Resensi dimuat di Koran Jakarta edisi 21 Januari 2015
Judul : Multikulturalisme, Kekayaan, dan Tantangan di Indonesia
Editor : A Eddy Kristiyanto & William Chang
Penerbit : Obor
Tahun : 2014
Tebal : 192 halaman
ISBN : 978-979-565-712-5
Bangsa dan negara Indonesia sejatinya dikandung dan dilahirkan dari rahim multikulturalisme. Buktinya, dalam mempersiapkan kemerdekaan, peserta sidang BPUPKI dan PPKI berasal dari kalangan yang berbeda-beda, baik latar daerah, etnis, pendidikan, agama, ideologi, dan falsafah hidup. Kendati begitu, mereka melebur menjadi Indonesia, memakai bahasa Indonesia, dan berdiskusi gayeng merumuskan falsafah bangsa Indonesia. Persemaian toleransi dan kebersamaan yang dibangun saat itu menjadi embrio dasar fondasi kuat multikulturalisme.
Buku antologi berjudul Multikulturalisme ini mengulas pemikiran tentang multikulturalisme dalam konteks situasi konkret Indonesia kini. Refleksi-refleksi teologis dan pemikiran-pemikiran segar yang dilontarkan sangat menantang cara kita menjadi Indonesia. Sebagai awalan dijabarkan bahwa multikulturalisme menunjuk pada keberadaan bersama (coexistence) sejumlah pengalaman kultural yang berbeda dalam sebuah masyarakat. Sejak Konsili Vatikan II, telah didengungkan istilah kultur, sebagai kanal dialog yang elegan. Konsili Vatikan menekankan konsep kultur sebagai unsur terpenting dalam menjembatani pemahaman Katolik tentang iman dan tradisi yang berakar dalam humanisme Kristiani.
Prinsip multikulturalisme menjunjung tinggi perlindungan hak setiap pribadi secara adil dan tidak diskrimanif. Nilai-nilai dasar dalam setiap kultur, termasuk paling minor, dihargai dan dikembangkan secara serempak dalam masyarakat yang majemuk (hal. xii). Gereja Katolik di Indonesia adalah bagian integral dari tradisi multikulturalisme. Dinamika dan gegap gempita keberagamaan negeri ini bersinggungan erat dengan cara menggereja. Jika stabilitas aman, kehidupan menggereja berjalan khidmah, begitu pun sebaliknya. Gereja dalam konteks multikulturalisme merujuk pada struktur sejarah, geografi, dan kebudayaan bangsa. Tak ayal, warna-warni sosial sangat kentara dalam tubuh Gereja, dalam upaya mewujudkan misi keselamatan dalam konteks multikulturalisme (hal. 23).
Gereja berada di tengah dan menyelami kultur sehingga tampil dengan membawa pengharapan dan kegembiraan bagi kaum miskin, menderita, dan berduka. Yang jelas, etos multikulturalisme mengandung nilai-nilai bersama mewujudkan kehidupan yang lebih baik, santun, terbuka, seimbang, dan bermartabat (hal 41). Nilai-nilai ini didasarkan pada kodrat manusia, baik sebagai mandataris Tuhan maupun makhluk sosial. Tak heran pada akhirnya jejaring Gereja lewat gerakan kultural—bersama dengan gerakan agama lainnya yang moderat—pada akhirnya membentuk civil society yang kuat. Secara garis besar, kehidupan multikulturalisme di negeri ini masih dijunjung tinggi kebersamaan (hal 76).
Memang masih saja bisa muncul sederet perbenturan sosial, terutama dipicu kebijakan pemerintah yang kolot. Hal ini sebagai kelanjutan egosentris perebutan kekuasaan dan kurangnya komunikasi inklusif yang jujur dan bersahaja. Bahkan, perbenturan terjadi karena kepentingan terselubung oknum korup. Maka, Gereja mengembangkan langkah-langkah antisipatif melalui proses early warning system. Jika sudah muncul indikasi konflik, diambil langkah-langkah antisipatif yang menyejukkan.
Dalam konteks ini diperlukan sebuah manajemen multikulturalisme, agar mampu dimaksimalkan dalam proses pendidikan dan pembentukan sikap yang baik dan damai bagi generasi muda (hal 98). Buku ini adalah kanal besar dari umat Kristiani yang menjunjung tinggi keteguhan dan kebesaran hati dalam mengelola konflik. Agar terwujud sebuah masyarakat multikultural yang damai, sejuk dan rukun dengan menjunjung sikap manusiawi yang saling menghargai dan menghormati. n
No comments:
Post a Comment
Silahkan Berpendapat