Labels

Sunday, 11 August 2013

Patgulipat Kritik Kebebasan

Terbit di rubrik Buku Jawa Pos edisi Minggu 11 Agustus 2013
Judul Novel : Pasung Jiwa
Penulis  : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun  : 1, Mei 2013
Tebal  : 328 halaman
ISBN  : 9789792295573

Novel sebagai karya sastra merupakan cermin masyarakat dimana ia lahir. Seamsal gagasan Abrams (1976), “art is like a miror”, karya sastra merupakan imitasi dari alam semesta, menjadi refleksi masyarakat atas tatanan kehidupannya. Sejatinya tak banyak sastrawan Indonesia yang istiqamah menyuarakan sastra sebagai perlawanan politik dan kritik sosial. Hanya segelintir diantaranya; Pramoedya Ananta Toer, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Seno Gumira Ajidarma, penyair Wiji Thukul, Emha Ainun Nadjib, Y.B Mangunwijaya, Putu Wijaya. Mereka punya cara masing-masing untuk menyampaikan kritiknya. Namun dirunut dari genealogis sastra, ada benang merah yang terhubung dari pancaran kritik sastrawan Indonesia, terciptanya etos bangsa Indonesia yang merdeka, damai, harmonis dan dinamis seutuhnya.

Setidaknya benang merah inilah yang coba disambung Okky dalam 'Pasung Jiwa'. Okky, peraih Katulistiwa Literary Award tahun 2012 (lewat 'Maryam'), kali ini memertanyakan adakah kebebasan di negeri ini? faktanya selama era Orde Baru dan terbukanya Reformasi tak berpengaruh apa-apa. Yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap terbelenggu. Novel ini memiliki tema yang kuat, scriptoble menurut istilah Roland Barthes, yang bisa mengilhamkan teks-teks baru di kepala pembacanya, yang makin dibaca makin menampakkan pemandangan yang luas dan beragam. Pasung Jiwa menyiarkan cerita nestapa waria (bencong), pengamen, sundal (pelacur), dan orang gila, yang selama ini dipergunjingkan sebagai racun masyarakat urban. Ragam karakter marjinal itu diikat kedalam kisah utuh dengan gaya penulisan yang riil, khas reportase. Okky kentara menarasikan peristiwa yang saban hari diliput media, menyuguhkan ironi jiwa-jiwa yang terikat dan melepasnya lewat kedukaan, aniaya dan kematian. 

Thursday, 1 August 2013

Perjuangan Ribuan Jam demi Kemenangan 12 Menit




Judul Buku    : 12 Menit
Penulis           : Oka Aurora
Penerbit         : Noura Books
Tahun             : 1, Mei 2013
Tebal              : xiv + 348 halaman
ISBN              : 978-602-7816-33-6

