerminkan laku politikus kita. Dan kejadian pasca tertabraknya Zein inilah yang kemudian membawa cerita pada akhir film. Happy ending yang cukup bisa ditebak sedari film ini bergulir. Yakni, setelah kesabaran dan cobaan yang bertalu-talu menimpa. Akhirnya, keberuntungan menggapai emak dan si Zein yang mendapat hadiah dari Lifa dan haji Saun untuk berangkat memenuhi kerinduan akan ka’bah tahun depan. Begitu.

Muhammad Bagus Irawan, penikmat film asal kota Jepara.