Resensi dimuat di Koran Jakarta edisi Jum'at 13 Februari 2015
Judul : Teologi Jalan Tengah
Penulis : T Tri Harmaji
Penerbit : Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia
Tahun : Desember 2014
Tebal : xii + 312 halaman
ISBN : 978-602-178-83-49
Buku Teologi Jalan Tengah ini sejatinya menjadi jawaban atas kegagalan pola hidup manusia era modern dan postmodern. Tak heran, buku lebih menguraikan historisreflektif. Sebelumnya, dijabarkan ada dua teologi yang sampai saat ini menjadi andalan Gereja dalam menjawab realitas sosial ekonomi: Teologi Pembebasan dan Teologi Kemakmuran. Namun karena konteks yang telah berubah, kedua teologi itu semakin dianggap kurang relevan.
Seperti terlihat dari konteks kemunculannya, teologi kemakmuran lebih relevan untuk menanggapi sebuah resesi ekonomi. Sementara teologi pembebasan lebih cocok untuk mengkritisi para penguasa tiran. Nah, di era demokrasi dan kemajuan ekonomi sekarang, Gereja ditantang memetakan kembali persoalan dan kemudian menciptakan sebuah teologi baru yang relevan.
Teologi Jalan Tengah menawarkan sebuah solusi yang sebenarnya sudah usang, namun tetap sangat berharga, yakni kesederhanaan. Maka, dia bisa juga disebut sebagai Teologi Kesederhanaan. Kesederhanaan adalah jawaban terhadap persoalan kesenjangan dan gaya hidup modern, serta segala perilaku negatif yang diturunkan.
Di antaranya, perilaku-perilaku yang muncul sebagai akibat tiga “isme”: egoisme, hedonisme, dan konsumerisme. Argumentasi buku disusun dalam tiga pokok bahasan utama: gaya hidup modern dan konsekuensi sosial yang ditimbulkannya. Kemudian, Yesus dan kesederhanaan yang Dia hidupi.
Terakhir, kesederhanaan dan potensinya sebagai jalan keluar. Tak bisa dipungkiri, gaya hidup modern yang keblabasan tidak hanya memunculkan jurang kesenjangan tetapi juga merusak keseimbangan alam. Mereka yang berkuasa dan bergelimang harta semakin dirasuki nafsu menumpuk kesenangan.
Maka, diperlukan teologi yang bisa meredamnya. Kata-kata Yesus bahwa “Kamu telah menerima dengan cuma-cuma dan hendaklah memberi dengan cuma-cuma pula,” bukan saja mendorong untuk selalu memberi, melainkan terlebih membuat manusia sadar untuk menempatkan Allah dan cinta-Nya menjadi sumber kehidupan kita.
Ketika Allah dan cinta-Nya bisa dirasakan, bujuk rayu dunia dalam hidup manusia akan terhalau. Dengan kata lain, ketika damai, keadilan, dan kebenaran menjadi inti perjuangan manusia, maka hidup itu akan menjadi berkelimpahan, serta menjadi berkat bagi orang lain (hal 286). Orang-orang yang berjuang untuk keadilan karena iman, sering memasukkan “kontemplasi” dalam proses refleksinya.
Yakni upaya mengendalikan diri untuk mendengar kehadiran Tuhan di setiap langkah. Hal demikian secara tidak langsung akan memengaruhi gaya hidup manusia dalam memaknai kehidupan. Kesadaran akan kesederhanaan hidup Yesus, kesenjangan kaya-miskin, serta pola-pola konsumsi manusia yang telah merusak bumi-ekosistemnya, akan membuat orang Kristen mencontohi hidup sederhana (hal 151).
Hanya perlu diingat, kesadaran untuk hidup sederhana tidak bisa dipaksakan. Dia harus dibangun secara bertahap lewat pembentukan kebudayaan karena determinasi budaya lebih efektif dan reflektif dijalankan untuk melewati sekat-sekat politis, suku, bahasa, bahkan agama itu sendiri (hal 303).
Pada akhirnya ditegaskan bahwa kehidupan bersahaja yang diusung Teologi Jalan Tengah bukanlah suatu kehidupan ala biara, tapi menonjolkan gaya hidup sederhana yang sesuai zaman. Dulu kehidupan biara adalah jalan tengah antara kehidupan penuh nafsu dan asketik yang ekstrem. Namun dalam konteks sekarang, gaya hidup sederhana merupakan jalan tengah antara kehidupan penuh nafsu dan membiara.
No comments:
Post a Comment
Silahkan Berpendapat