Labels

Wednesday 7 January 2015

Berpolitik dengan Kasih Kristiani



Resensi dimuat di Koran Jakarta edisi 7 Januari 2015


Judul : Spiritualitas Politik, Kesucian Politik dalam Perspektif Kristiani
Penulis : Paulinus Yan Olla
Penerbit : Gramedia
Tahun : 2014
Tebal : 198 halaman
ISBN : 978-602-030-268-3


Orang Kristiani dalam sejarahnya terbelenggu selama berabad-abad sebelum menemukan nilai positif politik seperti diinspirasikan Alkitab. Belenggu sejarah itu datang dari kenyataan bahwa kelompok umat Kristiani sejak kelahirannya berada di bawah kekuasaan yang menindas. Di sana berkembang sikap negatif terhadap politik dan kekuasaan. Politik dijauhi karena idealisme kehidupan rohani adalah keterpisahan dari dunia. Banyak penguasa politik entah sebagai raja, ratu, maupun pangeran di zaman lalu meninggalkan panggung politik dan berusaha mencari kesucian hidup di biara-biara religius (hal 13).

Padahal sejatinya, spiritualitas politik lahir serta dibentuk dalam ruang dan waktu, di setiap tempat sejak awal Gereja. Umat Kristiani selalu secara langsung maupun tidak terlibat dampak kehidupan politik. Dalam sejarah kekristenan, bentuk-bentuk relasi gereja dan politik telah diwujudkan secara berbeda. Politik dilihat sebagai jalan yang dapat membawa pada kesucian (hal 51). Kesadaran ihwal politik sebagai jalan kesucian baru berkembang sekitar tahun 1900-an. Ada kesadaran bahwa politik bukan medan yang harus dihindari. Kesadaran tentang pentingnya aktivitas politik bagi umat Kristiani semakin tumbuh setelah Konsili Vatikan II yang melihat pentingnya teologi kesadaran kenyataan-kenyataan duniawi (hal 68).



Karya berjudul Spiritualitas Politik ini akan memetakan bahwa spiritualitas Kristiani memunyai relevansi etis-politis. Orang Kristiani wajib menyuarakan sumbangannya dalam ranah publik. Sumbangan itu tidak terarah pada kepentingan sempit gereja, tetapi pada martabat manusia. Gereja memandang diri sebagai ahli kemanusiaan dan karena itu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan di ranah publik. Manusia dan kepentingan umum merupakan pusat serta tujuan berpolitik Gereja (hal 95).

Kini, dalam paham Kristiani, politik merupakan sebuah panggilan yang bermartabat. Spiritualitas tidak dapat dikurung dalam tataran politik praktis yang cenderung cacat pikir. Hakikat spiritualitas politik yang diusung Kristiani lebih mengunggulkan kedewasaan berpikir demi terwujudnya kemaslahatan umat. Sejarah relasi politik Kristiani sepenuhnya disarikan dari ajaran biblis. Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa keterlibatan dalam urusan politik merupakan perwujudan dimensi sosial dari kasih Kristiani. Bentuk-bentuk keterlibatan itu menjadi jalan menuju kesucian hidup. Dengan kata lain, mereka yang terlibat dalam politik menemukan kesucian dalam setiap perjuangannya membela hak-hak rakyat. Esensi politik dalam paham spiritualitas Katolik-Kristiani sejatinya membendung praktik politik sesat pikir yang secara buas memanipulasi kekuasaan serta mengorupsi harta negara (hal 135).

Dalam konteks Indonesia, Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986), menampilkan watak berpolitik sesuai idealisme Katolik yang tanpa pamrih. Ia masuk dalam gelanggang politik bukan untuk memperebutkan kekuasaan, melainkan berjuang mewujudkan idealisme tentang hidup berbangsa yang diterima dari imannya. Kesediaan untuk melebur Partai Katolik ke dalam Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1970 memperlihatkan bahwa partai hanya sarana, bukan tujuan pada dirinya sendiri (hal 165).

Nilai-nilai universal seperti kebenaran, keadilan, kasih, kebebasan, hak-hak asasi manusia, subsidiaritas, solidaritas, partisipasi, dan persekutuan, merupakan motivasi utama, dasar pijakan, acuan, serta pedoman dalam berpolitik umat Kristiani. Kalau nilai-nilai ini dihidupi dalam politik Indonesia, tentunya harta dan takhta tidak akan dilihat sebagai tujuan dalam politik, melainkan sebagai sarana memperjuangkan kepentingan bersama. n 

No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat