Judul Novel : Pasung JiwaPenulis : Okky MadasariPenerbit : Gramedia Pustaka Utama, JakartaTahun : 1, Mei 2013Tebal : 328 halamanISBN : 9789792295573
Novel sebagai karya sastra merupakan cermin masyarakat
dimana ia lahir. Seamsal gagasan Abrams (1976), “art is like a miror”,
karya sastra merupakan imitasi dari alam semesta, menjadi refleksi masyarakat
atas tatanan kehidupannya. Sejatinya tak banyak sastrawan Indonesia
yang istiqamah menyuarakan sastra sebagai perlawanan
politik dan kritik sosial. Hanya segelintir diantaranya; Pramoedya Ananta
Toer, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Seno Gumira Ajidarma, penyair Wiji Thukul,
Emha Ainun Nadjib, Y.B Mangunwijaya, Putu Wijaya. Mereka punya cara
masing-masing untuk menyampaikan kritiknya. Namun dirunut dari genealogis
sastra, ada benang merah yang terhubung dari pancaran kritik sastrawan
Indonesia, terciptanya etos bangsa Indonesia yang merdeka, damai, harmonis
dan dinamis seutuhnya.
Setidaknya benang merah inilah
yang coba disambung Okky dalam 'Pasung Jiwa'. Okky, peraih Katulistiwa
Literary Award tahun 2012 (lewat 'Maryam'), kali ini memertanyakan adakah
kebebasan di negeri ini? faktanya selama era Orde Baru dan terbukanya
Reformasi tak berpengaruh apa-apa. Yang kaya semakin kaya, yang miskin
tetap terbelenggu. Novel ini memiliki tema yang kuat, scriptoble menurut istilah Roland Barthes,
yang bisa mengilhamkan teks-teks baru di kepala pembacanya, yang makin
dibaca makin menampakkan pemandangan yang luas dan beragam. Pasung Jiwa
menyiarkan cerita nestapa waria (bencong), pengamen, sundal (pelacur),
dan orang gila, yang selama ini dipergunjingkan sebagai racun masyarakat
urban. Ragam karakter marjinal itu diikat kedalam kisah utuh dengan
gaya penulisan yang riil, khas reportase. Okky kentara menarasikan peristiwa
yang saban hari diliput media, menyuguhkan ironi jiwa-jiwa yang terikat
dan melepasnya lewat kedukaan, aniaya dan kematian.
Kerangka besar Pasung Jiwa diwakili
dua karakter 'aku', Sasana dan Jaka. Sasana terlahir dengan raga lelaki,
pada akhirnya memilih berjiwa perempuan, dipanggil Sasa. Sejak kecil
Sasana dididik secara ketat, dipaksa bermain piano, jiwanya tak bebas,
tak punya pilihan dan kehendak. Ia merasa terkurung sejak dalam kandungan, “sejak itu aku sudah menyesal
kenapa aku dilahirkan, dunia bukan untukku, dunia tak membutuhkanku” (hlm. 14). Baru menginjak usia
12 tahun, Sasana punya pilihan yakni 'dangdut', ia ingin selamanya menyanyi
dan berjoget diiringi dentuman dangdut, itulah passion dan kebebasannya.“Ranjangku adalah panggungku,
kamarku selalu menjadi lapangan pentasku” (hlm. 27). Jaka Wani nama aslinya.
Sejak putus kuliah, ia memilih menjadi seniman lewat bermusik. Ia mengamen
sepanjang jalan di kota Malang, dipanggil Cak Jek. Hingga tahun 1993,
takdir memertemukannya dengan Sasana di warung Cak Man. Keduanya lantas
berkolaborasi,; Jaka bermusik sedangkan Sasa menyanyi dan bergoyang,
lahirlah pentas lagu yang menghibur siapapun.
