Judul Buku : 12 Menit
Penulis : Oka Aurora
Penerbit : Noura Books
Tahun : 1, Mei 2013
Tebal : xiv + 348 halaman
ISBN : 978-602-7816-33-6
“Sesungguhnya
Allah tak akan pernah mengubah keadaan suatu bangsa, hingga mereka mengubah
keadaan mereka dengan drinya sendiri.” [QS. Ar-Ra’d (13): 11]
Nasib orang
siapa tahu? Tafsir ayat diatas menegaskan bahwa bukankah Tuhan tak akan
mengubah nasib seseorang, kecuali dirinya sendiri tergerak untuk berubah. Itu
artinya, segalanya mungkin terjadi, termasuk cita-cita yang kita gantung
setinggi langit bisa terwujud, asalkan kita mau mengejarnya lewat proses,
perjuangan, dan spirit kerja. Itulah ketentuan Tuhan. Ada sebab dan akibat. Siapa
yang menanam, dia yang mengunduh kelak.
Saya terketuk membeli dan
membaca novel ‘12 Menit’ ini berangkat dari postingan Facebook Noura Books
bertajuk Lomba Menulis Resensi 12 Menit : Dreaming is Believing. Seketika itu,
saya tertantang dan teringat kembali wejangan para suhu resensor Indonesia, bahwa
membaca buku berkualitas adalah lewat merensensinya. Inilah momen tepat
mewujudkan mimpi saya, menjadi peresensi buku yang berkualitas.
Pertama, salut dan dedikasi setingginya
buat Oka Aurora, lewat usaha ‘berdarah-darahnya’ akhirnya novel ‘12 Menit’ rampung
ditulis, terbit dengan sampul dominasi biru kayu yang elegan; merujuk latar
lika-liku perjuangan grup marching band. Untuk ukuran karya perdana, novel ini cukup
bagus, bahasanya mengalir, kaya dan renyah dibaca hingga larik akhir. Namun
begitu, ada yang mengganjal, pemotongan kisah hingga 50 bab menunjukkan novel
ini kentara diadaptasi dari naskah skenario film. Ini membuat pembaca novel
awam harus kerja keras memahami dan merunut alur dan penokohan cerita.
Ada empat tokoh utama disini,
Elaine, Tara, Lahang, dan Rene. Secara umum, Oka menuturkan keempatnya sebagai
orang ketiga. Sayangnya, Oka selalu mengulang-ulang penyebutan nama-nama itu, terus
menerus dalam 50 bab-nya. Mungkin bagi pembaca pemula tak masalah, namun bagi
saya cukup membosankan, di sini penulis bisa lebih menggali imajinasinya,
menempeli tokoh dengan julukan tiap karakter. Terlebih novel ini diadaptasi
dari kisah nyata, biasanya tiap karakter akan dideskripsikan lebih kuat lagi. Alur
ceritanya beranjak seputar marching band, dan juga karakter-karakter yang
disorot di dalamnya. Selanjutnya, dideskripsikan latar belakang kehidupan
setiap karakternya, membuat pembaca mengerti keadaan yang sedang mereka hadapi.
Titik ini hampir berhasil menghanyutkan pembaca bersimpati menyelami konflik
yang hadir lewat proses lampau nan panjang. Namun, Oka terlalu klise dalam
memainkan konflik, seringkali ada pengulangan yang tak perlu contohnya deskripsi
kecelakaan Tara.
From Zero to Hero
From zero to hero.
Dahulu, siapa yang kenal dengan Marching Band Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT)?
Namun kini pertanyaannya dibalik, siapa yang tak kenal dengan MBBPKT yang 10
kali merebut gelar juara nasional (GPMB) dan beberapa gelar Internasional? Marching
Band Bontang PKT menjadi panutan dan trendsetter grup-grup marching band secara
umum di Indonesia. Itulah bukti nyata dari sebuah perjuangan dan proses berdarah-darah.
Mari kita simak sepenggal kisah dibalik kesuksesan MBBPKT yang disarikan dalam
novel 12 Menit ini.
Berawal dari Marching Band
Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT), kisah sederhana ini terwujud. Semenjak berdiri,
MBBPKT berjalan setapak, tak banyak dikenal apalagi berprestasi. Inilah yang
memutuskan direksi yayasan Pupuk Kaltim mendatangkan pelatih baru yakni Rene—seorang
yang tak diragukan kapabilitasnya, kenyang kemampuan dan pengalaman di dunia
marching band professional skala internasional. Tak ayal, beban berat
mengangkat MBBPKT diserahkan ke pundaknya. Seketika itu, langkah pertama yang
ia lakukan adalah evaluasi kinerja tim dan perombakan organisasi dan
kepelatihan secara frontal. Dalam pengamatannya, Rene sadar akan bakat dan
potensi anak-anak Bontang—kali pertama dihadapinya, meskipun begitu, ia sadar
musuh terbesar mereka adalah diri sendiri.
