Labels

Sunday, 20 June 2010

Riwayat Resensiku


Dimuat di Koran Jakarta edisi 12 Juni 2010

Lika-Liku Kehidupan Buya Syafi’i

Judul : Si Anak Panah

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : Pertama, Mei 2010

Tebal : x + 260 halaman

Harga : RP 50.000,-

ISBN :978-979-22-581-2

Novel ini merupakan lanjutan dari novel pertama si anak kampoeng. Merupakan bagian dari 5 serial novel yang mengisahkan kehidupan Syafi’i Maarif. Disini Damien, yang merupakan penulis skenario, mencoba mengeksplorasi bebas kemampuannya dalam mencipta novel.

Novel ini berisi 37 bab, layaknya novel-novel sejenis lainnya. Dalam bab pertama, penulis menceritakan perjalanan Syafi’i ke Pohgading, Lombok Timur. Dimana saat itu Pi’i muda sebagai alumnus muallimin jurusan A, lebih terfokus terjun di masyarakat. Sebagai anak panah Muhammadiyah, sebutan bagi mereka saat itu. Mereka adalah ujung tombak Muhammadiyah yang diutus menjadi guru dan muballigh, dan harus siap ditempatkan dimanapun, demi bakti terhadap agama, nusa, dan bangsa.

Dengan tugas barunya di tanah Lombok, hari demi hari dihabiskannya untuk mengajar. Ada hal menarik di tempat ini, adanya kemiripan dengan kampung halamannya, selain pesona keindahan alam yang masih asri, makanan-makanannya serba pedas dan merangsang, sama halnya dengan tipikal orang minang, memang benar-benar sesuai dengan nama pulaunya : pulau Lombok (lada). Berada disini Syafii selalu terngiang-ngiang dengan rumah, terutama kepada ayahnya yang sudah dua tahun meninggal di Calau, Sumpur Kudus. ini yang membuat dirinya tidak bertahan lama disana, dalam tempo setahun Syafii pun pulang kampung dengan membawa dua ikat bawang, yang akan dijadikan bibit.

Perjuangan Tanpa Henti

Sesampainya di Padang, Syafii yang hanya punya sedikit bekal, berencana nebeng truk ke pasar kumanis. Dia pun menginap di rumah saudagar kaya; syafii pun cukup kenal dengan keluarga itu, termasuk si gadis celana merah yang dipanggil Lip, kelak akan menjadi istrinya. Tiba di pasar Kumanis dia bertemu adiknya, Syukri Maarif berusia 13 tahun, keduanya pun berpelukan melepas segala keharuan dan perjuangan hidup setelah ditinggal bapak. Setelah itu dia melanjutkan ke rumah Etek Bainah melepas kerinduan.

Syafii yang masih bertekad melanjutkan pendidikannya, kembali ke Jawa, dengan tidak melepas tanggung jawab tentunya. Dia sudah mencari pengganti mengajar di Payahkumbu, Bachtasar Tahar alumnus Mualimin Lintau. Setelah niatan mendapat sambutan positif perjuangan pun siap dimulai, kembali ke tanah rantau. Disana Syafii yang sudah biasa hidup mandiri semenjak remaja, harus berjuang keras menempuh hidup yang tertatih-tatih. Dia menjalani beratnya sekolah sambil bekerja, sehingga pada mulanya mengambil fakultas hukum harus rela pindah ke FKIP jurusan sejarah budaya Universitas Cokroaminoto Surakarta, dengan alasan efisiensi jadwal dan waktu bekerjanya. Perjuangannya sungguh berat, berbagai profesi pun pernah Syafii jalani demi mengais rejeki membiayai kuliahnya; mulai dari guru les, penjaga toko kain, penimbang besi, berdagang ayam dan kambing sampai menjadi guru honorer.

Bagi saya buku ini merupakan simbol kekaguman penulis terhadap Buya Syafii. Dimana beliau menjadi sosok guru bangsa baginya. Disini penulis cukup lihai memainkan penanya dalam membawakan novel ini, tulisannya beralur lancar, mudah dibaca, menyimpan banyak rasa, dengan tidak menghilangkan makna hidup di dalamnya.

Dalam bab 12, diceritakan sampai usia 28 tahun, Syafii menjadi bujang lapuak yang masih begulat menuntut ilmu di jawa, belum juga memiliki tumpuan hati. Sudah 4 tahun lamanya dia tidak pulang, sehingga membuat Etek Bainah, bibi yang merawatnya semenjak kecil, ikut merasa sedih dan gelisah. Kemudian atas inisiatif putranya Ismael, timbulah keinginan untuk menjodohkan Syafii dengan Lip si gadis kecil, dimana usia keduanya terpaut jauh sekitar 10 tahun.

Setelah berkirim surat tentang perjodohannya, Syafii pun pulang kampung dan terlaksanalah pertunangan dirinya dengan Lip, yang saat itu berumur 18 tahun. Hubungan jarak jauh sempat mereka lakoni, dengan rasa sayang dan saling memahami. Dimana Syafii melanjutkan kuliahnya di jawa, dan Lip melanjutkan sekolahnya di Padang. Pernah suatu masalah besar menimpa dan hampir mengandaskan hubungan mereka, namun bisa diatasi, kabar bahwa Syafii telah mempunyai anak di Baturetno. Dan wujud dari kesabaran mereka, akhirnya mengantarkan keduanya sampai ke pelaminan, meniti titian kehidupan bersama.

Pelajaran Hidup

Penulis menutup buku ini dengan sebuah kisah sedih, setelah menikah Syafii dan Lip menjalani kehidupan yang sebenarnya dimana cobaan datang silih berganti; mulai dari kondisi ekonomi yang pas-pasan dan serba sulit, hidup yang berindah-pindah, sampai puncaknya, putra pertamanya Salman, buah hati yang menorehkan cahaya kebahagiaan dalam keluarganya, dipanggil lebih cepat oleh Tuhan. Meninggalkan kesedihan yang teramat dalam bagi mereka; saat Salman sakit hanya ditemani ibundanya, Lip di Padang, sedang Syafii terlampau jauh di Yogyakarta.

Buku yang nantinya akan dirilis menjadi sebuah film ini mengajarkan kesederhanaan hidup, ketabahan, konsistensi, independensi, moralitas adiluhung dan pergumulan panjang pencarian jati diri seorang Syafii Maarif. Selamat membaca!

Peresensi : Muhammad Bagus Irawan, pegiat di Jepara Pena Club, mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.

No Telp : 0858 654 142 41

No ATM : BPD Jateng Cab IAIN Walisongo Semarang (2-056-08169-3)

1 comment:

Silahkan Berpendapat