“Sesungguhnya Allah tak akan pernah mengubah keadaan suatu bangsa, hingga mereka mengubah keadaan mereka dengan drinya sendiri.” [QS. Ar-Ra’d (13): 11]
            Nasib orang siapa tahu? Tafsir ayat diatas menegaskan bahwa bukankah Tuhan tak akan mengubah nasib seseorang, kecuali dirinya sendiri tergerak untuk berubah. Itu artinya, segalanya mungkin terjadi, termasuk cita-cita yang kita gantung setinggi langit bisa terwujud, asalkan kita mau mengejarnya lewat proses, perjuangan, dan spirit kerja. Itulah ketentuan Tuhan. Ada sebab dan akibat. Siapa yang menanam, dia yang mengunduh kelak.
Saya terketuk membeli dan membaca novel ‘12 Menit’ ini berangkat dari postingan Facebook Noura Books bertajuk Lomba Menulis Resensi 12 Menit : Dreaming is Believing. Seketika itu, saya tertantang dan teringat kembali wejangan para suhu resensor Indonesia, bahwa membaca buku berkualitas adalah lewat merensensinya. Inilah momen tepat mewujudkan mimpi saya, menjadi peresensi buku yang berkualitas.
Pertama, salut dan dedikasi setingginya buat Oka Aurora, lewat usaha ‘berdarah-darahnya’ akhirnya novel ‘12 Menit’ rampung ditulis, terbit dengan sampul dominasi biru kayu yang elegan; merujuk latar lika-liku perjuangan grup marching band. Untuk ukuran karya perdana, novel ini cukup bagus, bahasanya mengalir, kaya dan renyah dibaca hingga larik akhir. Namun begitu, ada yang mengganjal, pemotongan kisah hingga 50 bab menunjukkan novel ini kentara diadaptasi dari naskah skenario film. Ini membuat pembaca novel awam harus kerja keras memahami dan merunut alur dan penokohan cerita.
Ada empat tokoh utama disini, Elaine, Tara, Lahang, dan Rene. Secara umum, Oka menuturkan keempatnya sebagai orang ketiga. Sayangnya, Oka selalu mengulang-ulang penyebutan nama-nama itu, terus menerus dalam 50 bab-nya. Mungkin bagi pembaca pemula tak masalah, namun bagi saya cukup membosankan, di sini penulis bisa lebih menggali imajinasinya, menempeli tokoh dengan julukan tiap karakter. Terlebih novel ini diadaptasi dari kisah nyata, biasanya tiap karakter akan dideskripsikan lebih kuat lagi. Alur ceritanya beranjak seputar marching band, dan juga karakter-karakter yang disorot di dalamnya. Selanjutnya, dideskripsikan latar belakang kehidupan setiap karakternya, membuat pembaca mengerti keadaan yang sedang mereka hadapi. Titik ini hampir berhasil menghanyutkan pembaca bersimpati menyelami konflik yang hadir lewat proses lampau nan panjang. Namun, Oka terlalu klise dalam memainkan konflik, seringkali ada pengulangan yang tak perlu contohnya deskripsi kecelakaan Tara.
From Zero to Hero
From zero to hero. Dahulu, siapa yang kenal dengan Marching Band Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT)? Namun kini pertanyaannya dibalik, siapa yang tak kenal dengan MBBPKT yang 10 kali merebut gelar juara nasional (GPMB) dan beberapa gelar Internasional? Marching Band Bontang PKT menjadi panutan dan trendsetter grup-grup marching band secara umum di Indonesia. Itulah bukti nyata dari sebuah perjuangan dan proses berdarah-darah. Mari kita simak sepenggal kisah dibalik kesuksesan MBBPKT yang disarikan dalam novel 12 Menit ini.
Berawal dari Marching Band Bontang Pupuk Kaltim (MBBPKT), kisah sederhana ini terwujud. Semenjak berdiri, MBBPKT berjalan setapak, tak banyak dikenal apalagi berprestasi. Inilah yang memutuskan direksi yayasan Pupuk Kaltim mendatangkan pelatih baru yakni Rene—seorang yang tak diragukan kapabilitasnya, kenyang kemampuan dan pengalaman di dunia marching band professional skala internasional. Tak ayal, beban berat mengangkat MBBPKT diserahkan ke pundaknya. Seketika itu, langkah pertama yang ia lakukan adalah evaluasi kinerja tim dan perombakan organisasi dan kepelatihan secara frontal. Dalam pengamatannya, Rene sadar akan bakat dan potensi anak-anak Bontang—kali pertama dihadapinya, meskipun begitu, ia sadar musuh terbesar mereka adalah diri sendiri.