Puncak nestapa terjadi ketika Sasa dan Jaka ditangkap
dan dianiaya tentara. Sebelumnya, mereka menggelar demonstrasi menuntut
pembebasan putri Cak Man yang hilang, buruh di pabrik Sidoarjo. Akibat
penangkapan itu, Sasa dan Jaka terpisah. Selepas 14 hari, Sasa dibebaskan,
ia trauma dan pulang ke Jakarta. Di rumah ia kembali menjadi Sasana,
terkurung menjadi paranoid. Jiwa Sasa dihantui, ia kerap berteriak dan
mengamuk sendiri, tak ayal dianggap gila oleh keluarganya, dan dimasukkan
ke Rumah Sakit Jiwa. Ia sempat protes, karena merasa tak sakit tapi
tak bisa mengelak. Pada akhirnya ia menerima dan menyadari; “orang yang tak waras justru
orang yang sepenuhnya memiliki dirinya, ia tak akan mengikuti apa yang
dikatakan orang lain. Ia tak akan ikut-ikutan, hanya agar dianggap normal” (hlm. 119). Di sana, Sasa hadir
lagi, menyanyi dan bergoyang, hingga kematian temannya Banua, disusul
Gembul. Keduanya bunuh diri karena bosan dan lelah menjalani kehidupan
statis dan pragmatis, tak heran ada tulisan “Aku Sudah Bebas” dari kamar Banua (hlm.142).
Di sisi lain, digambarkan miniatur kehidupan kaum
buruh lewat kisah Jaka Wani. Jaka terdesak memenuhi kebutuhan ibu yang
renta di desa, ia disarankan merantau ke Batam menjadi buruh. Diterima
di pabrik televisi milik Jepang, Jaka digaji 90 ribu per minggu. Tinggal
di mes yang pengap, dan bekerja mengelap kaca delapan jam per hari.
Rutinintas ini membuat stres. Jaka menghardik profesi buruh sebagai
robot yang tak punya jiwa. Akhir minggu dijadikan pelampiasan mencari
kesenangan oleh para buruh. Lewat gaji, buruh berjaya, ia bisa mabuk
dan main di pelacuran. Pelacur diibaratkan pekerjaan nikmat beresiko
tinggi yang tumbuh subur di perkotaan dan wilayah industri urban. Selain
itu, ada mandor belang yang seenaknya mempermainkan buruh wanita. Jika
tak melayani nafsu birahi akan dipecat, apabila melayani dan hamil,
juga dipecat. Budaya seks bebas antara buruh urban juga pelacuran menjadi
realita dan tumbuh subur di era kapitalisme. Paham ini memosisikan uang
sebagai tuhan, dengan uang bisa membeli segalanya, selalu dijadikan
patokan matematis untuk menilai suatu kebahagiaan. “yang penting buat kami bisa
makan tiap hari, dan hati senang terus”(hlm.67).
Begitulah seabrek potret suram dari keterbelengguan
yang coba dialegorikan Okky dengan tawaran kebebasan. Novel ini cukup
berhasil membangun simpati dan keprihatinan pembaca. Ikhtiar novel ini
menggali makna kebebasan sebagai fitrah manusia, tentang dirinya, agama,
ekonomi, politik, dan sosial budaya. Dengan kebebasan ini apa yang diinginkan
manusia akan dilakukannya, bahkan kehendaknya sangat berpengaruh sehingga
tidak ada kekuasaan yang dapat membela diri dan mengganggunya. Sayangnya,
impian kebebasan seamsal ini barangkali--hanya akan--terjadi di dunia
lain (akhirat). Secara peyoratif, tafsir kebebasan dari Pasung Jiwa
sekedar angan-angan segar di tengah kegaduhan dan kelancungan kondisi
sosial dan politik negeri ini. Pantas saja, novel ini hadir melawan
lupa, ihwal lima belas tahun jalannya era reformasi, yang dulu digadang
membawa spirit perubahan dan kebebasan.
Muhammad Bagus Irawan, pegiat
Idea Studies IAIN Walisongo Semarang
asyik dan bikin kaget
ReplyDelete