Lahang,
seorang keturunan pemuka adat Dayak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ia
tinggal berdua dengan bapak yang sakit-sakitan, ibunya sudah lama meninggal dan
berwasiat kepadanya lewat secarik sobekan kertas bergambar Monas. Nahasnya,
bapak Lahang pada akhirnya divonis kangker otak, karena kendala biaya, tak bisa
melanjutkan berobat pada dokter, hanya mengandalkan pengobatan tradisional dan
takdir mereka berpasrah. Satu hal, Lahang tak ingin kehilangan seorang yang
paling dicintainya lagi seamsal dulu ia kehilangan ibu tanpa bisa melihatnya. Ditengah
keterbelengguan itu, ia harus kuat, membagi waktu antara sekolah, latihan
marching band, dan merawat bapaknya. Bapaknya berpesan; “Berapa pun waktu
yang diberikan, tak seharusnya dihabiskan dengan ketakutan….. karena ketakutan,
anakku, tak akan pernah menyambung hidupmu. Yang akan menyambung hidupmu, hanya
keberanian.” [hlm. 104]
Selanjutnya, Tara, nasibnya
hampir sama dengan Lahang. Sehabis kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya,
pendengarannya hanya tersisa beberapa persen saja. Tak ayal, demi masa depan
Tara yang lebih baik, ibunya memutuskan untuk melanjutkan kuliah, Tara lantas
dititipkan bersama Oma dan Opa-nya di Bontang. Sontak kala itu, Tara merasa
terbuang, ia takut dan ragu dengan keterbatasannya. Namun itu masa lalu, kini
Tara mulai bangkit, percaya diri, setahun sudah ia berlatih bersama cadet
band. Ia berusaha membuktikkan bahwa dirinya mampu masuk dalam tim inti.
Sayangnya itu tak semudah yang dipikirkan, ia sulit mengompakkan diri dengan
kelompoknya. Cercaan motivasi Rene pun kerap mengampiri dirinya, lamat-lamat
membuat Tara minder dan takut lagi atas keterbatasannya. “Kadang-kadang,
hidup itu, ya, kayak gitu, Dek. Kayak dorong mobil di tanjakan,” jelas Opa, “susah.
Berat. Capek. Tapi, kalau terus didorong, dan terus didoain, insya Allah akan
sampai…. Kamu punya pilihan ma uterus dorong sampai tanjakan, atau mau lepas
saja?” [hlm. 160]
Lain halnya, Elaine, seorang
anak baru dari Jakarta yang pindah ke Bontang karena pekerjaan Ayahnya. Dengan
berat hati ia harus meninggalkan kehidupannya yang nyaman dan menyenangkan di
Jakarta. Kecintaannya terhadap musik membuatnya tertarik masuk ke dalam
marching band, terlebih dengan pengalamannya sebagai seorang field commander di
Jakarta. Namun Ayahnya, Josuke Higoshi, tidak setuju dengan kegiatan yang ia
rasa tidak memiliki masa depan itu. Hingga pada akhirnya Elaine harus
dihadapkan pada keputusan yang amat sulit; melakukan apa yang menyenangkan
Ayahnya, atau melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Ihwal itu, Rene
berujar; “Saya jadi sadar bahwa saya beruntung sekali punya ayah yang
mengijinkan saya jadi siri saya sendiri.” (hlm. 255)
Oka berhasil meramu keempat
karakter dan konflik secara pararel, sekaligus membuat novel ini multifaset. Didalam
novel ini juga tersaji keragaman suku, bahasa, kultur, dan agama; inilah pesona
dan miniatur bhinneka tunggal ika sebenar-benarnya. 120 anak dengan aneka latar
belakang dan problem dalam dirinya masing-masing, bersatu dan berjuang bersama sekuat
tenaga demi meraih juara nasional. Ribuan jam mereka habiskan berlatih demi 12
menit penampilan terbaik di puncak GPMB di Jakarta. 12 menit untuk selamanya, VINCEROOO!
Nilai Plus
Bagi saya, novel ini benar-benar
inspiratif, karena banyak tuturan motivasi di sekujur badan novel. Seamsal; Stop
Thinking, Start Feeling. Saya Selalu Siap. When You Have Nothing, You’ve Got
Nothing to Lose. Think Like a Champion and Fight Like One. Tema besar nya
cukup sederhana, sekitar perjuangan anak-anak Bontang mewujudkan mimpi mereka, meskipun
ada begitu banyak masalah yang merintangi. Yang lebih adalah, kisah tentang keharmonisan
dan keikhlasan kekeluargaan yang hangat meski terjadi banya pertentangan lahir
dan batin. Benar apa yang dikatakan Oppie Andaresta lewat komentarnya; “Novel
ini berisi cerita orang-orang yang tak takut meraih mimpi…”. Novel ini juga
menjadi sarana efektif memerkenalkan seluk-beluk dunia marching band secara
apik bagi pembaca yang awam—meski penulis pada mulanya juga kurang paham. Kisahnya
pun menggugah penuh spirit dan menghanyutkan pembaca untuk meneruskan sampai khatam;
sekata dengan Andy F Noya; “Kisah yang mencerahkan dan inspiratif”. Tak
heran, kisah heroik 12 menit segera difilmkan. Semoga saja filmnya sebaik
novelnya. Selamat membaca. [[Muhammad Bagus Irawan]]