Dimuat di Harian Pelita edisi Kamis 16 Februari 2012
http://www.pelitaonline.com/read-cetak/16593/menyoal-jurnal-sebagai-syarat-kelulusan-mahasiswa/
BARU-BARU ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan Surat
Edaran (SE) Nomor 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah dalam
jurnal. SE mengharuskan mahasiswa (S1, S2, dan S3) memublikasikan
artikel ilmiah dalam jurnal sebelum meraih gelar. Surat tertanggal Jumat 27 Januari 2012 itu pun sontak menjadi
perbincangan hangat khalayak umum, terutama insan akademis di Indonesia.
SE Dikti itu sejatinya mengandung kegelisahan, anjuran, dan perintah.
Penulis di sini akan berupaya menjabarkan kebijakan Dikti itu.
Pertama, SE itu lahir karena dilatarbelakangi kegelisahan. Jumlah
karya ilmiah Indonesia yang terbit dalam jurnal sangat minim, kalah jauh
dibanding negara lain. Dikti, dalam surat itu, mengambil perbandingan
dengan Malaysia. Kenapa Malaysia? Kiranya ada konsekuensi psikologis terkait itu.
Dulu Malaysia “berguru” pada Indonesia dalam hal pendidikan. Namun, kini
kita tertinggal jauh dari mereka. Kini Malaysia pun kerap menjadi
patokan, seberapa cepat Indonesia memacu untuk melampaui negeri jiran
itu.
Data Kemendikbud menunjukkan sepanjang 1996-2011 jumlah karya ilmiah
Indonesia yang dipublikasikan dalam jurnal internasional hanya 12.871.
Jumlah tersebut kalah jauh dari Malaysia yang mencapai 53.691. Padahal,
jumlah mahasiswa Indonesia jauh leih besar daripada Malaysia. Namun, jika yang diacu pemerintah semata kuantitas karya ilmiah,
maka SE itu tampak seperti buah gengsi semata. Padahal, kualitas harus
juga diperhatikan, agar karya ilmiah benar-benar memiliki nilai di
tengah masyarakat.
Sistem yang jelas
LANTAS bagaimana sistem yang akan digunakan? SE masih belum bisa
menjelaskan sistem itu. SE yang mulai berlaku pada Agustus 2012 dinilai
terlalu dini. Data menunjukkan jurnal ilmiah di Indonesia, hingga Mei
2011, tercatat 7.000. Namun, hanya sekitar 4.000 jurnal yang masih
terbit. Dan, di antara 4.000 jurnal yang terbit itu, hanya 135 jurnal
yang terakreditasi. Persentasenya hanya 3,3 persen dari jurnal ilmiah
yang terbit. Lebih parahnya jurnal internasional di Indonesia malah
kurang dari setengah persen.
Kenyataan di atas tentu berbanding terbalik dengan jumlah mahasiswa
di Indonesia. Bila kapasitas jurnal tak segera diperbaiki, kebijakan
Dikti akan sia-sia. Makanya, hal pertama yang harus ada adalah jurnal
yang representatif plus tata pengelolaan yang baik. Bukan rahasia umum,
tata kelola jurnal di Indonesia masih jauh dari profesional. Kebanyakan
hanyalah kerja sambilan para dosen dan tata usaha universitas. Sehingga
tak heran kita banyak menemukan jurnal yang tak kompeten dan asal jadi.
Usulan jurnal daring (online) dari Kemendikbud mungkin bisa jadi solusi.
Namun, tetap harus dipertegas kriteria akreditasinya, dan kriteria
karya ilmiah mahasiswa yang bisa diterbitkan.
Selanjutnya, luas persebaran jurnal pun menjadi masalah lain. Bisa
dibilang luas persebaran jurnal saat ini hanya sampai pada perpustakaan
universitas. Padahal, jurnal semestinya bisa ditemukan di perpustakaan
umum dan menjadi konsumsi bacaan masyarakat. Sebab, jurnal dibuat
sebagai sumbangsih mahasiswa dalam memberi gagasan solutif bagi
permasalahan masyarakat dewasa ini.
Maka, sebelum kebijakan baru itu diberlakukan, yang harus
benar-benar dikaji dan dirumuskan dahulu oleh Kemendikbud adalah
bagaimana membuat sistem yang komprehensif dan proporsional. Harus ada
pengawasan ketat, penentuan kerja jurnal yang jelas, dan persebaran
jurnal sehingga bisa dikonsumsi masyarakat luas.
Mutu Ilmiah
LALU, perlu juga diperhatikan kesadaran ilmiah mahasiswa? Hingga
kini kesadaran ilmiah mahasiswa Indonesia patut dipertanyakan. Dalam
survei Indonesia Views 2011, ada data mengejutkan. Ternyata 30 persen
mahasiswa kita melakoni tindak plagiasi dalam membuat tugas makalah dan
tugas akhir. Survei itu diambil dari sampel mahasiswa S1, S2, dan S3.
Tak ayal, ini pekerjaan besar bagi pemerintah dan pemangku kepentingan
di dunia pendidikan. Kita harus mengantisipasi pelanggaran hak
intelektual ini. Jangan sampai nantinya kita memiliki banyak karya
ilmiah, tapi isinya tak bermutu dan hanya asal comot dari artikel lain.
Selain itu, kebijakan Dikti itu bisa menjadi lahan empuk perjokian
penulisan karya ilmiah atau jurnal. Akibatnya, kualitas karya dam jurnal
yang dihasilkan asal-asalan. Tak bisa dimungkiri, negara kita amat
lihai melakoni praktik joki di segala lini. Celah-celah perjokian pun
akan menjadi tantangan tersendiri bagi Kemendikbud. Mahasiswa
‘malas’sudah pasti akan memilih cara instan, membayar daripada berkutat
pikir “ngalor-ngidul” untuk menulis karya ilmiah sampai dipublikasikan
dalam jurnal.
Maka, sebagai langkah preventif, kebijakan baru ini juga harus
dibekali dengan fondasi hukum yang tegas bagi tindak plagiasi dan
perjokian. Tentunya, yang lebih bagus adalah ketika kesadaran
intelektual mahasiswa terus membudaya. Mahasiswa Indonesia harus terus
dibudayakan membaca, menulis, dan berdiskusi. Ketiga lakon dasar itulah
yang sejatinya akan membangun fondasi intelektual mahasiswa. Wallahu
a’lam bisshowab. (Penulis adalah peneliti Idea Studies IAIN Walisongo,
Semarang)