Siluet Keteladanan Obama Kecil
Judul : Obama Dari Asisi
Penulis : Damien Dematra
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Juni 2010
Tebal : 244 halaman
Harga : RP 45.000,-
Masa kecil merupakan masa yang menyimpan belbagai kenangan yang unik dan indah untuk sekedar dilupakan. Begitu pula dengan kenangan Barry, ya, nama kecil Barrack Obama, yang sekarang menjadi Presiden Amerika Serikat pertama yang berkulit hitam. Kenangan itu lahir dan menjadi rajutan kisah tersendiri dari kehidupannya bersama teman, guru dan orang sekitar di SD Fransiscus Asisi.
Kisah ini berawal dari kedatangannya di Indonesia tahun 1967 bersama ibunda Ann Dunham Soetoro dan ayah tirinya Lolo Soetoro. Barry saat itu masih buta sama sekali tentang Indonesia. Hal yang pertama kali dikenalnya adalah kata “te-ri-ma-ka-sih”. Kata itu dikenalnya tatkala Lolo mengucapkannya kepada petugas pembawa kopor di bandara. Dia tentunya masih ingat hal itu tentunya, sehingga dia bisa menarasikan ihwal pandangannya tentang indonesia lewat buku pertamanya yang berjudul “ Dreams from my father”. Dalam bukunya ini dia menyatakan “ tinggal di Indonesia menanamkan pemahaman abadi dalam pemikiran saya selama masa-masa pembentukan jati diri”.
Inilah kompilasi unik yang coba kembali diangkat oleh Damien lewat novelnya yang berjudul “ Obama dari Asisi” setelah sebelumnya menulis “Obama Anak Menteng”. Namun jika dilihat dari alur kisah Obama, novelnya ini bisa dikatakan “telat terbit” dari novel versi Obama pertama. Laiknya novel lainnya, Novel ini berisi dengan prolog, epilog, dan 34 bab. Novel ini merupakan hasil padu citraan memoar teman-temannya di SD Asisi dulu, yang disini diperankan dalam tokoh: Dodot, Yunaldi, Herman, Ria dan lainnya. Merekalah yang sehari-harinya bermain dan mengukir kisah bersama Barry. Mulai dari bermain pletokan, prosotan, kelereng, bola kasti, dan petak umpet, hingga berwisata kuliner bersama: makan singkong, bakso, gulali, krupuk, dan lain sebagainya yang menjadi makanan khas Indonesia.
Saat itu Barry berusia 6 tahun, tentu saja dia harus segera sekolah meskipun tidak bisa berbahasa Indonesia. Hingga ayahnya Lolo-yang berdinas di bagian topografi TNI AD- mendaftarkannya ke SD Fransiscus Asisi yang berada tidak jauh di belakang rumahnya. Ada hal yang menarik disini; Barry didaftarkan dengan nama Barry Soetoro, beragama islam, dan dicatatkan sebagai warga negara Indonesia. hari pertama masuk sekolah Barry yang bersemangat masih merasa galau dalam hatinya; disamping ketidakmampuannya untuk berbahasa Indonesia, postur tubuhnya pun berbeda dengan anak lainnya. Beruntung Barry yang berkulit hitam dan berambut keriting bertemu seorang guru yang dengan baik hati menerjemahkan setiap pelajaran yang tidak dimengerti, bahkan memberikan pelajaran tambahan bahasa Indonesia.Lambat laun Barry pun mampu menguasai bahasa Indonesia, tentunya dengan logat yang masih kaku.
Diceritakan disini, Israella, guru pertama Barry, menyatakan bahwa Barry adalah pribadi yang cerdas, pantang menyerah, dan luwes dalam bergaul. Ini dibuktikan dengan dengan cepatnya dia menyesuaikan diri dalam lingkungannya dan prestasinya pun semakin meningkat. Kesehariannya selalu tersusun rapi dengan jadwal yang ditetapkan ibunya; sekolah di pagi hari, boleh main sampai siang, dan harus di rumah dan belajar sewaktu sore hingga malam. Inilah yang pada akhirnya membentuk kedisiplinan dalam dirinya. Sementara guru keduanya cecilia mengenang bahwa Barry sering menjadi pemimpin saat murid –murid berbaris sebelum memasuki kelas. Dan bagi teman-temannya, Barry adalah teman yang suka membantu dan menyenangkan. Pernah suatu hari di sekolahnya ada perselisihan antar kakak kelasnya dan dengan sigap Barry yang saat itu sedang senam bersama teman-teman sekelasnya, mencoba melerai. Obama kecil seakan memiliki empati dan rasa tanggung jawab yang tinggi yang membentuk suatu keteladanan dalam dirinya.
Bagi saya novel ini merupakan bumbu penyedap yang menjadi faktor penting terwujudnya sajian yang lezat; yaitu pribadi Barrack Husin Obama yang patut menjadi teladan. Seorang liberal dan humanis yang mempunyai gagasan besar menciptakan perdamaian dunia dan keadilan kemanusiaan. Selanjutnya dalam novel ini, selain kesalahan dalam penulisan, bahasa sastra yang diuraikan damien belum begitu nampak, namun dia bisa menyajikannya dengan cukup renyah dengan belbagai makna dan pelajaran hidup di dalamnya. Penulis menutup novel ini dengan cerita kerinduan dari teman-teman dan guru Barrack Obama dari SD Asisi yang ditinggalkannya tanpa kabar saat akhir kelas tiga. Dan mereka pun akan selalu menanti kehadirannya di Indonesia, entah kapan setelah bulan Juni ini, rencananya untuk datang kembali tertunda. Ada apa Obama?
Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, pegiat di Pesanggrahan Kalamende, mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo.
CP : 0858 654 142 41