Lahang, seorang keturunan pemuka adat Dayak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ia tinggal berdua dengan bapak yang sakit-sakitan, ibunya sudah lama meninggal dan berwasiat kepadanya lewat secarik sobekan kertas bergambar Monas. Nahasnya, bapak Lahang pada akhirnya divonis kangker otak, karena kendala biaya, tak bisa melanjutkan berobat pada dokter, hanya mengandalkan pengobatan tradisional dan takdir mereka berpasrah. Satu hal, Lahang tak ingin kehilangan seorang yang paling dicintainya lagi seamsal dulu ia kehilangan ibu tanpa bisa melihatnya. Ditengah keterbelengguan itu, ia harus kuat, membagi waktu antara sekolah, latihan marching band, dan merawat bapaknya. Bapaknya berpesan; “Berapa pun waktu yang diberikan, tak seharusnya dihabiskan dengan ketakutan….. karena ketakutan, anakku, tak akan pernah menyambung hidupmu. Yang akan menyambung hidupmu, hanya keberanian.” [hlm. 104]
Selanjutnya, Tara, nasibnya hampir sama dengan Lahang. Sehabis kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya, pendengarannya hanya tersisa beberapa persen saja. Tak ayal, demi masa depan Tara yang lebih baik, ibunya memutuskan untuk melanjutkan kuliah, Tara lantas dititipkan bersama Oma dan Opa-nya di Bontang. Sontak kala itu, Tara merasa terbuang, ia takut dan ragu dengan keterbatasannya. Namun itu masa lalu, kini Tara mulai bangkit, percaya diri, setahun sudah ia berlatih bersama cadet band. Ia berusaha membuktikkan bahwa dirinya mampu masuk dalam tim inti. Sayangnya itu tak semudah yang dipikirkan, ia sulit mengompakkan diri dengan kelompoknya. Cercaan motivasi Rene pun kerap mengampiri dirinya, lamat-lamat membuat Tara minder dan takut lagi atas keterbatasannya. “Kadang-kadang, hidup itu, ya, kayak gitu, Dek. Kayak dorong mobil di tanjakan,” jelas Opa, “susah. Berat. Capek. Tapi, kalau terus didorong, dan terus didoain, insya Allah akan sampai…. Kamu punya pilihan ma uterus dorong sampai tanjakan, atau mau lepas saja?” [hlm. 160]
Lain halnya, Elaine, seorang anak baru dari Jakarta yang pindah ke Bontang karena pekerjaan Ayahnya. Dengan berat hati ia harus meninggalkan kehidupannya yang nyaman dan menyenangkan di Jakarta. Kecintaannya terhadap musik membuatnya tertarik masuk ke dalam marching band, terlebih dengan pengalamannya sebagai seorang field commander di Jakarta. Namun Ayahnya, Josuke Higoshi, tidak setuju dengan kegiatan yang ia rasa tidak memiliki masa depan itu. Hingga pada akhirnya Elaine harus dihadapkan pada keputusan yang amat sulit; melakukan apa yang menyenangkan Ayahnya, atau melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Ihwal itu, Rene berujar; “Saya jadi sadar bahwa saya beruntung sekali punya ayah yang mengijinkan saya jadi siri saya sendiri.” (hlm. 255)
Oka berhasil meramu keempat karakter dan konflik secara pararel, sekaligus membuat novel ini multifaset. Didalam novel ini juga tersaji keragaman suku, bahasa, kultur, dan agama; inilah pesona dan miniatur bhinneka tunggal ika sebenar-benarnya. 120 anak dengan aneka latar belakang dan problem dalam dirinya masing-masing, bersatu dan berjuang bersama sekuat tenaga demi meraih juara nasional. Ribuan jam mereka habiskan berlatih demi 12 menit penampilan terbaik di puncak GPMB di Jakarta. 12 menit untuk selamanya, VINCEROOO!
Nilai Plus
Bagi saya, novel ini benar-benar inspiratif, karena banyak tuturan motivasi di sekujur badan novel. Seamsal; Stop Thinking, Start Feeling. Saya Selalu Siap. When You Have Nothing, You’ve Got Nothing to Lose. Think Like a Champion and Fight Like One. Tema besar nya cukup sederhana, sekitar perjuangan anak-anak Bontang mewujudkan mimpi mereka, meskipun ada begitu banyak masalah yang merintangi. Yang lebih adalah, kisah tentang keharmonisan dan keikhlasan kekeluargaan yang hangat meski terjadi banya pertentangan lahir dan batin. Benar apa yang dikatakan Oppie Andaresta lewat komentarnya; “Novel ini berisi cerita orang-orang yang tak takut meraih mimpi…”. Novel ini juga menjadi sarana efektif memerkenalkan seluk-beluk dunia marching band secara apik bagi pembaca yang awam—meski penulis pada mulanya juga kurang paham. Kisahnya pun menggugah penuh spirit dan menghanyutkan pembaca untuk meneruskan sampai khatam; sekata dengan Andy F Noya; “Kisah yang mencerahkan dan inspiratif”. Tak heran, kisah heroik 12 menit segera difilmkan. Semoga saja filmnya sebaik novelnya. Selamat membaca. [[Muhammad Bagus Irawan]]