Labels

Sunday, 20 June 2010

Resensi


Laksamana Cheng ho Penyebar Islam di Nusantara


Judul : Cheng ho: Penyebar Islam dari China ke Nusantara

Penulis : Tan Ta Sen

Penerbit : Penerbit Kompas, Jakarta

Cetakan : Pertama, Juni 2010

Tebal : xiiv + 406 halaman

Harga : RP 85.000,-


Namanya tak asing, Laksamana Cheng ho, komandan tertinggi armada laut terbesar di dunia pada masa dinasti Ming—kekuasaan Mongol di china—sekitar abad 15. adalah sosok yang paling banyak diperbincangkan dalam 6 abad terakhir. Kaitannya dengan ekspedisi transendentalnya ke berbagai samudera di dunia, mengusung warna peradaban islam negeri tiongkok kala itu. Ya, siapa sangka banyak persepsi kontras para sejahrawan saat ini yang menuai hipotesa ihwal penyebaran islam terbesar di nusantara adalah berasal dari jalur China, berbanding sealur dengan jalur barat perdagangan Gujarat dan timur tengah.

Dalam kisaran abad 13 sampai 15 masehi, adalah masa dimana terjadi transmisi islam besar-besaran dari China ke Asia Tenggara. Disini dibagi menjadi dua fragmen; pertama akibat dari pendudukan Mongol islam atas kerajaan Majapahit awal abad ke 13 yang berdampak positif menyebarnya islam secara patronisme. Kedua adalah berkat pelayaran samudera laksamana Cheng ho ke daerah asia tenggara—Champa, Zhenla, Siam, Malaka, Aceh, Sumatera, Jawa, dan termasuk kawasan timur nusantara—membawa berbagai misi perdamaian, diantaranya: pengamanan jalur laut selatan, perdagangan dan hubungan multilateral kenegaraan dinasti Ming.

Penulis mencatat setidaknya ada tujuh ekspedisi besar Cheng ho ke samudera barat sejak tahun 1405 sampai 1433, mengubah secara radikal lanskap politik dan agama di kepulauan asia tenggara( hal 223). Disini penulis menjelaskan bahwa dari ekspedisi-ekspedisi Cheng ho itu, menemukan adanya sejumlah pemukiman China di Jawa dan Sumatera. Hal demikian mengandung nilai sejarah yang sangat penting, baik dalam sejarah China maupun AsiaTtenggara. Itu memberikan dimensi budaya politik baru dan perspektif baru bagi misi diplomasi dan perdagangan Cheng ho. Sekaligus berdampak langsung terhadap perkembangan masyarakat China perantauan di Indonesia dan perannya dalam penyebaran islam di nusantara (hal 254).

Dalam buku yang merupakan desertasi penulis mendapatkan gelar doktor jurusan sejarah Universitas Indonesia ini, terkesan istimewa. Begitulah, karena Tan Ta Sen mampu mengemas dan memadukan data yang banyak berasal dari berbagai sumber sejarah, terutama dari naskah-naskah kronik China dan relief bangunan kuno yang sulit dipahami orang awam menjadi sebuah karya yang berefleksi edukatif dan bermuatan nilai historis tinggi. Diulas di dalamnya dua garis besar pembahasan; tentang peradaban islam di China dengan inisasinya dan peradaban islam di asia tenggara dengan aspek penyebaran dan mobilitas akulturasi kebudayaan di dalamnya.

Buku ini tersusun dalam sembilan bab pembahasan dan dibagi menjadi dua fragmen. Terkait erat dalam fragmen awal dan kedua dimana dijelaskan penulis bahwa, dinasti Ming lebih mengandalkan kemajuan peradabannya dalam mengembangkan kekuasaan politiknya terutama ke daerah selatan. Dalam hal ini merupakan kawasan penting perdagangan; sebagai jalur sutra, jalur champa, dan jalur emas. Terbukti dengan politik damai ini, menjadikannya memiliki pengaruh terbesar saat itu. Dan hakikatnya adalah mengubah arus asimilasi budaya menjadi tendensi perdamaian dan memudahkan ekspedisi pedagang China ke berbagai penjuru nusantara; sumatera, pesisir utara jawa, dan kepulauan timur Indonesia.

Adapun dari sisi penyebaran islam yang dibawa oleh Cheng ho, lebih kearah pendekatan kaum elite—bangsawan kerajaan yang masih berpahamkan hindu dan budha—secara patron. Langkah ini berdampak besar dalam penyebaran islam saat itu, disebabkan banyaknya pedagang dan tentara islam tiongkok yang menjalin hubungan dengan warga pribumi kemudian menetap. Hingga muncul banyak perkampungan di nusantara yang bernafaskan islam, meskipun tidak bisa dipungkiri masih banyak tradisi hindu-budha di dalamnya, semisal di jawa dikenal dengan tradisi islam kejawen. Hal yang juga serupa hampir di seluruh kawasan penyebaran islam asia tenggara. Wujud akulturasi yang nampak jelas sampai sekarang, adalah bentuk bangunan masjid yang bercorak china-jawa.

Meskipun pada perkembangan selanjutnya terjadi ambivalensi keideologian dari warga China islam perantauan tentang ihwal jati diri mereka. Hal ini akibat pengaruh paham konfunisme yang menjadi superior utama ideologi rakyat tiongkok, usai redupnya pengaruh kekuasaan islam Mongol di China akhir abad ke 17. Hal yang menarik dimana proses asimilasi Indonesia-China yang sudah mengkristal, menumbuhkan kesepahaman ideologi dan tradisi yang seakan menyatu dengan rasa empati dan toleransi yang tinggi. Penulis menambahkan, sampai kemudian pada tahun 1999, muncul sosok pemimpin negeri ini yang merupakan keturunan China islam, yakni KH. Abdurrahman Wahid, sosok guru bangsa yang moderat dan toleran.

Bagi saya, buku ini hendak mengingatkan bahwa sejarah memicu orang melakukan pelacakan asal-usul untuk mengafirmasi identitas dengan sekian tautan agama, politik, ekonomi, sosial, dan kurtural. Disini penulis mampu memberikan uraian yang kaya, mengalir dengan bahasa yang renyah, disertai dengan indeks yang komprehensif, dan mengandung makna dan pelajaran di dalamnya. Adapun kekurangan dari buku ini lebih terhadap dosa kecil kesalahan ketik, sedang ihwal tipologi materi buku ini bisa dikatakan sempurna. Akhirnya, membaca buku ini pembaca akan diajak mengarungi eksperimen dan ekspedisi ihwal peran islamisasi tiongkok ke nusantara yang dimotori oleh Laksamana Cheng ho dengan sikap arif dan toleransinya. Sekian.


Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, pembaca buku asal kota ukir Jepara, mahasiswa Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang.


No comments:

Post a Comment

Silahkan Berpendapat