Labels

Thursday, 5 June 2014

Keteladanan Sejati sang Pangon

Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta edisi 31 Mei 2014

Judul  : Sang Pangon, Justinus Kardinal Darmojuwono
Penulis  : Rusmanto, Pr

Penerbit  : Kanisius, Yogyakarta

Tahun  : 2014

Tebal  : 196 halaman

ISBN  : 978-979-21-3661-6


Di Indonesia, tokoh ini tak begitu dikenal. Namun, siapa sangka bakti luhur dan budi pekertinya disegani dunia. Dialah Justinus Kardinal Darmojuwono. Dia adalah kardinal pertama Indonesia. Tak seperti laiknya tokoh protagonis yang populis, hanya ada satu buku memoir yang mengulas kehidupannya, karya J Hadiwikarta, 27 tahun silam.

Kini, lewat buku karya Rusmanto ini, umat Kristiani Indonesia diajak kembali menengok sekaligus mengambil hikmah perjuangan dan lika-liku kehidupan Sang Pangon. Kehadiran buku ini menjadi penting untuk meruwat narasi historis Keuskupan Katolik di Indonesia (halaman 2).

Imin, atau Djamin nama panggilannya, dilahirkan pada 2 November 1914 di kampung Klewonan Godean, Yogyakarta. Anak sulung pasangan Surodikiro dan Ngatinah ini sejak anak-anak sudah punya visi laku prihatin. Kehidupan keluarganya sederhana, membentuk Imin dan adik-adiknya terbiasa kerja keras.



Masa kecil Imin dihabiskan lebih banyak belajar dan bekerja ketimbang bermain. Sepulang sekolah rakyat Ongko Loro, Imin ke kebun membantu orang tua bercocok tanam dan menggembala ternak. Imin sedari kecil termasuk murid cerdas dan tekun. Dia ingin menjadi guru (halaman 12-17)


Keluarga Surodikiro sejatinya menganut agama Islam Kejawen (abangan), tidak salat dan percaya klenik. Mereka berdoa dengan lantaran menyan. Djamin remaja pun diajari kepercayaan yang sama. Kerap kali dia diajak ayahnya membakar menyan lantas berdoa tatkala musim tanam dan panen tiba.


Pada akhirnya, Djamin sadar memeluk agama bukan lakon warisan, tapi pilihan asasi hati nurani. Ia pun tergerak mencari keimanannya sendiri. Sampailah pertemuannya dengan buku-buku kakaknya yang belajar di sekolah Katolik Godean. Dari hasil pembacaan dan renungannya atas buku-buku Gereja itu, Djamin menemukan cahaya ilahi dan memutuskan mengimani Yesus Kristus.


Pada 1932, saat menempuh pendidikan guru di Muntilan, Djamin dengan ketundukan hatinya dibaptis menjadi hamba Bapa (halaman 29). Dari sana, rona kehidupan Djamin pun berubah. Ia merasa terpanggil melayani agama barunya. Tak lama berselang, panggilan itu pun semakin mengusik hati dan menemukan titahnya.


Ceritanya, saat sekolah guru, Djamin mengikuti tradisi cembengan (upacara menjelang giling tebu) di pabrik gula. Di sini dia melihat dua tabiat bertolak belakang antara para pekerja dan seorang pastor berkebangsaan Belanda. Pekerja memiliki perangai buruk, suka main perempuan, dan main pukul pribumi. Ini berbeda jauh dengan perilaku santun si pastor yang lembut dalam tutur kata, rajin menolong yang kesusahan. Keteladanan Pastor menyayat kalbu Djamin hingga tebersit keinginan menjadi pastor, pelayan Tuhan dan umat (halaman 48-53).


Berbeda dengan keputusan memeluk agama Katolik yang direstui, pilihan menjadi pastor mendapat tentangan dari keluarga, terutama ayahnya yang khawatir kelak Djamin tidak bisa hidup normal. Namun, melihat kemantapan Djamin yang tak tergoyahkan, ayahnya luluh dan merestui meski tidak sepenuhnya ikhlas.


Setelah lulus sekolah guru pada 1935, Djamin melanjutkan ke Seminari Mertoyudan, Magelang, lalu ke Seminari Tinggi St Paulus Yogyakarta pada 1941. Ia pun ditahbiskan menjadi Imam Diosesan (projo) pada 25 Mei 1947 oleh Mgr Soegijapranata SJ di Gereja St Antonius Kotabaru, Yogyakarta. Dari sana, kiprahnya menjadi pelayan pun tiba. Dia sempat ditugaskan di beberapa gereja Yogyakarta, Klaten, Solo, hingga Semarang (halaman 62-67).


Pada 1962, Uskup Agung Semarang, Mgr Soegijapranata, wafat dalam perjalanan mau menghadiri Sidang Konsili Vatikan II. Tak pelak, Justinus Darmojuwono pun ditahbiskan menggantikannya sebagai uskup agung kedua di Indonesia pada 6 April 1964.


Tiga tahun berselang, pada 26 Juni 1967, Paus Paulus IV menasbihkannya menjadi kardinal pertama Indonesia. Selama kebaktiannya, sang Pangon melayani umat dengan keteladanan, dan adil dalam menegakkan hukum-hukum Tuhan. Akhirnya, hari duka pun datang. Di usia ke-79 tahun, ia kembali ke rumah Bapa pada 3 Februari 1994.


Laiknya karya memoar, buku ini menapaktilasi perjalanan hidup sang Pangon, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga memasuki hari-hari senja. Banyak petuah yang diselipkan dan memberi hikmah. Dielaborasikan pula pergulatan pikiran Kardinal, cara mendekati umat, serta kecintaannya pada Gereja dan negara dalam setiap langkah dan karya penggembalaannya. Buku ini memberikan kisah keteladanan dan kebaktian menuju pribadi yang sejati. Muhammad Bagus Irawan








No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat